24th September 2014

Let's Have a Talk

24thSeptember, 2014

 

 

Kubawa kakiku menapaki lantai balkon dengan secangkir teh madu di tangan, menikmati siang hari musim gugur yang begitu menyejukkan. Aku beruntung tak ada kelas hari ini. Jadi, bisa kuhabiskan waktuku di rumah, mengembalikan kondisiku yang belum juga membaik. Padahal, Jiyeop Oppa sudah memberiku obat. Tapi, daya tahan tubuhku seakan sama sekali tak bereaksi.

 

Kuhela nafas panjang seraya melipat tangan pada tepian balkon, menumpukan seluruh berat badanku di sana. Menatap seksama sulaman awan biru dengan hamparan taman kecil berwarna-warni sebagai alasnya. Beberapa bunga anggrek yang kutanam di pekarangan sudah mulai bermekaran. Seolah mengejekku yang malah layu di musim gugur tahun ini.

 

Seperti anggrek ungu yang berarti ketidakpastian, pertemuanku dengan Dongwoo juga semakin terasa tak pasti. Mungkin aku tak akan bisa menepati janji untuk menemuinya empat tahun lagi.

 

“Kau melamun lagi.” Suara lembut itu terdengar, bersamaan dengan sosoknya yang tiba-tiba berdiri di sampingku. Mengundangku menengokkan kepala ke arahnya dengan mata membola. Astaga!

 

“Sebaiknya kau membuat sedikit suara yang menandakan kedatanganmu sebelum mengajakku berbicara.” Sayapnya masih mengembang. Tapi, tak ada suara kepakan sayap. Tak ada pula suara langkah kaki. Untung aku sudah mulai terbiasa dengan semua rasa kaget ini.

 

“Percuma juga, kau tak akan menyadarinya karena kau terlalu tenggelam dalam lamunanmu.” Kedua bahunya mengendik ringan sebelum di sandarkan punggungnya di balkon, menatapku santai.

 

Tak bisa kutahan tawa kecilku menguar karenanya. Leo benar, aku begitu suka melamun bahkan rasanya aku bisa tenggelam di sana dan tak ingin naik lagi. Terkadang, dunia khayalan terasa lebih indah dari dunia nyata. Selalu ada Dongwoo di sana.

 

“Tapi ada aku di dunia nyata.”

 

Sekali lagi kalimatnya mengundangku untuk membalas tatapan matanya. Kugerakkan tanganku membelai sayapnya yang berkilau, “Tapi kau terlihat seperti makhluk dari dunia khayalan. Bahkan meskipun tanpa sayap ini.”

 

“Apa ketampananku tidak manusiawi?”

 

“Apa? Hahaha...” Leo benar-benar tau bagaimana caranya melucu sekarang! Bisa-bisanya dia bertahan dengan wajah datarnya setelah mengatakan kalimat menggelikan itu sementara aku sudah tertawa terbahak-bahak. Lucu sekali!

 

“Ya, paling tidak kau sudah bisa tertawa sekarang.” Usapan tangannya di ujung kepalaku menghentikan tawaku seketika. Bahkan, apa aku melihat Leo tersenyum sebelum tubuhnya berbalik? Leo tersenyum sambil mengusap ujung kepalaku? Apa aku masih berkhayal?

 

“Kau tidak berkhayal, Jeon Jiyi. Sekarang kau tahu ‘kan dunia nyata juga bagus?” Kepalanya berpaling, mencoba menatapku dari balik sayapnya. Masih bisa kulihat senyum kecil itu terpahat rapi di wajah sempurnanya.

 

Mau tak mau, turut kuulas sebuah senyum bersamanya. Membalikkan kembali tubuhku menatap awan bersih musim gugur. Indah. Apa di Surga selalu terlihat seperti ini?

 

“Kau menyembunyikannya begitu rapi. Bahkan, aku tak bisa menemukannya di pikiranmu.” Suara lembut itu terbawa angin menggelitik telingaku, menyihir kepalaku untuk mengalihkan pandangan, menatap tampak sampingnya yang mengagumkan.

 

“Penyakitmu. Aku tak tahu apa yang kau derita. Aku tak bisa merasakan apapun selain perasaan sakit yang tak kumengerti di mana dan dari mana datangnya.” Dihelanya nafas pendek, dibawanya sepasang manik hitam itu menyambut tatapanku dalam. “Tapi aku belum ingin menjengukmu di Surga meskipun tempat itu lebih indah daripada dunia. Masih ada banyak hal yang harus kau lakukan di sini.”

