7th September, 2014

Let's Have a Talk

7th September, 2014

 

Sudah satu minggu berlalu sejak kedatanganya di hidupku. Sudah satu minggu pula wajah tanpa ekspresi dengan sepasang sayap itu memenuhi penglihatanku, menyesakkan memori otakku dengan pikiran-pikiran tentangnya. Astaga. Bahkan seharusnya ini tak berpengaruh untukku. Kenapa aku harus ikut memikirkan masalahnya?

 

“Kau sudah berjanji akan membantuku,” kepala berpahat wajah sempurna itu terangkat, mengalihkan pandangan dari semangkuk sup kimchi di meja, “atau aku akan terus mengganggu hidupmu. Selamanya.”

 

“Ya, ya ya... Aku tahu.” Kuputar bola mataku menjawabnya seraya mengaduk-aduk sup gingseng di depanku. Sementara, Leo hanya menganggukkan kepalanya perlahan sebelum melanjutkan kembali makannya. Apa di Surga tak ada makanan seenak di bumi?

 

“Aku tidak tinggal di Surga.” Lirih kalimat konfirmasi itu terdengar. Ah, baiklah dia memang tak tinggal di Surga. Baiklah, aku yang salah.

 

Tapi, entahlah siapa yang salah jika sampai ada gadis yang pingsan di cafetaria siang ini. Aku tak berlebihan! Tapi, memang ada banyak gadis yang menahan nafas sejak Leo masuk cafetaria sekitar setengah jam yang lalu. Memaksa otot mata mereka menatap Leo tanpa berkedip, dan sosok yang mengaku malaikat yang bisa membaca pikiran di depanku ini masih saja asyik menghabiskan makanannya tanpa memperdulikan apapun. Seolah dia akan tetap makan meskipun atap runtuh.

 

Apa dia benar-benar bisa membaca pikiran? Kenapa dia terlihat tak ada bedanya dengan Dongwoo yang tak peka? Apa dia hanya terobsesi dengan Do Minjoon?

 

Tuk. Diletakkannya sendok perak itu, sebelum melipat tangannya di meja kemudian menatapku intens, “Kau benar-benar cerewet.”

 

“Cerewet? Aku tak mengatakan – ” gerakan telunjuknya yang menunjuk pelipis kanan kepalanya memotong kalimatku seketika, “okay.” Mengendik bahuku menanggapinya. Baiklah, Leo yang tampan ini memang malaikat yang bisa membaca pikiran.

 

“Kau bilang ada kenalanmu yang bisa membantu kita?”

 

Ah, ya. Dia sepupuku, dokter di rumah sakit kota. Mungkin kita bisa mendapat data pasien darinya. Aku akan menelfonnya, dia bilang dia akan menunggu kita di apartemennya.”

 

Tak ada lagi yang diucapkannya kecuali mengangguk patuh, seperti Prince ketika di perintah Jiyeop Oppa. Ah, Prince-ya~ aku merindukan baby samoyed itu.

 

“Bulunya putih bersih, dia lucu sekali. Kau seharusnya bersyukur karena kumiripkan dengannya. Wajahnya jauh lebih ramah daripada wajahmu.” Jelasku sesegera mungkin seraya menempelkan ponsel di telingaku. Leo sudah menatapku tajam. Untung dia sejenis malaikat, bukan setan. Kalau tidak, dia pasti sudah mencekikku sekarang.

 

Yeoboseyo?” Sapaan di seberang terdengar. Nice timing sebelum Leo benar-benar mencekikku! Hahaha...

 

“Yo, Kim-nim! Kau sudah pulang?”

 

“Ya, aku di apartemen sekarang. Kapan kau ke sini?”

 

“Aku berangkat sekarang. Siapkan makanan yang enak, okay?”

 

Call. Cepatlah.”

 

Seperti biasa, panggilan kami berakhir dengan tawa kecil yang menguar dari masing-masing ujung telefon. Terlebih, jika Jiyeop Oppa sudah menjanjikan makanan. Hanya masakan Jiyeop Oppa dan Eomma yang membuatku benar-benar lapar.

 

“Apakah ini pertama kalinya aku melihatmu sangat bersemangat membicarakan makanan?”

 

“Kau tak akan bisa menolak masakan Jiyeop Oppa. Percayalah.” Kubenarkan letak slingbag di pundakku seraya bangkit dari duduk, “Ayo kita pergi sekarang. Sebentar lagi jam pulang kerja, aku tak mau berdesakan di dalam kereta.”

 

Tak ada protes, seperti biasa. Hanya langkah kakinya yang terdengar di sampingku. Ah, ya dengan desisan iri gadis-gadis  yang melihat kami berjalan berdampingan sebagai latar belakang. Apa itu bisa dihitung sebagai protes?

 

Yaa, menurutmu kenapa kau dibuang ke Korea,” kugerakkan kedua pasang jari telunjuk dan jari tengahku naik turun pada kata ‘buang’, “dan bukannya ke tempat di mana korbanmu pasti berada? Bukankah kau bilang kebanyakan orang di tempat itu sama sekali tak terlihat seperti orang Asia?”

 

Beberapa menit berlalu sampai langkah kami mencapai pintu stasiun. Tapi, belum juga kudengar jawaban darinya. Haruskah aku memenuhi pikiranku dengan pertanyaan yang sama, seperti yang selalu kulakukan jika dia tak mau menjawab?

 

“Kau tak perlu melakukannya.” Suara lembut itu terdengar tepat sebelum atap stasiun menaungi kepala kami, “Aku yakin ada alasan kuat yang membuatku dibuang ke sini. Pasti ada takdir yang harus kupenuhi.”

 

“Apa itu?”

