Mimpi Buruk

Remaja
Please Subscribe to read the full chapter

Gelap.

Ke arah mana pun ia mengedarkan pandangannya, tak ada setitik pun cahaya yang memecah gelap yang melingkupinya. Ia berusaha meraba-raba, mencari tembok, atau apa pun yang bisa ia jadikan pegangan, tapi nihil—rasanya seperti terkurung dalam tempurung raksasa yang menjebaknya dalam kegelapan total. 

“Hitomi?”

Ia menoleh—suara itu terdengar familiar di telinganya, “Iya?”

“Hitomi, Nak?”

“Bunda?” Hitomi menjatuhkan lutut—tak berani melangkah. Ia meraba-raba lantai, berharap menemukan remah roti, kerikil, atau apa pun yang bisa menuntunnya, tapi semua sia-sia. Ujung jemarinya hanya merasakan sesuatu yang dingin dan halus—terasa seperti ubin, tetapi berkali lipat lebih dingin, “Bunda?” ia merangkak, kembali memanggil sang ibu, “Bunda di mana?”

“Jangan kemari, Nak,” suara perempuan itu terdengar begitu dekat, begitu nyaring sekaligus lemah, “Di situ saja, Sayang, jangan ke sini.”

Instingnya mengatakan bahwa ia harus mendekat—ia harus pergi ke mana sang ibu berada. Dengan hati-hati, Hitomi merangkak. Saat sesuatu menggores lututnya, ia menggigit bibir, menahan erangan yang siap meluncur kapan saja. Tidak, sang ibu tak boleh dengar. Ia harus mencari sang ibu sekarang, atau sesuatu yang buruk akan terjadi. Ia terus merangkak, meraba, memanggil sang ibu, hingga akhirnya, tangannya meraba sesuatu yang hangat.

“Bun?” ia berusaha berdiri, meraba-raba sesuatu yang terasa seperti kaki, “Ini Bunda ‘kan?”

“Bunda sudah bilang jangan kemari….”

“Bunda?” kedua tangannya terangkat, meraba dalam kegelapan—lengan, pikirnya, lalu ia mengarahkan tangannya sedikit lebih ke atas. Pundak, “Bunda kenapa? Ini di mana? Kok gelap? Siapa yang matiin lampu?”

“Memang sudah gelap, Nak, nggak ada lampu di sini,” suara perempuan itu melemah, “Kamu baik-baik ya Nak?”

Kedua alisnya terangkat, “Bunda?” tangannya bergerak naik, sedikit lebih tinggi, hingga ia bisa meraba tulang pipi sang ibu, “Bunda kok ngomongnya kayak Bunda mau pergi jauh?”

“Kamu jaga diri ya, Nak. Jangan lupa sarapan. Kalau ada apa-apa, jangan panik. Tetap tenang. Jangan ragu buat minta tolong sama orang lain. Kamu nggak sendirian Nak.”

“Bun?” ada panik yang menyergap saat ia merasakan sesuatu yang basah mengaliri tangannya. Samar, ia bisa membaui sesuatu yang tak asing, “Ini Bunda ‘kan? Bunda kenapa?”

Sesuatu tiba-tiba membuka di depannya, membawa angin yang mendorong tubuhnya mundur beberapa langkah. Sontak Hitomi mengangkat sebelah lengan, menutupi kedua lengannya. Cahaya yang tiba-tiba membanjiri ruangan begitu menyilaukan—ia menyipitkan mata, berusaha melihat apa yang sebenarnya terjadi saat pemandangan itu terhampar di depan mata.

Sang ibu berdiri di depannya, dalam balutan pakaian rumah yang biasa perempuan itu kenakan, dengan senyum tipis yang terlukis di wajahnya—senyum khas perempuan itu, yang selalu menyapanya tiap pagi kala ia masih duduk di bangku sekolah. Rambutnya tergerai sebahu. Perempuan itu tampak cantik sekali dalam kesahajaannya. Hitomi sudah akan berlari menghampiri perempuan itu saat ia menyadari bahwa ada yang salah darinya.

