16th September 2014

Let's Have a Talk

16th September 2014

 

Incheon, hari ini kami melakukan perjalanan selama dua jam dengan kereta hanya untuk berkeliling ke beberapa rumah sakit di Incheon. Sekali lagi, untuk mencari seseorang yang tak kami ketahui, dan sekali lagi pula coretan di buku Leo bertambah. Tak ada yang kami dapatkan kecuali satu porsi bibimbap dan dua botol minuman bersoda dari kedai di depan stasiun. Apa benar-benar tak ada petunjuk lain selain wajah orang itu yang hanya ada di ingatan Leo?

 

Ujung kepala pirang itu masih berhadapan denganku sementara pemiliknya lebih memilih memandangi bibimbap di meja yang sedikit demi sedikit memasuki mulutnya. Seenak itukah? Apa bentuk nasi campur itu lebih menarik daripada aku yang jelas-jelas cantik ini?

 

“Jangan berpikiran macam-macam yang akan membuatku muntah.”

 

Memutar bola mataku mendengar kalimatnya. Oh! Terimakasih atas saranmu, Leo-ssi yang tampan. Makanlah dengan tenang.

 

Duuk.

 

Akhirnya terangkat juga kepala itu setelah ujung sepatuku bersentuhan dengan tulang keringnya. Matanya kecil, memang. Tapi, caranya memandang sesuatu benar-benar tajam. Rasanya seperti dia akan memakan jiwamu jika kau terus memandang ke dalam matanya.

 

“Ini yang membuatmu pantas menjadi malaikat kematian.” Beberapa kali kuanggukkan kepala sesaat setelah suara sengauku mengudara. Sementara, Leo hanya memutar bola matanya sebelum melanjutkan makan. Hey kukira malaikat tak butuh makan? Lalu, kenapa temanku yang satu ini begitu bersemangat di depan makanan?

 

“Sudah kubilang, aku terlalu lama di bumi. Aku semakin mirip manusia.”

 

“Benar juga,” kulipat tanganku di meja kemudian menidurkan kepalaku di sana untuk menatap Leo, “kau jarang mengeluarkan sayap sekarang. Kau juga lebih suka naik bus daripada terbang.”

 

Tak ada jawaban. Mulutnya terlalu penuh dengan makanan rupanya,  dia tak sempat menjawabku. Hati-hati, jangan sampai kau gagal terbang kembali ke kahyangan karena kau terlalu berat dan tak bisa terbang.

 

Sekali lagi sepasang manik itu menatapku tajam. Sementara, yang bisa kulakukan hanyalah mengedipkan mata dan menunjukkan senyum manisku. “Kau bisa mencatatkan namamu di sejarah sebagai malaikat pertama yang obesitas. Bukankah itu hal yang bagus? Ah, benar juga kau belum menjadi malaikat.” Kubawa tubuhku duduk tegak seraya melipat tanganku di depan perut kemudian membungkuk sejurus kemudian, “Maaf.”

 

Menegakkan tubuhku, kali ini dengan senyum yang lebih manis lagi. Aku meminta maaf bukan karena kalimatku. Tapi, karena aku mungkin bisa saja membuatnya diabetes karena senyumku.

 

“Kenapa kau semakin menyebalkan akhir-akhir ini?” diletakkan sendok dan sumpitnya di samping mangkuk, kemudian turut mellipat tangannya di meja demi menatapku lebih intens.Oh! Mari bicara dengan serius.

 

“Kau tahu bagaimana rasanya sebal? Kau bilang malaikat tak tahu perasaan semacam itu?” Kumainkan botol soda di meja, mengingat-ingat kalimatnya di awal-awal pertemuan kami. “Kau tak hanya menyisir sayapmu?”

 

“Aku bahkan jarang memakainya sekarang. Tak ada banyak waktu yang tersisa, Jii. Aku benar-benar akan menjadi manusia dan merasakan semua perasaan rumit itu jika kita tak bergegas.”

 

“Lalu? Apa masalahnya? Kami menikmati perasaan-perasaan rumit itu.”

 

“Jii – ”

 

“Apa karena takdir?” Kupotong kalimatnya begitu saja, menyisakan keheningan di antara kami.

 

Beberapa pelayan kedai hilir mudik ke sana ke mari mengantar pesanan. Anak kecil di meja depan menangis karena bertengkar dengan saudaranya. Sementara sepasang muda mudi di sudut kedai asyik dengan dunia mereka sendiri seolah hanyalah mereka yang hidup di dunia ini. Lalu, bagaimana duniaku dan dunia pemilik sepasang mata yang tengah menatapku ini?

 

Dia bilang dunia kami berbeda, dimensi kami berbeda. Tapi, kenapa kami bisa bertemu bahkan makan bersama sekarang? Takdir. Itukah jawabannya?

 

“Ya.” Lirih suaranya terdengar sebelum ditenggaknya sebotol minuman bersoda di atas meja dan bangkit dari duduknya kemudian. “Ayo, kau bilang kau harus membeli hadiah untuk orang tuamu?”

 

Menghela nafas pendek, kubawa tubuhku mengikutinya yang melangkah ke luar kedai. Leo benar-benar curang. Dia tak membiarkanku menebak apa yang dipikirkannya barang sedikitpun.

 

“Kalaupun kau akan berakhir sebagai manusia, bukankah itu berarti takdir yang harus kau penuhi? Kau tak ingin memelajari apa yang dirasakan manusia mulai dari sekarang?” Kusamakan langkahku di sampingnya, mencoba menatap matanya dari samping. Tapi, percuma. Tak ada reaksi. Tak ada yang bisa kutebak.

