10th October 2014

Let's Have a Talk

10th October 2014

 

Sepasang roda besar di bawah tubuhku berputar perlahan menuju sebuah kamar di ujung koridor. Seirama dengan langkah kaki Leo di belakangku, menggoyangkan beberapa helai daun dari seikat bunga carnation di pangkuanku. Bunga ini, berarti kesehatan juga ikatan kasih sayang. Sementara, beberapa kuntum bunga carnation berwarna putih yang disusun di bagian tengahnya melambangkan cinta suci.

‘Ikatan kasih sayang’ dan ‘cinta suci’, bukankah kekuatan itu yang selalu sanggup mematahkan semua mantra jahat dalam cerita dongeng? Ya, sekarangpun akan kupatahkan mantra jahat yang tengah menidurkan seseorang di dalam sana. Di balik pintu cokelat bertuliskan ‘Shin Dongwoo’ di sampingnya ini.

“Aku masuk sendiri saja.” Lirih kusuarakan satu kalimat itu tanpa menatap Leo. Namun, tetap saja membuatnya mundur satu langkah dari kursiku. Membiarkanku menemui Dongwoo sendiri seperti kemarin atau kemarin lusa. Leo tahu benar bagaimana dia harus memperlakukanku sekarang.

Kutarik nafas panjang, mengumpulkan kekuatan yang sebelumnya menguar di udara. Aku harus lebih kuat dari sebelumnya. Dongwoo sudah melewatkan bertahun-tahun hidupnya untuk menemaniku dan menguatkanku. Sekarang, saatnya aku yang menguatkannya.

Merapihkan letak bunga carnation di pangkuanku sebelum mendorong pintu kayu di depanku ini perlahan. Merasakan hangat hawa di dalam sana yang menyambutku, aku akan mematahkan mantra jahat itu, Dongwoo-ya.

Oh, Jii.” Ramah suara Ahjumma mengudara bersamaan dengan langkah kaki beliau yang mendekat ke arahku. Sebuah senyum kecil terukir di antara pipi beliau yang sembab, seolah meyakinkanku bahwa beliau baik-baik saja – meskipun sebenarnya tidak.

“Ini, kubawakan bunga untuk Dongwoo.” Kuelungkan rangkaian bunga di pangkuanku yang langsung beliau sambut dengan senyum yang lebih lebar.

“Terimakasih.” Itu yang bisa kudengar dari beliau sebelum kuputar roda kursiku mendekati tempat tidur Dongwoo, sementara Ahjumma berjalan ke arah lain, meletakkan bunga pemberianku di dalam vas.

Tak ada sepasang kacamata yang membingkai wajah tenang yang tengah tertidur di depanku ini. Koma, dokter bilang? Kemungkinan terburuknya dia tak akan bangun lagi, dokter bilang? Tidak. Dongwoo tidak koma. Dongwoo hanya sedang tertidur, dan dia pasti akan bangun.

“Untung sekali kau datang tepat waktu,” kembali suara Ahjumma terdengar, mengalihkan perhatianku ke arah beliau yang tengah meletakkan vas bunga di nakas di samping tempat tidur Dongwoo, “ada yang harus Ahjumma bicarakan dengan dokter. Bisakah tolong kau jaga Dongwoo?”

“Ya, tentu Ahjumma.” Mantap kuanggukkan kepalaku menjawab beliau, “Sebaiknya Ahjumma juga makan, jangan sampai Ahjumma juga sakit.”

“Jangan khawatir, Ahjumma titip Dongwoo ya.” Itu kalimat terakhir yang kudengar dari beliau sebelum tangan beliau mendarat pelan di puncak kepalaku kemudian, dan anggukan kepalaku mengantarkan punggung beliau yang berbalik ke arahku. Menjauh menuju pintu kamar.

Blam.

Debuman kecil itu mengisyaratkanku untuk kembali mengalihkan perhatian ke arah Dongwoo. Hai, teman kecilku. Kali ini aku tak datang hanya untuk menangis seperti kemarin.

“Akan kuceritakan banyak hal padamu. Karena, mereka bilang kau masih bisa mendengar orang yang berbicara padamu.” Kuputar roda kursiku lebih dekat dengannya perlahan demi bisa meraih tangan kanannya, mengacuhkan selang infus yang terpasang di sana. “Kau bisa mendengarku ‘kan, Dongwoo-ya? Jadi, jika ketika kau bangun aku sudah tak ada di sini. Kau tetap tahu perasaanku.”

Konyol. Aku bahkan tertawa kecil karena pikiranku sendiri. Dongwoo tak pernah menyadari perasaanku meskipun dia selalu ada di sampingku. Sekarang, ketika kukatakan semua kepadanya, aku bahkan tak bisa tahu apakah dia membalas perasaanku atau tidak. Hidupku ini, lebih konyol dari lelucon paling bodoh.

“Meskipun sebenarnya, aku marah padamu. Kau tak pernah menyadari perasaanku, kau tiba-tiba pergi begitu saja ke tempat yang sangat jauh, kemudian menyuruhku menunggumu sampai empat tahun untuk kembali ketika harapan hidupku nyaris nol.” Suaraku mulai bergetar karenanya, bersamaan dengan bulir-bulir air yang terkumpul di pelupuk mataku. Tapi, tidak. Aku tak boleh menangis.

“Kau tahu, Dongwoo-ya? Jika kau tak menyuruhku menunggu empat tahun lagi, mungkin aku sudah mati sekarang. Menyerah. Pasrah karena kau tak berjanji untuk menemuiku. Tapi, lihat sekarang,” suaraku tercekat. Rasanya, seperti ada puluhan galon air yang menyumpal tenggorokanku. Menahan pita suaraku untuk bergetar mengeluarkan barang satu huruf saja.

Dalam-dalam kutarik nafas, seraya memejamkan mata. Membiarkan bulir-bulir air yang sebelumnya tertahan menetes perlahan, “Kita bertemu sekarang. Aku bisa melihatmu.” Aku tak bisa menahan ini lagi. Perasaan dalam tubuhku, semuanya terlalu meluap.

“Kenapa kau tak bisa melihatku? Kenapa ini semua berbeda dari bayanganku? Aku tak bertahan sekeras ini hanya untuk melihatmu berbaring! Bangunlah, Dongwoo-ya! Bangunlah, Shin Dongwoo!” Pelan kudaratkan kepalanku pada tubuhnya sebelum akhirnya menjatuhkan kepalaku di tempat tidur, membiarkan benda putih itu menahan kepalaku yang terasa begitu berat.

“Bangunlah, buat aku kembali tertawa. Masih ada banyak tahun baru yang harus kita lewati bersama. Bangunlah sekarang, akan kubagi semua makan siangku padamu. Akan kukerjakan semua tugas sastramu. Aku tak akan mengambil kacamatamu. Aku akan terus bertingkah seperti adik perempuan yang baik yang selama ini kau impikan. Bangunlah, kumohon.”

Menyedihkan. Bahkan yang bisa kulakukan hanya menangis di samping tubuhnya, membasahi tempat tidurnya. Meracau dengan suara yang nyaris tak bisa terdengar lagi. Tenggelam bersama isak tangisku yang teredam lapisan kasur.

“Bangunlah, aku mencintaimu, Shin Dongwoo.”

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
shin-pads
#1
Chapter 16: Cheer Up, Father, yang kayak dinyanyiin Song triplets ya?

Duuh makin complicated ini yaaa ㅠㅠ