7th October 2014

Let's Have a Talk

7th October 2014

 

Kutarik nafas panjang, merasakan udara segar untuk pertama kalinya setelah beberapa hari terkurung dalam kamar. Kurasakan bibirku mengulas sebuah senyum, seingatku, tak pernah aku merasa sebersemangat ini untuk menjalani terapi sebelumnya. Mungkin, karena kali ini alasan terapi berhasil membawaku keluar dari kamar?

 

Kusapukan pandangan ke segala arah, mengamati anak-anak berambut tipis yang berlarian sepanjang koridor, melewatiku dengan tawa mereka yang menguar ke udara. Berhasil membuat Jiyeop Oppa yang berdiri di belakang kursi rodaku berteriak memperingatkan mereka. Sementara, aku hanya bisa tertawa kecil karenanya.

 

Mereka bersemangat sekali, seolah melupakan sama sekali penyakit dalam diri mereka. Penyakit yang mungkin bisa saja merontokkan rambut dan daya tahan tubuh mereka. Tapi, penyakit itu tak bisa merontokkan semangat mereka.

 

Bibirku masih tersenyum ketika mataku tertambat pada pemandangan di depan ruang ICU. Beberapa orang terlihat menangis di sana. Aku mengenali salah satunya, wanita paruh baya yang tengah duduk dengan wajah tertutup kedua belah tangannya itu. Lelaki yang duduk di sampingnya, yang tengah mengusap pundaknya pun, aku mengenalnya.

 

“Lee Johwa?” lirih nama gadis manis itu meluncur dari bibirku. Benarkah dia yang ada di dalam sana?

 

 Johwa, seingatku dia begitu semangat bercerita tentang teman sekolahnya yang tampan. Sekarang, jika keadaannya memburuk, mungkinkah dia sanggup bertahan sampai lima bulan lagi dan memakai gaun baru di kelulusan SD-nya? Tersenyum pada teman sekolah yang dia sukai?

 

“Ya, keadaannya kritis sejak semalam.” Suara Jiyeop Oppa di belakangku terdengar. Mengundangku untuk mengangkat kepala demi menatapnya penuh harap. Entahlah, aku ingin Jiyeop Oppa mengatakan sesuatu yang baik. Karena, itu terasa akan menjadi nyata ketika dia mengucapkannya.

 

 “Dia gadis yang kuat. Kau tahu itu, ‘kan?” Diusapnya pundakku lembut, menenangkanku.

 

“Ya, kau benar, Oppa.” Kutunjukkan senyum kecilku ke arahnya sebelum mengalihkan pandanganku kembali ke depan.

 

Tidak hanya Johwa, semua anak di sini adalah anak yang kuat, seperti tokoh superhero yang tergambar pada dinding kamar mereka. Mereka memiliki kekuatan super bernama semangat untuk melawan penjahat bernama penyakit. Mereka juga memiliki senjata bernama harapan dan keluarga yang bisa menguatkan mereka.

 

Tidak hanya mereka. Tapi, aku juga. Kami. Bahkan mungkin kau juga. Kita semua, bisa menjadi superhero untuk diri kita sendiri. Bukankah begitu?

 

Oppa,” kembali kuangkat kepalaku menatapnya bingung, “apa ruang terapi sudah dipindah?” kursi rodaku tidak berbelok ke arah yang seharusnya.

 

“Kita lihat saja nanti.” Senyumnya mengembang penuh arti. Tapi, sayangnya aku tak bisa mengartikannya. Menyebalkan. Dia sama menyebalkannya dengan Leo, mereka tak pernah membiarkanku membaca pikiran mereka.

 

Ah, iya. Di mana si tampan tapi bodoh itu? Dia tak terlihat di manapun sejak kemarin. Tunggu –

 

“Sejak kapan ruang serba guna berganti menjadi ruang terapi?” kerut pada dahiku semakin dalam ketika roda kursiku berhenti berputar di depan pintu ruang serba guna. Tapi, sekali lagi tak ada jawaban yang kudengar dari Jiyeop Oppa.

 

Hanya tangannya yang terulur melewati kepalaku, mendorong pintu besar di depanku terbuka perlahan.

 

Dor!

 

Letupan kecil dan taburan konfeti menyambutku ketika kami memasuki ruang serba guna. Mengagetkanku begitu saja, dan hal yang selanjutnya terjadi seolah mematenkanku pada kursi roda.

