3rd March 2003

Let's Have a Talk

3rd March, 2003

 

“Selesai!” Tepuk tangan terdengar di ujung seruan riangku, disusul dengan tawa kecilku yang mengudara kemudian. Aku tak tahu bagaimana lagi harus kuungkapkan rasa bahagia ini selain tertawa puas menatap hasil kerjaku.

 

“Kau pintar.” Suara Eomma terdengar dari belakang, diusapnya kepalaku lembut, dan ketika kutengokkan kepala ke arahnya beliau sudah tersenyum bangga menatapku. Ah, aku memang pintar. Hahaha...

 

“Terimakasih, Eomma.” Hangat dekapan beliau membungkus tubuhku. Tentu saja aku harus berterimakasih pada Eomma. Beliau yangmengajarkanku membuat gelang dari manik-manik ini.

 

“Terimakasih, sayang. Kau akan memberikannya hari ini?”

 

Kuangkat kepala demi menatap senyum hangat itu. Haruskah aku memberikannya hari ini? Tentu saja iya!

 

“Bahkan seharusnya aku menyerahkannya lebih dari dua minggu yang lalu.” Mengerucut refleks bibirku mengingat betapa terlambatnya kado valentine-ku ini. Entahlah, akupun tak tahu apa itu valentine. Tapi, Eomma bilang itu adalah saat ketika kitamemberikan kado untuk orang yang kita sayangi. Sayang sekali Eomma terlambat memberitahukannya padaku!

 

“Kau masih menganggap ini kado valentine?” Kini manik kopi itu menatapku heran. Diambilnya gelang manik-manik dari atas meja, menatap hasil karyaku seperti seorang kurator yang meneliti lukisan di museum.

 

“Ya, apa itu jelek? Apa Dongwoo tak akan menyukainya, Eomma?”

 

Hening. Tak ada jawaban yang terdengar dari Eomma. Wanita cantik di depanku ini masih meneliti setiap jengkal gelang di genggaman beliau. Apa itu benar-benar tak pantas dijadikan kado?

 

“Bukankah akan lebih baik jika kau tak menganggap ini seperti kado valentine?” Tatapan itu beralih, memantulkan bayanganku yang tengah memiringkan kepala menatap beliau heran.

 

“Kenapa begitu?”

 

“Dongwoo tidak hanya menjadi temanmu ketika valentine, bukan? Eomma percaya, kalian selalu saling menyayangi meskipun itu bukan di hari spesial. Perasaan itu yang membuat pertemanan kalian spesial, sayang. Bukan harinya.”

 

Perlahan kalimat itu teratur memasuki pikiranku. Eomma benar, Dongwoo adalah temanku setiap hari, bukan hanya di hari valentine!

 

“Jadi aku akan memberikannya sebagai kado pertemanan!” Kusahut gelang dari tangan beliau, dengan senyum lebar dan semakin lebar lagi ketika Eomma mengangguk mantap menyetujuiku.

 

“Apa ini? Siapa yang akan mendapat kado dari puteri kecil Appa?” Suara berat Appa menginterupsi, mendahului tubuh beliau yang duduk di samping Eomma. Aih, Appa menatapku penuh harap. Sayang sekali ini bukan untuk Appa.

 

“Ini untuk Dongwoo.” Cepat. Harus kuamankan gelang ini ke dalam saku jaketku dengan cepat sebelum Appa merebutnya. Aku sudah berusaha sejak satu minggu yang lalu untuk membuat ini!

 

“Shin Dongwoo teman sekolahmu itu? Tak ada untuk Appa?” Apakah Appa kecewa? Aku jadi merasa bersalah.

 

“Tapi aku hanya bisa membuat satu...”

 

“Sudahlah, Eomma yang akan membuatkannya untuk Appa.” Usapan tangan Eomma di ujung kepalaku seperti mengangkat semua kekhawatiranku tentang Appa, dan juga tawa kecil beliau yang terdengar lembut. Seperti mantra yang meyakinkanku bahwa Appa pasti baik-baik saja. Kekeke~

 

“Ya, setidaknya Appa masih punya Eomma.” Lihat, sekarang bahkan Appa memeluk Eomma-ku! Eewwhh... Appa memang suka pamer.

 

“Kau tak ingin menyerahkannya sekarang?” Suara Eomma terdengar lagi,mengingatkan niatku sejak satu minggu yang lalu. Ya, aku harus menyerahkannya hari ini juga! Aku ingin Dongwoo tahu, aku menyayanginya!

 

Ah, ya!” Seperti komando otomatis yang dikirim otakku, kubawa tubuhku berlari kecil untuk mengambil jaket dan topi di kamar, kemudian memakainya dan memastikan penampilanku di depan cermin. Tentu saja aku tak boleh terlihat jelek ketika memberikan hadiah, bukan?

 

“Aku pergi dulu Eomma, Appa~!” Kulambaikan tanganku ke arah beliau berdua seraya terus berlari kecil ke pintu keluar.

 

“Kau tak ingin Appa antar?”

 

“Tidak, rumah Dongwoo ‘kan hanya di blok sebelah.” Kujejalkan kakiku ke dalam sepasang sepatu putih di depan pintu. Aku bisa melakukan ini sendiri.

 

“Baiklah, hati-hati. Salju di luar tebal.”