 

 

---

 

 

“Sebentar lagi kereta akan berhenti di stasiun Onsu. Untuk penumpang yang akan turun atau transit menuju Cheonwang, harap memersiapkan diri.” Merdu suara announcer wanita terdengar dari pengeras suara di atap kereta. Sudah sampai Onsu, sepuluh stasiun lagi menuju Anyang.

 

“Kau bisa menahannya sampai sepuluh stasiun lagi?” suara lembutnya terdengar di ujung pengumuman, mengundangku mengangguk perlahan menjawabnya.

 

Sekarang rasanya seperti ada jutaan ton batu yang menimpa kepala kananku. Musim dingin sudah mulai datang lagi, begitu pula rasa sakit di tubuhku yang mulai berdatangan kembali karena daya tahan tubuhku yang menurun.

 

Lemas aku dibuatnya. Tak ada lagi yang bisa kulakukan selain menyandarkan kepala di pundak Leo seraya memeluk erat kotak lilin aromaterapi di pangkuan. Tidak. Ini tak boleh rusak.

 

“Biar kubawakan.” Diraihnya kotak cokelat dari tanganku, membawanya berpindah ke pangkuannya yang lebih aman. Leo benar, aku bisa kapanpun menjatuhkan kotak itu dan gagal memberikannya pada Eomma dan Appa.

 

“Kenapa kau tetap bersikeras pergi hari ini? Padahal kesehatanmu menurun sejak pagi.”

 

“Bagaimanapun juga aku harus memberikan kado itu untuk Eomma dan Appa secepatnya.”

 

Lalu lalang penumpang yang turun ataupun naik ke dan dari stasiun Onsu mengisi penglihatanku. Kami beruntung kereta tak terlalu ramai kali ini. Jadi, aku bisa duduk dan bersandar dengan tenang.

 

“Haruskah sekarang? Kau tak bisa menundanya lagi?” Kini bisa kurasakan kepala berpahat paras sempurna itu menengok ke arahku. Mau tak mau, kubawa tubuhku duduk tegap demi menatapnya.

 

“Ya, bahkan sebenarnya ini sudah terlambat. Aku tak mau membuatnya lebih terlambat lagi.”

 

Sepasang manik yang memantulkan senyum kecilku itu seolah menatap tak mengerti. “Kenapa? Bukankah manusia bisa memberikan banyak toleransi?”

 

“Tapi aku menyayangi orang tuaku. Aku tak bisa terus menerus menunda untuk mengungkapkan rasa sayangku pada mereka,yang kutakutkan adalah waktuku habis karena aku terlalu banyak menerima toleransi dan mereka tak akan tahu bagaimana aku begitu menyayangi mereka.”

 

“Sayang? Apa itu lebih rumit daripada benci?”

 

Kugelengkan kepalaku perlahan sebelum kembali menyandarkannya di bahu Leo dengan senyum kecil terukir di bibirku, “Tentu saja tidak. Sayang adalah perasaan paling nyaman di dunia ini.”

 

“Benarkah? Bagaimana rasanya?”

 

Pertanyaan polos itu sanggup membuatku berfikir sebentar, kupejamkan mata demi menghalau rasa sakit sekaligus membayangkan wajah orang-orang yang kusayangi. Membuat perasaan itu terasa nyata kembali di hatiku, memudahkanku untuk menjelaskannya.

 

“Ketika dia sakit, kau juga akan merasakannya bahkan mungkin dua kali lipat lebih menderita darinya.”

 

“Lalu di mana rasa nyamannya?”

 

“Itu terasa ketika kau melihat orang yang kau sayangi bahagia. Nyaman, nyaman dan menyenangkan. Rasanya, tak ada lagi yang kau khawatirkan di dunia ini ketika kau tertawa bersama orang yang kau sayangi. Semuanya terasa baik-baik saja ketika kau bersama orang itu. Kau tak akan keberatan walaupun dunia runtuh asalkan kau tetap menggenggam tangannya.”

 

Eomma, Appa, dan juga Jiyeop Oppa. Satu persatu bayangan mereka muncul di depanku, sampai akhirnya bayangan Dongwoo juga datang. Dia berdiri di depanku, tersenyum hangat dengan tangan merentang seolah akan memelukku. Seandainya dia ada di sini, seandainya dia tak ada terlalu jauh di sana, aku pasti akan benar-benar memeluknya sekarang.

 

“Dongwoo?” Suara Leo terdengar tercekat. Memancingku untuk mengangkat kepala menatap wajah kagetnya. Kenapa? “Di mana dia sekarang?”

 

“Dia sedang di Amerika, menyelesaikan kuliahnya di MIT. Kenapa?”

 

“Tidak. Bukan apa-apa.” Menggeleng kepalanya menjawabku, sebelum akhirnya sepasang manik itu menatap kosong ke depan. Apa kau menyembunyikan sesuatu, Leo-ssi?

 

“Bersandarlah lagi, kau pasti masih pusing.” Dirangkulnya kepalaku, menyandarkan ke bahunya.

 

Dia benar, kepalaku benar-benar seperti akan pecah sekarang. Mungkin masalah Dongwoo bisa kami bahas lain kali.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
shin-pads
#1
Chapter 16: Cheer Up, Father, yang kayak dinyanyiin Song triplets ya?

Duuh makin complicated ini yaaa ㅠㅠ