 

Jiyi, himnaeseyo~ uriga, itchanayo~! Jiyi, himnaeseyo~ uriga, isseoyo~!”*

 

Bagai mantra medusa nyanyian mereka menyihirku menjadi patung batu yang tak sanggup melakukan apapun selain menatap mereka. Takjub. Sekaligus haru.

 

Anak-anak berambut tipis yang sebelumnya berlarian di koridor sudah berkumpul di sini, dengan setangkai bunga carnation pada masing-masing tangan mereka. Berseru, menyanyikan lagu itu untukku. Lagu yang terdengar seperti mantra yang sangat manjur bagiku.

 

Ada pula beberapa dokter dan suster yang berdiri di belakang mereka, tersenyum hangat ke arahku. Mengirimkan semangat mereka melalui tatapan mata.

 

Eomma, juga Appa. Beliau berdua, kedua orang yang paling repot mengurusku. Kusita semua perhatian, waktu, bahkan harta mereka hanya untuk diriku sendiri. Anak mereka yang egois ini. Aku yakin, aku tak akan bisa membuka mataku sekarang jika mereka tak di sisiku. Tapi, lihatlah. Sekarang aku bahkan bisa tersenyum ke arah mereka. Tersenyum dengan pipi yang basah oleh air mata.

 

Kemudian mataku berhenti pada seseorang yang berdiri di tengah, seseorang yang tengah tersenyum sempurna ke arahku dengan sebuah permen kapas raksasa di tangannya. Kurasa baru saja aku berpikir dia meninggalkanku. Ternyata, dia berdiri di sini sekarang. Mematungkanku lebih dahsyat dari mantra yang sebelumnya terdengar.

 

Mereka semua, mereka semua yang telah mematungkanku. Apa yang harus kulakukan sekarang? Bagaimana aku harus bereaksi? Apa yang harus kuucapkan?

 

“Terimakasih.” Hanya satu kata itu yang sanggup diloloskan bibirku ketika mulai kutemukan suaraku.

 

“Terimakasih.” Hanya satu kata itu yang sanggup kuucapkan seraya mengusap pipiku dengan punggung tangan, mencoba tertawa kecil. Menunjukkan rasa bahagiaku.

 

“Terimakasih.” Hanya satu kata itu yang sanggup kuulang ketika kurasakan dekapan Eommamerengkuhku, membawa tubuhku bangkit dari duduk. Membalas dekapan beliau, kusandarkan sebagian besar berat badanku pada Appa yang kini juga tengah memelukku. Aku bahkan tak sanggup berdiri karena rasa bahagia yang terlalu meluap.

 

“Terimakasih.” Hanya satu kata itu yang pantas kuulang ketika kurasakan dekapan lain mulai menenggelamkanku.

 

“Terimakasih. Terimakasih. Terimakasih.” Entah berapa kali harus kuucapkan kata itu untuk menunjukkan bagaimana perasaanku saat ini. Bahkan meskipun aku mengucapkannya ratusan kali, itu tak akan bisa membalas perbuatan mereka.

 

Terimakasih.

 

 

---

 

 

“Terimakasih pestanya hari ini,” kutengokkan kepalaku ke belakang demi menunjukkan senyumku ke arah Leo yang tengah mendorong kursi rodaku menyusuri koridor, “ini juga, terimakasih.” Kutunjukkan pula permen kapas pemberiannya di tanganku, menggoyang-goyangkannya girang.

 

“Kau menyukainya?”

 

Mantap kuanggukkan kepalaku menjawabnya tanpa pikir panjang lagi. Tentu saja aku menyukainya. Juga senyum yang Leo tunjukkan sekarang. Juga tangannya yang mengusap kepalaku. Aku menyukai semuanya. Mungkin aku tersenyum terlalu lebar dan terlihat seperti orang bodoh. Tapi, siapa peduli?

 

“Apa yang lebih kau suka? Pestanya atau senyumku?” Pertanyaan Leo membuat mataku membola dengan seketika. Pertanyaan macam apa ini?

Kualihkan pandanganku ke depan, mencoba menyembunyikan pipi merahku – meski aku tahu itu percuma, “Tentu saja pestanya.”

 

“Benarkah?” sekali lagi suara lembutnya menggelitik telingaku, membuatku menganggukkan kepala dengan otomatis untuk ke sekian kalinya. “Bukankah seingatku kau mengatakan tentang – ”

 

“La la la~ aku tak mendengarmu~ la la la la~” kututup kedua telingaku rapat-rapat seraya bersenandung asal. Aku tahu yang akan keluar dari bibirnya pasti sesuatu tentang dua minggu yang lalu. Tidak tidak aku tak ingin mendengarnya.