 

“Bahkan kami, malaikat tak tahu apa yang ditakdirkan Tuhan untuk diri kami.”

 

 

---

 

 

‘03-03-03’

 

Ting. Nyaring suara itu terdengar tepat sesaat setelah kutekan kode pintu apartemen Jiyeop Oppa. Kudorong pintu putih itu bersemangat seraya melangkah memasuki apartemennya dengan senyuman lebar, dan semakin lebar lagi saat aroma wangi makanan menyambutku di dalam apartemen.

 

“Aku datang!”

 

“Masuklah, aku harus menyelesaikan ini.” Teriakan Jiyeop Oppa dari arah dapur menjawabku. Marilah kita percayakan nasib perut kita malam ini pada masakan Jiyeop Oppa.

 

Okay. Ayo masuk, Leo.” Kulambaikan tanganku pada sosok yang masih saja berdiri di depan pintu seraya melepas sepatuku.  Mematung menatap tombol di samping pintu, apa yang dipikirkannya di sana? Aku bahkan tak bisa menebak apapun karena wajahnya  selalu tanpa ekspresi. T api, dia bisa begitu mudahnya mendengar pikiranku setiap saat. Bukankah ini curang?

 

“Tiga maret duaributiga?” Akhirnya mata itu berpaling menatapku heran, bersamaan dengan kakinya yang melangkah mendekatiku. “Apa yang terjadi pada tanggal tiga maret duaributiga? Apa itu ulang tahunmu?”

 

“Ulang tahun? Aku duapuluh tahun, Leo-ssi! Mana mungkin itu ulang tahunku? Hahaha...” Aku tidak akan mengikuti kelas di universitas Seoul tadi pagi jika itu ulang tahunku. Ada-ada saja.

 

“Itu bukan tanggal apapun, Jiyeop Oppa hanya malas menghafal kombinasi angka yang terlalu rumit. Ayo masuk.” Sudahlah, mari kita tinggalkan Leo dan pikirannya. Yang harus kulakukan sekarang adalah berlari ke dapur, karena masakan Jiyeop Oppa sudah menunggu!

 

Uwaa~ apa kau membuka restoran, Kim-nim?” Reflek membola mataku menatap deretan menu di atas meja makan. Mulai dari makanan pembuka, makanan utama, sampai kue tersedia di meja makan. Aku merasa sedang ada di jamuan!

 

“Ya, dan kau harus membayar mahal untuk semua itu.” Samgyetang! Sup ayam dan gingseng itu yang terakhir diletakkan Jiyeop Oppa di meja sebelum menepuk-nepuk tangannya dan berkacak pinggang menatapku.

 

“Tapi aku tak punya uang. Bisakah aku membayarnya dengan aegyo?” Kumiringkan kepala, berkedip-kedip menatapnya seraya sedikit membungkuk dengan tangan  mengepal yang lurus ke belakang, “Heeyeong heeyeong~” Jiyeop Oppa tertawa! Aku tahu, aegyo Myungsoo Oppa pasti ampuh!

 

“Hahaha... Hutangmu lunas. Kau boleh memakan semuanya.” Kurasakan tangan besarnya mengusap ujung kepalaku lembut sebelum digerakkannya sepasang lengan besar itu memelukku erat. Hangat. Pelukannya selalu hangat dan nyaman. Itu yang membuatku dan Prince selalu ingin di dekatnya.

 

Ah, ya. Di mana Prince?” Kuangkat kepala demi menatapnya yang lebih tinggi dariku. Kemudian, yang  kudapatkan darinya adalah kepalanya yang mengendik ke arah ruang tv.

 

Seperti komando otomatis, kulangkahkan kakiku berlari kecil ke kandang Prince di sudut ruang tv, melewati Leo yang – lagi-lagi – berdiri mematung menatap apapun itu yang menyita perhatiannya. “Oppa, ini Leo, temanku yang ingin melakukan riset di rumah sakit. Leo, itu Oppa-ku. Tenang saja, dia baik.”  Kusempatkan menepuk bahunya sebelum melanjutkan langkahku mendekati Prince. Ay~ anak manis itu sudah menggonggong saja minta digendong.

 

“Sayangku~! Apa kau merindukan Noona?” Kubawa dia di dekapanku seraya mengenyakkan tubuhku di lantai. Prince menggonggong seperti menjawabku. Aku tahu dia pasti merindukanku. Aku tahu.

 

Noona juga merindukanmu. Uchuchu~”  bulu Prince lembut sekali. Wajahnya seperti selalu tersenyum, ramah dan mempesona seperti pangeran. Beberapa detik kemudian, aku sudah berguling-guling di lantai. Tertawa geli karena Prince yang terus menjilati wajahku. Dia benar-benar merindukanku rupanya.

 

Ah, ya kenapa belum ada pembicaraan yang terdengar dari belakang? Bahkan ketika kupalingkan kepalaku, Leo dan Jiyeop Oppa hanya saling memandang. Aneh sekali.

 

“Apa kalian sedang melakukan telepati atau sejenisnya?”

 

“Tentu saja tidak.” Suara Jiyeop Oppa terdengar bersamaan dengan senyum kecilnya yang mengembang, “Dia mirip sekali dengan seseeorang yang kukenal, aku sampai kaget melihatnya.”

 

Jawabannya membuat bibirku membentuk huruf O sejurus kemudian, seraya menganggukkan kepalaku. Entahlah. Aku tak mengerti apa yang terjadi di antara mereka. Lebih baik aku bermain dengan Prince.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
shin-pads
#1
Chapter 16: Cheer Up, Father, yang kayak dinyanyiin Song triplets ya?

Duuh makin complicated ini yaaa ㅠㅠ