18th September 2014

Let's Have a Talk

18th September, 2014

 

Semilir angin mengembus lembut, mengirim wewangian bunga yang baru saja bermekaran menggelitik hidung. Kemanapun kulayangkan pandangan, yang terlihat hanyalah hamparan padang rumput dengan warna-warni bunga yang bertebaran.

 

Di belakangku kokoh berdiri pohon apel yang melindungiku dari sengat matahari. Suasana tenang sini, membuatku merasa seperti terlempar ke dunia dongeng. Di mana aku adalah puteri yang sedang melarikan diri dan sebentar lagi akan datang pangeran yang akan menemaniku hidup di sini.

 

“Jii!” Sebuah suara yang begitu familiar mengundang kepalaku untuk menengok ke belakang. Dia di sana, sedang berlari ke arahku dengan senyum hangat itu di wajahnya. Dia datang! Pangeranku datang!

 

“Akhirnya aku bisa bertemu denganmu.” Erat didekapnya tubuhku, “Aku merindukanmu.” Dua kata itu terdengar bagai mantra yang menyihir tanganku untuk membalas pelukannya. Membenamkan kepalaku di dadanya seraya memejamkan mata, membiarkan perasaan bahagia ini menguasai tubuhku.

 

Semakin erat dekapannya padaku, seolah tak akan melepasku meskipun itu berarti harus meremukkan seluruh tulang dalam tubuhku. Tapi, tak apa.  Aku rela meskipun aku harus hancur di tangannya. Kurasa karena aku sangat bahagia melihatnya di sini, hingga sanggup menghapus semua rasa sakit dan lelah yang selama ini kurasakan.

 

“Aku sudah menunggumu lama. Kenapa kau baru datang?” Akhirnya sanggup kuangkat kepalaku demi menatapnya, “Kau tak tahu betapa menderitanya aku di sini sendirian.”

 

Suaraku bergetar. Bisa kulihat bayanganku yang tengah menangis terpantul di mata jernihnya. Kini tak hanya rasa bahagia yang menguasaiku. Rasa sedih, rindu, marah, semua yang kurasakan selama ini seolah tumpah ruah begitu saja di depannya. Meluap dan tak bisa kubendung lagi.

 

“Hey, tak ada yang menderita di Surga.” Kurasakan sepasang ibu jarinya di pipiku, mengusap aliran di sana. “Aku akan menemanimu di sini, kita tak akan berpisah lagi.”

 

“Meskipun langit runtuh?”

 

“Ya, meskipun langit runtuh. Kita akan baik-baik saja dengan orang yang kita sayangi. Bukankah begitu?”

 

Sepasang kelingking kami bertautan menyegel janji yang baru saja terucap. Sementara, jarak di antara kami terus berkurang dan berkurang, sampai bisa kurasakan hembusan nafasnya di wajahku.

 

“Dongwoo-ya?” Kenapa sosoknya semakin menjadi transparan?

 

“Dongwoo-ya!” Aku mencoba meraihnya. Tapi, mengapa aku bahkan tak bisa menggenggam tangannya? Mengapa Dongwoo malah terbang menjauhiku? Mengapa dia –

 

“Dongwoo-ya!!!”

 

 

Nafasku tersengal. Terbangun di sebuah ruangan dengan dominasi warna tosca, ternyata aku belum di surga dan belum bertemu Dongwoo.

 

“Kau baik-baik saja, Sayang?” Eomma. Wanita paruh baya itu menatapku khawatir dari samping tempat tidur. Bisa kurasakan sesuatu yang basah menempel di atas keningku ketika kuanggukkan kepala perlahan. Kompres?

 

“Kau terus meracau, sabarlah Appa sedang berusaha menghubungi Dongwoo sekarang.” Dibelainya ujung kepalaku lembut, mengirimkan rasa tenang itu ke seluruh syaraf dalam tubuhku.

 

Entahlah. Aku tak tahu apa yang harus kukatakan atau lakukan selain berharap untuk mendengar suara Dongwoo hari ini. Aku merasa, seperti harus segera mendengarnya hari ini sebelum aku benar-benar harus menunggunya di surga.

 

Klek. Suara pintu kamar yang terbuka menunjukkan sosok Appa di baliknya. Wajah beliau tak terlihat senang. Bahkan, ketika Eomma menatap beliau penuh harap yang bisa Appa lakukan hanya menggeleng perlahan, “Dongwoo sedang sibuk, dia tak bisa dihubungi.” Begitu ujar beliau tanpa semangat sedikitpun.

 

“Aku baik-baik saja, Eomma, Appa. Sebaiknya aku tidur sekarang, semua pasti akan baik-baik saja setelah aku bangun dari tidurku.” Kuulas sebuah senyum kecil untuk kedua orang tuaku sebelum kembali memejamkan mata. Bersiap melakukan perjalanan di dunia mimpi, berharap bisa bertemu Dongwoo di sana.