 

“Kau tak ingin mendengarnya?” nafasnya terdengar menghela berat ketika langkah kami berhenti di taman rumah sakit. Menatap sulaman awan jingga langit senja musim gugur.

 

Tapi, hanya sebentar. Karena selanjutnya, sosok sempurna itu yang memblokade seluruh penglihatanku. Perlahan tubuhnya membungkuk, mengurangi jarak di antara kami. Sekali lagi mengunciku dengan tatapan matanya.

 

Tidak, bukan hanya tatapan matanya yang membuatku terperangkap. Tapi, juga kedua tangannya di sisi tubuhku. Menahan kursi rodaku, seolah mencegahku untuk pergi ke manapun. Aku tak akan pergi – ya, setidaknya aku tak bisa melarikan diri dari tatapan matanya dan degup jantung yang menggila seperti ini. Sial!

 

“Aku mendengarnya.” Berbisik suaranya bagaikan angin sejuk musim gugur di telingaku. Tapi, hey apa yang kau dengar, Leo-ssi? Umpatanku? Degup jantungku? Keduanya? Dan lagi, kenapa jarak di antara kami menjadi semakin –

 

Srak. Kuangkat permen kapas pemberiannya ke depan wajahku seraya menutup mata rapat-rapat. Memblokade gerakannya. Tidak. Aku belum siap untuk itu.

 

“Aku ingin makan ini, bisakah kau membukanya untukku?” kuulurkan gumpalan gula berwarna merah muda itu ke arahnya seraya tersenyum lebar ketika Leo mulai bangkit dari posisinya seraya mendesis sebal. Kekeke... Lucu sekali.

 

Lelaki yang kini tengah duduk di sampingku, membuka bungkus permen kapas itu, dia sudah sama sekali berbeda sejak pertama kali kami bertemu. Benar-benar berbeda. Leo tak pernah memaksaku menemaninya mencari korbannya lagi, mungkin karena aku sakit. Leo juga lebih banyak tersenyum dan tak pernah mengatakan aku menyebalkan, ya tentu saja itu karena aku memang gadis yang baik. Leo juga, tak terlihat khawatir akan menjadi manusia lagi sekarang.

 

“Apa kau sudah mulai menikmati perasaan rumit itu?” ringan pertanyaan itu meluncur dari bibirku ketika kuraih permen kapas dari tangannya. Menatapnya penuh rasa ingin tahu.

 

“Ada seseorang yang mengajarkan sesuatu ini padaku.”

 

“Apa?”

 

Bisa kulihat sebuah senyum kecil di wajahnya yang keemasan di terpa sinar mentari senja. Sepasang manik hitam itu menatapku intens, memantulkan bayanganku di sana seperti biasa, “Rasa sayang adalah rasa yang paling nyaman di dunia. Rasa sakit dan bahagianya, kau bisa menikmatinya. Tak ada yang bisa menyamai perasaan itu.”

 

Senyumnya mengembang semakin lebar di ujung kalimatnya. Mungkin aku tak bisa membaca pikirannya. Tapi, aku tahu benar apa yang sedang dirasakannya sekarang. Aku bisa merasakan rasa bahagianya juga. Aku bisa merasakannya.

 

Drap. Drap. Drap.

 

Derap langkah kaki beberapa orang mengalihkan perhatianku, menarik kepalaku uuntuk menilik ke arah koridor di belakang punggungku. Beberapa orang berseragam putih terlihat berjalan dengan tergesa di sana, mendorong seseorang yang terbaring di atas brankar bagai tak ada hari esok lagi. Entahlah, aku tak bisa melihat siapa yang terbaring di sana.

 

Tapi, bisa jelas kulihat sepasang suami istri yang juga berjalan tergesa di belakang mereka. Sang suami merangkul istrinya yang menangis tersedu-sedu, seolah menenangkannya.

 

“Ahjumma, Ahjussi?” Tak percaya kuloloskan dua panggilan itu lirih dari bibirku. Mereka, orang tua Dongwoo, dan aku tahu pasti mereka tak mempunyai anak lain ataupun saudara di Seoul. Jadi, siapa yang terbaring di sana?

 

Kumohon, semoga ini tak lebih dari firasat buruk, ya Tuhan.

 

 

 

*) Potongan lagu ‘Cheer up Father’ dengan lirik ‘Appa’ yang diganti menjadi ‘Jiyi’.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
shin-pads
#1
Chapter 16: Cheer Up, Father, yang kayak dinyanyiin Song triplets ya?

Duuh makin complicated ini yaaa ㅠㅠ