 

“Aku mengerti~!” Itu kalimat terakhir yang kuteriakkan sebelum pintu rumah berdebum menutup di belakangku. Eomma benar, hari ini saljunya tebal sekali. Bahkan sepanjang jalan semuanya berwarna putih. Tapi, tak mengapa! Rasa dingin ini tak akan bisa mengalahkan semangatku untuk menemui Dongwoo!

 

Dongwoo adalah teman satu kelasku yang pertama kali bisa mengalahkanku di pelajaran berhitung dan menulis. Dia bisa menulis namanya dan berhitung lebih cepat dariku ketika kelas satu. Itu membuatku agak membencinya. Tapi, ketika dia meminta bantuanku untuk belajar bersama di pelajaran mengarang, sepertinya rasa benci itu mulai hilang. Sekarang, Dongwoo adalah teman terbaikku!

 

Ah, rumahnya sudah terlihat! Setelah aku menyebrangi persimpangan di depan, aku bisa bertemu dengannya. Mungkin Dongwoo sedang tidur siang sekarang? Aku akan membangunkannya dan memaksanya membuat manusia salju denganku. Hahaha...

 

Saatnya menyeberang~ aku sudah tak –

 

BEEEPPP!!!

 

Eommaa!”

 

BRAGH!!!

 

Semuanya seperti bergerak begitu cepat. Aku merasa seperti terbang. Tapi, kemudian sesuatu yang keras menghantam tubuhku. Kepalaku sakit. Tanganku sakit. Tubuhku, rasanya semua tulang yang ada di tubuhku remuk. Remuk? Bagaimana hadiah untuk Dongwoo? Aku harus memberikannya! Di mana aku menyimpannya tadi?

 

Susah payah kugerakkan tangan menggapai gelang di dalam saku jaketku, untunglah gelangnya masih utuh. Aku bisa memberikannya untuk Dongwoo.

 

“Jii!” Itu suara Dongwoo. Aku bisa mendengar suaranya. Aku bisa samar-samar melihatnya mendekatiku di antara semua orang yang mulai mengerubungiku. Aku ingin memberikannya untuk Dongwoo. Aku membuat ini untuknya.

 

Belum sempat kuberikan gelang itu untuknya ketika tiba-tiba kurasakan sesuatu yang keras kembali menghantam kepalaku. Dilanjutkan dengan dinginnya salju yang mulai merambat di pipiku. Tapi, kenapa hamparan salju di depanku berwarna merah? Sejak kapan salju berwarna –

Gelap. Semuanya gelap, dan dingin.

 

---

 

Eomma, Appa, Dongwoo, siapapun bisakah tolong nyalakan lampunya? Aku benci gelap! Aku tak bisa bernafas! Sesak sekali. Dingin. Eomma, tolong aku...

 

“Aku akan menolongmu.” Sebuah suara lembut terdengar bersamaan dengan setitik cahaya yang muncul di hadapanku. Perlahan cahaya itu membesar, menjadi semakin besar dan besar seiring dengan udara yang mulai menghangat, dan ketika seluruh cahaya itu mengelilingiku, rasanya dadaku tak sesak lagi. Rasa sakit yang sebelumnya kurasakan menghilang, berganti dengan perasaan nyaman.

 

Tapi, di mana ini? Tempat macam apa ini? Kenapa semuanya berwarna putih, dan tak adakah orang lain di sini? Lalu, suara siapa tadi?

 

“Kau mencariku?”

 

Eomma! Aku mencoba berteriak, menyerukan rasa kagetku ketika sosok lelaki bersayap tiba-tiba berdiri di depanku. Tapi, tak ada suara yang kukeluarkan. Ini aneh sekali.

 

Lelaki itu menatapku lembut, senyumnya terlihat hangat di wajahnya yang bercahaya. Tak hanya wajahnya, seluruh tubuhnya bercahaya, bahkan sayapnya pun memancarkan cahaya putih lembut yang tak terlalu menyilaukan – tapi cukup memberikan isyarat bahwa dia sama sekali bukan sosok biasa.

 

Tempat macam apa ini? Semuanya berwarna putih dengan seorang lelaki bersayap di depanku. Apa aku terlempar ke dunia dongeng? Apa yang di depanku ini makhluk legenda yang sering diceritakan Eomma sebelum tidur? Apa namanya? Ah, ya. Malaikat pelindung!

 

“Ya, aku akan menjadi malaikat pelindungmu.” Oh! Sosok ini bisa mendengar pikiranku? “Aku akan menjagamu, karena hidupmu akan sangat berbeda mulai sekarang. Aku akan menguatkanmu, menjagamu sampai kau tumbuh menjadi wanita yang hebat.”

 

Sebenarnya siapa kau? Sekarang kau tak bisa mendengar pikiranku? Kenapa kau tak menjawab? Apa kau benar-benar malaikat pelindungku? Hey, kenapa tak ada jawaban?

 

Diusapnya ujung kepalaku lembut, seperti mengirimkan rasa nyaman dan tenang ribuan kali lipat lebih banyak dari sebelumnya. Mataku semakin berat, dan semakin berat lagi. Aku masih bisa melihat senyum hangatnya. Itu hal terakhir yang kulihat sebelum mataku tertutup sepenuhnya.

 

 

 

“Keadaannya mulai stabil, dok.”

 

“Kita bisa menambahkan darahnya sekarang. Tolong, cepat.”

 

“Ya.”

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
shin-pads
#1
Chapter 16: Cheer Up, Father, yang kayak dinyanyiin Song triplets ya?

Duuh makin complicated ini yaaa ㅠㅠ