21 Juli 2014

Let's Have a Talk

21st July, 2013

Musim panas, malam bahkan terasa begitu hangat jika musim panas sudah menunjukkan taringnya. Tangan besarnya yang membungkus tanganku sama sekali tak membantu. Langkah kakinya di sampingku hanya membuatku semakin merasa hangat. Terbakar oleh degup jantungku yang tak beraturan.

Tapi, lelaki di sampingku ini seperti tak menunjukkan masalah apapun. Aku masih bisa mendengar siulannya mengalun sayup-sayup seirama dengan tangan kami yang mengayun bersama. Berjalan dengan tangan bergandengan seperti yang selalu kami lakukan sejak sekolah dasar. Sayangnya, perasaanku sama sekali berbeda dengan perasaan gadis yang selalu duduk di sampingnya di sekolah dasar. Sayangnya, dia sama sekali tak menyadari perasaanku.

“Sudah sampai.” Langkah kami terhenti tepat di depan rumah. Senyumnya mengembang, memamerkan deret gigi putihnya. Tidak, bukan senyumnya yang menjadi masalah. Hanya saja, “Masuklah, sebelum Eomma-mu berteriak.”

“Kau masih bisa tersenyum selebar itu?”

Salah satu alisnya terangkat menatapku. Tak mengerti? Wajar saja, dia memang tak peka. Bahkan ketika pandanganku mulai buram oleh aliran air mata di pipi, aku bisa memakluminya jika dia hanya menepuk punggungku dengan ekspresi bingung.

Shin Dongwoo, namanya ada di posisi teratas daftar siswa berprestasi di SMA kami. Dia bahkan mengerjakan tes masuk MIT (Massachusetts Institute of Technology) dalam keadaan flu, dan takdir masih bisa memaksanya untuk mendapat beasiswa penuh dari Institusi yang meluluskan beberapa peraih nobel itu. Kemampuan akademiknya benar-benar jauh di atas langit. Tapi, kepekaan perasaannya bahkan lebih dalam dari palung pasifik. Nol. Lelaki berkacamata yang berdiri di depanku ini sama sekali tak peka.

“Kau sudah selesai menangis?” Suaranya terdengar di antara isak tangisku. Bagaimana aku harus menjawabnya? Ingin sekali kuteriakkan keras-keras perasaanku di depan mukanya. Bagaimana aku benar-benar tak ingin kehilangannya. Bagaimana aku benar-benar ingin menjadi wanita jahat yang menghalangi mimpinya.

Tapi, tidak. Aku tak sanggup melakukan semua itu kecuali hanya terus terisak membasahi kausnya dengan air mataku. Biarkan saja. Aku akan membuatnya merasa sangat bersalah karena telah membuatku menangis hebat di malam terakhirnya di Korea.

“Aku akan pergi dengan penerbangan pertama besok. Tak perlu memaksakan diri, aku tahu kau pasti belum bangun ketika aku sudah ada di pesawat.” Tawa kecilnya menguar tipis, bersamaan dengan tangannya yang mengusap punggungku perlahan. Sama sekali tak menenangkan.

“Aku akan terus mengirimimu pesan setiap hari. Jangan khawatir,” kini tangan besar itu mengusap kepalaku sebelum kalimatnya berlanjut, “jaga kesehatanmu, jangan menangis lagi, jangan membuatku mengkhawatirkanmu atau aku harus lebih lama tinggal di sana karena kuliahku kau kacaukan. Aku akan segera pulang dan merebut bekalmu lagi, seperti dulu.”

Bisa kurasakan kecupannya di ujung kepalaku. Seperti mengirim sengat listrik yang begitu hebat ke seluruh tubuhku. Kadang kupikir, mungkin Dongwoo menyadari perasaanku. Mungkin kami membagi perasaan yang sama. Tapi, semuanya seperti terpatahkan begitu saja dengan dua kata, ‘seperti dulu.’ Ya, seperti dulu. Kami akan terus berteman, seperti dulu.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
shin-pads
#1
Chapter 16: Cheer Up, Father, yang kayak dinyanyiin Song triplets ya?

Duuh makin complicated ini yaaa ㅠㅠ