 

Ya, mungkin aku harus benar-benar menunggunya di Surga.

 

“Hutangku belum lunas, bagaimana bisa kau sudah berencana pergi ke Surga?” Bisikan lembut itu terdengar tepat sebelum aku benar-benar terbang ke alam mimpi. Kubuka mataku perlahan, dan langsung menatap sosok lelaki di samping Eomma dengan mata agak membola. Sejak kapan dia di sini?

 

“Leo-ssi, kau bisa tolong jaga Jii sebentar? Ada sesuatu yang harus Ahjussi bicarakan dengan Ahjumma.

 

“Ya, Ahjussi dan Ahjumma bisa percaya padaku.” Diulasnya sebuah senyum hangat menjawab permintaan Appa. Seolah bisa menjadi lelaki yang paling dipercaya.

 

“Kau beristirahatlah, Sayang.” Sekali lagi kurasakan usapan tangan Eomma yang menenangkan di ujung kepalaku sebelum beliau beranjak dari duduknya, “Titip Jii ya, Leo-ssi.

 

Itu kalimat terakhir yang dijawab Leo dengan anggukan mantap. Sebentar kemudian, debuman kecil dari pintu kamar yang tertutup terdengar, menyembunyikan sosok Eommadan Appa di luar kamar. Kini, di ruangan ini hanya ada aku dan sesosok malaikat yang masih saja menatapku dari samping tempat tidur. Apa aku yang sakit begitu menarik dilihat?

 

“Aku sudah sering melihat orang sakit. Bahkan yang jauh lebih parah darimu. Tapi, entah mengapa ini terasa berbeda.”

 

“Tentu saja. Tak ada orang sakit yang secantik aku.” Kucoba terkekeh kecil di ujung kalimatku, menghalau ribuan jarum yang menusuk kepala. Jika rasa nyeri ini bisa kulupakan dengan tersenyum, kenapa tidak?

 

“Kau harus cepat sembuh, aku tak suka merasakan rasa sakit ini.” Lagi-lagi Leo berbicara dengan gelombang infrasonik. Tapi, aku yakin aku mendengarnya meskipun pendengaranku tak sepeka Prince. Aku yakin Leo mengatakan sesuatu tentang –

 

“Kau merasakan rasa sakitku juga?”

 

“Cepatlah sembuh agar aku bisa melunasi hutang dan menemukan korbanku secepatnya.”

 

Membulat bibirku mencerna kalimatnya, seraya menganggukkan kepalaku paham. Mungkin aku yang salah dengar. Benar juga, pendengaranku tak sepeka Prince.

 

Yaa Leo.”

 

Dialihkkan pandangannya ke arahku heran. Mendengar kalimatnya tentang pelunasan hutang, aku jadi terpikir sesuatu.

 

“Aku pasti sudah sembuh besok. Karena itu, ayo kita berkemah di gunung.” Bisa kurasakan ujung bibirku tertarik ketika mengatakannya. Berkemah, sudah lama sekali aku ingin melakukannya. Tapi, Eomma dan Appa tak pernah mengijinkan – karena kondisiku. Sekarang, ketika ada kesempatan, kenapa tak kumanfaatkan?

 

“Tidak, Jii. Ini bukan kesempatan. Sudah jelas sekali kondisi tubuhmu tak memungkinkan.” Wajahnya masih terlihat datar seperti biasa. Tapi, tidak dengan kalimatnya. Kali ini, Leo terdengar lebih tegas dan tak bisa dibantah.

 

“Tapi aku ingin melakukannya. Itu bagian dari hutang yang harus kau bayar.”

 

“Katakanlah permintaan yang lain,” ditatapnya mataku dalam, menyempatkan untuk menggantung kalimatnya sebelum beberapa kata lain diloloskan tenggorokannya, “akan kucoba melakukannya untuk membayar hutangku.”

 

Haruskah aku menggantinya? Aku benar-benar ingin merasakan berkemah di alam terbuka. Aku hanya ingin – tunggu. Aku tahu apa yang kuinginkan.

 

“Bawalah Dongwoo kemari.”

 

Membola matanya mendengar permintaanku. Kenapa? Kau tak bisa melakukannya, Leo-ssi? Bukankah kau bilang akan kau coba melakukannya untuk membayar hutangmu?

 

“Jii – ”

 

“Bawa Dongwoo kemari atau temani aku berkemah. Hanya itu yang kuinginkan. Tak ada yang lain.” Kalimatku bernada final. Bisa kulihat raut wajah frustasinya tepat sebelum kupejamkan mata.

 

Kepalaku terlalu sakit, mungkin ini akan meledak sebentar lagi. Jadi, lebih baik aku tidur sebelum kepalaku meledak dan aku benar-benar tak akan bisa berkemah atau bertemu Dongwoo.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
shin-pads
#1
Chapter 16: Cheer Up, Father, yang kayak dinyanyiin Song triplets ya?

Duuh makin complicated ini yaaa ㅠㅠ