 

“Hanya ada lima hal yang paling ingin kulakukan sebelum aku pergi. Maka dari itu, kau harus membantuku melakukannya sebelum aku benar-benar pergi.”

 

“Termasuk berkemah?”

 

Mantap kuanggukkan kepala menjawab pertanyaannya. Merubah ekspresinya begitu saja menjadi terlihat nyaris putus asa – setidaknya itu yang kulihat sebelum ditunjukkan lagi sisi sampingnya padaku.

 

“Kau harus benar-benar sehat. Setelah itu, akan kubawa Dongwoo kemari dan kau akan berkemah dengannya.”

 

“Kenapa Dongwoo? Aku ingin berkemah bersamamu.” Kembali kutatap hamparan awan di atas sana. Apa Dongwoo melihat ini juga? Mungkin tidak, sekarang masih malam di Amerika. “Lagipula, dia akan pulang sekitar tiga atau empat tahun lagi. Aku tak yakin waktuku sebanyak itu.”

 

“Jii – ”

 

“Aku akan sehat dalam beberapa hari ke depan. Lalu, kita akan berkemah. Call?” Kuacungkan kelingkingku ke arahnya dengan senyum lebar di bibir. Aku benar-benar ingin berkemah!

 

Lihat, tak ada reaksi dari sosok sempurna ini selain hanya mematung menatapku dan kelingkingku bergantian. Tak ada jawaban? “Call!” Kuraih tangan kanannya, mengaitkan kelingkingku dengan kelingkingnya. Kau tak menjawab, berarti kau setuju! Hahaha...

 

“Ayo berjalan-jalan dengan Prince. Aku juga berhutang untuk itu, ‘kan?” Akhirnya kalimat itu yang kudengar sesaat setelah dihelanya nafas panjang. Eeeyy... Jangan mengalihkan pembicaraan!

 

“Kau tak menjawab, berarti kau setuju. Cepatlah bersiap-siap. Kutunggu kau di depan.” Begitu saja dan sayapnya kembali mengembang, membawa tubuhnya melayang menjauh dari balkon seolah pembicaraan kami telah berakhir.

 

Baiklah, kuanggap pembicaraan kami kali ini berakhir. Jadi, sebaiknya aku bersiap-siap untuk berjalan-jalan dengan Prince sekarang. Toh Leo sudah berjanji akan mengajakku berkemah jika kondisiku membaik.

 

 

---

 

 

“Guk... Guk!”

 

Cha~ kau bisa berlari sekarang.” Kuturunkan Prince dari gendongan, dan langsung mengikutinya yang berlari sambil terus menggonggong. Ini pertama kalinya Prince bermain di luar, dan sepertinya dia senang sekali. Hahaha...

 

“Hati-hati Jii, Prince!” Seruan Jiyeop Oppa terdengar di belakang, mengundangku untuk mengacungkan ibu jari ke arahnya dengan otomatis. Aku kemari untuk bermain dengan Prince, jadi biarkan saja Jiyeop Oppa dan Leo melakukan apapun yang mereka mau. Yang penting, Prince bersamaku!

 

Tapi, lari Prince cepat juga. Baru beberapa menit berlalu dan dia sudah hampir berlari mengitari taman satu putaran penuh. Sementara aku, aku mulai kepayahan berlari sekitar sepuluh meter di belakangnya. Jiyeop Oppa benar, aku tak cocok memelihara Samoyed.

 

“Guk... Guk...” Gonggongannya terdengar semakin jelas bersamaan dengan langkahku yang mulai mendekat. Prince benar-benar senang rupanya. Aku jadi lebih bersemangat lagi melihatnya.

 

Grep. “Tertangkap~! Hahaha...”

 

Kulemparkan tubuhku menangkapnya, kemudian terduduk di rumput seraya memeluknya. Entahlah, aku tak tahu apakah aku tertawa karena aku benar-benar bahagia atau geli karena lidah Prince yang menjilat wajahku. Entahlah, aku tak tahu dan tak mau tahu. Yang pasti, aku bahagia bisa bermain dengan Prince sekarang.

 

“Kau bahagia, Prince-yaJohnya? Johnya?” Kuusap-usap kepalanya gemas seraya terus tertawa geli menanggapi gonggongannya. Menggemaskan! “Saranghae~” Cup. Mendarat kecupanku di pipinya yang langsung disambut dengan gonggongan nyaringnya. Hahaha...