Cairan berwarna merah itu mengalir dari kedua matanya, membasahi pipi. Hitomi terbeliak—ia berusaha berlari, tetapi kakinya seakan terpaku pada lantai. Ia berusaha berteriak, tapi sesuatu seolah mengganjal tenggorokannya. Ia melirik jemarinya yang tadi sempat menyentuh wajah sang ibu.

Darah.

“Hati-hati ya, Nak. Baik-baik anaknya Bunda yang paling cantik. Jaga diri ya, Nak.”

Lagi, angin berembus kencang hingga Hitomi terpaksa mengangkat kedua lengannya. Ia berusaha bergerak maju, tetapi sia-sia; anginnya terlalu kencang. Di depan matanya, ia menyaksikan sang ibu yang perlahan terburai bagai pasir, dan satu-satunya yang Hitomi ingat sebelum membuka matanya adalah senyum sang ibu yang tak luntur hingga perempuan itu luruh dibawa angin.

“Cuma mimpi, Hitomi,” ia berkali-kali berbisik pada dirinya sendiri, berusaha menyamarkan detak jantungnya yang berlari. Sudah tiga puluh menit sejak ia terbangun, tetapi ia masih tak berani beranjak dari tempat tidurnya. Jangankan itu—sekadar mengulurkan tangan untuk meraih gelas di atas nakas saja ia tak berani. Berkali-kali ia berusaha mengatur napas, meyakinkan diri sendiri bahwa semua hanyalah bunga tidur. Perlahan, hangat mulai merambati ujung-ujung jemarinya. Ia mendesah, menyandarkan punggung pada kepala tempat tidur. Diraihnya ponsel di atas bantal.

Bunda

Ngga apa Nak…
Hati-hati pulangnya sama Kak Chaewon ya...
Sudah makan malam?

Pesan terakhir dari sang ibu ia terima pukul delapan tadi. Ia lantas melirik jam yang tertera di sudut kiri atas layar ponselnya. Pukul sebelas. Sepertinya ia tertidur saat berbalas pesan dengan sang ibu. Ia tahu betul bahwa perempuan itu jarang terjaga di jam-jam begini, tetapi ia tetap merasa bahwa ia perlu membalas pesan sang ibu. Buru-buru jempolnya mengetikkan beberapa baris kalimat

Bunda mau ke sini?
Kalau Bunda mau ke sini,
nanti Hitomi beres-beres kamar hehe
Enggak lapar Buun jadi enggak makan

Tak ia sangka, balasan dari sang ibu ia terima dalam secepat kilat.

Bunda

Kok anak Bunda masih bangun…
Sudah di kosan ya berarti?

Bunda juga masih banguun
Sudah Bun, dari tadi sudah di kosan
Tapi kebangun ini Bun hehe
Hitomi tidur lagi yaa
Selamat tidur, Bundaa

Please Subscribe to read the full chapter

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
kimchaejjigae_
Sebentar, biar aku jadi ormas Shinez dulu sejenak. Ada cerita yang ingin sekali kuunggah tapi kalau kuunggah, aku harus menyelesaikan keseluruhan semesta (dan... dan... sama seperti ketika menulis Seandainya, aku tidak sanggup mengeditnya tanpa menghela napas panjang)

Comments

You must be logged in to comment
kimtaetaehwang #1
Chapter 12: Minggir2 yang gak mau kena diabet minggir
Karena judul cerita ini berisi konten bucin dan mengarah ke bulol 🤣
fearlessnim
#2
Chapter 8: Hai kak, ini komen pertamaku setelah sekian lama subs dan cuma mau bilang kalo semua tulisanmu uwu nya minta amponnnn 🥺💖

Btw shineznya lagi dong kak *merengek*
apple_lover12
#3
Chapter 6: Demi apa....? Baru nemu FF unyu kyk gini~