14 September 2014

Let's Have a Talk

14th September, 2014

 

‘Rumah Sakit Umum Gwangju’, besar-besar kalimat itu terpampang di papan putih di belakang kami. Seperti yang kami lakukan sejak kemarin, hari inipun kami berkeliling dari satu rumah sakit ke rumah sakit yang lain hanya untuk menemukan seorang pasien yang bahkan tak kami ketahui namanya.

 

Aneh sekali, bukankah malaikat di ‘Death Note’ bisa melihat nama dan tanggal kematian seseorang melayang-layang di atas kepala mereka? Lalu kenapa Leo bisa sebodoh itu? Bahkan nama pun dia tak bisa membacanya?

 

“Sudah kubilang aku belum menjadi malaikat.” Suara lirih itu terdengar bersamaan dengan tangannya yang – lagi-lagi – mencoret salah satu nama pada buku di tangannya. Kami sudah jauh-jauh datang ke Gwangju, dan ini adalah rumah sakit ketiga hari ini. Hasilnya? Nihil.

 

“Kenapa kau tak bertanya pada kakakmu? Aku yakin dia pasti tahu siapa nama korbanmu.”

 

“Dia tak tahu, dia hanya tahu nama orang yang seharusnya kupandu hari itu.”

 

“Bahkan kakakmu tak bisa melihat namanya melayang-layang? Seperti Rem?”

 

Sepasang mata kecil itu menatapku heran, memantulkan bayanganku yang tengah menatapnya dengan mata membola di manik mata sempurnanya. “Pertama, kakakku bukanlah Rem. Kedua, Death Note hanya cerita fiksi. Kami, maksudku malaikat tak bisa melihat hal semacam itu.”

 

“Kenapa? Bukankah kalian dekat dengan Tuhan?”

 

“Tapi takdir itu rahasia Tuhan. Termasuk kematian, kau bisa dibuang ke bumi atau lebih parah dimusnahkan jika mengacaukan takdir Tuhan.” Datar. Tak ada emosi di nada bicaranya seperti biasa. Mengatakan hal semacam itu dengan lancar seolah menjelaskan 1 + 1 = 2. Sesederhana itukah perihal takdir bagi kaumnya? Bahkan membicarakan hukuman yang harus dipertaruhkan jika mengacaukan takdir dengan begitu entengnya.

 

Untung saja Leoselalu berbicara dengan gelombang suara infrasonik, jadi tidak akan ada yang menganggap kami aneh karena pembicaraan ini. Baiklah, mungkin tidak separah itu. Tapi, suaranya benar-benar pelan.

 

“Bus-nya datang. Kau mau menginap di sini?” lagi, suara lembut – tapi menyebalkan – itu lagi-lagi memecah lamunanku. Oh, sejak kapan bus berhenti di depan kami?

 

“Tunggu!” Kubawa kakiku berlari kecil memasuki bus di belakang Leo. Ugh. Bahkan berjalan di belakang punggungnya terasa begini menyiksa. Kadang, kurasa lebih baik Leo memunculkan sayap yang menutupi punggung menggoda itu. Aih. Aku ingin bersandar di –

 

“Berhentilah memikirkan yang tidak-tidak, maniac.

 

“APA KAUBILANG?” Reflek aku berteriak di depannya. Tapi, sosok sempurna itu sudah duduk di sudut belakang bus dengan pandangan datar ke depan. Tunggu, kenapa perasaanku tak enak?

 

Kusapukan pandanganku ke seluruh penjuru hanya untuk menemukan tatapan sinis penumpang lain. Bahkan pak supir di depan sana sudah menatapku sinis dari spion di atas kepalanya. Baiklah, aku yang salah. Tak seharusnya aku berteriak-teriak di dalam bus.

 

“Maaf. Maaf sekali.” Kubungkukkan tubuhku, meminta maafdengan tulus untuk segenap penghuni bus. Ya, siapa tahu ada makhluk gaib yang juga terganggu di sini?

 

“Aku bukan maniac.” Desisku sesaat setelah kuenyakkan tubuhku di samping Leo. Lihat, lagi-lagi dia hanya diam menatap datar ke depan seperti patung Yunani. Menyebalkan!

 

Kau menyebalkan, Leo-ssi! Kau menyebalkan! Kau berhutang banyak padaku. Ingat, kau berhutang banyak padaku.

 

“Bisakah kau berhenti? Aku seperti mendengar bisikan setan.” Gotcha! Akhirnya perhatiannya teralih kepadaku. Hahaha...

 

“Karena kau berhutang padaku, ada sesuatu yang harus kau lakukan untuk membayarnya.”

 

“Apa?”

 

Kubiarkan sepasang manik sempurna itu menatapku heran sementara kuaduk isi tasku, mencari-cari selembar kertas yang sudah kusiapkan sejak semalam. Biarkan saja dulu suasana ini, jarang-jarang aku menunjukkan sisi sampingku yang mengagumkan, bukan?

 

“Sisi belakangmu lebih enak dilihat.”

 

Tarik nafas, hembuskan perlahan, tahan emosimu, Jeon Jiyi. “Terimakasih. Aku tersanjung.” Kupaksakan sebuah senyum dengan rahang yang mengatup rapat seraya memberikan kertas ‘sertifikat’ untuk Leo.

 

“Apa ini? Sertifikat pelunasan hutang?” Berulang kali ditatapnya surat itu dan diriku bergantian. Mantap kuanggukkan kepalaku menjawabnya, kali ini dengan senyum yang lebih tulus.

 

“Kau tak boleh kembali ke tempatmu dengan tenang sebelum memenuhi semua hutangmu. Ini cara pembayarannya.”

 

“Semoga kau bercanda.”

 

“Tidak. Aku sama sekali tak bercanda, Leo.”

 

Kemudian punggungnya yang bersandar pasrah pada tempat duduk seolah memberiku jawaban yang kuinginkan. Leopasti akan membayarnya! Aku yakin itu,meskipun dia belum berjanji.

 

“Benar, kau memang bukan gadis biasa.” Kini wajah frustasinya itu tertutup kedua telapak tangannya. Hahaha... Ingin sekali aku tertawa sekarang! Tapi, mungkin aku harus menahannya jika tak ingin diturunkan dengan paksa.

 

“Kau boleh menandatanganinya.” Mati-matian kutahan tawaku seraya menyerahkan pulpen padanya. Wajah Leo benar-benar lucu! Ini lebih lucu dari gag concert!

 

“Menurutmu, apakah poin lima mungkin di lakukan?”

 

“Kita lihat saja. Kekeke~”

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
shin-pads
#1
Chapter 16: Cheer Up, Father, yang kayak dinyanyiin Song triplets ya?

Duuh makin complicated ini yaaa ㅠㅠ