 

“Kau juga bahagia?” Lagi-lagi suara Leo terdengar tiba-tiba bersamaan dengan tubuhnya yang sudah terenyakdi sampingku. Entah sejak kapan.

 

“Tentu saja aku bahagia.” Karena aku sedang bahagia, maka aku tak memrotes kemunculannya yang tiba-tiba kali ini. Karena aku sedang bahagia, maka aku bisa menjawabnya seraya tertawa kecil. Karena aku sedang bahagia.

 

“Syukurlah kalau begitu.” Kalimat itu yang terakhir kali kudengar dari Leo sebelum gonggongan Prince menyita kembali perhatianku. Dasar anak manja. Uchuchu...

 

Dengan tangan Leo di puncak kepalaku, dan Prince di pangkuanku, jelas sekali terlihat jika Prince adalah peliharaanku. Tapi, apa aku terlihat seperti peliharaan Leo?

 

“Apa aku baru saja mendengarmu tertawa?” Membola mataku menatapnya. Kepalanya menunduk, tersembunyi di antara kakinya yang terlipat. Tangannya melambai meenolak pertanyaanku. Tapi, jelas sekali bahunya bergetar karena tawa. Menyebalkan.

 

“Di mana Jiyeop Oppa? Aku tak melihatnya di manapun.”

 

“Dia bilang akan membeli makanan.” Diangkat wajah datarnya itu menatapku kembali. Cepat sekali ekspresinya berubah?

 

“Kau menyebalkan.” Kuletakkan Prince di pangkuan Leo begitu saja sebelum baangkit dari dudukku kemudian, “Belajarlah dengan Prince bagaimana caranya menjadi menyenangkan.”

 

Menjulur lidahku ke arahnya seraya kulangkahkan kaki menjauh, mengacuhkan seruannya di balik punggungku. Lebih baik kucari Jiyeop Oppa.

Kira-kira, apa yang dibicarakan Jiyeop Oppa dan Leo tadi ketika aku tak ada? Apa Leo memanggil Jiyeop Oppa dengan ‘Kev’ lagi? Kev... Tak terdengar seperti nama Korea, seperti ‘Leo’. Apa mereka saling mengenal di sana?

 

“Jii!” Seruan Jiyeop Oppa terdengar, membuatku mengalihkan pandangan ke arahnya dengan otomatis seraya melambaikan tangan ke arahnya.

 

Tanpa pikir panjang, kulangkahkan kaki berlari kecil menyebrangi jalanan demi mencapai Jiyeop Oppa yang ada di seberang jalan dengan satu kantong plastik – yang pasti isinya makanan – cukup besar di tangan kanannya. Itu pasti berat sekali. Aku akan membantunya!

 

BEEP!!!

 

“Jii!!!”

 

Nyaring suara klakson mobil memekakan telinga tepat sebelum tubuhku terasa tertabrak oleh sesuatu dan terlempar ke suatu tempat. Entahlah, aku tak tahu apa yang menabrakku dan membawaku terjatuh kemudian. Mataku tertutup rapat seolah tak ingin mengingat peristiwa yang dibangkitkan oleh suara klakson mobil.

 

Tragedi beberapa tahun lalu yang memberiku penyakit ini. Jika akhirnya aku harus mati karena cara yang sama, aku pasrah.

 

“Kau... Kau selamat.” Erat. Begitu erat kurasakan dekapan seseorang di tubuhku – yang selanjutnya kusadari sebagai benda yang menabrakku. Jiyeop Oppa?

 

“Syukurlah kau selamat, Jii. Syukurlah.” Dekapannya masih begitu erat seperti akan meremukkan tulangku. Bibirnya masih meracau mengucapkan rasa syukurnya di samping telingaku. Bahkan bisa kudengar suaranya – bergetar?

 

Oppa, kau menangis?” Kuangkat kepala, mencoba menatap wajahnya yang telah basah oleh air mata. Jiyeop Oppa benar-benar menangis.

 

“Kau harus memperhatikan sekitar, berhati-hatilah. Bagaimana jika tak ada yang menolongmu? Bagaimana jika kau celaka?” Untuk pertama kalinya dalam hidupku, sejak aku mengenal Jiyeop Oppa, ini pertama kalinya kulihat dia begitu emosional. Memarahiku sambil menangis. Bahkan bisa kulihat rasa ketakutan itu di matanya yang basah. Aku jahat sekali.

 

“Maaf.” Tapi hanya itu yang bisa kuucapkan seraya membalas pelukannya. Aku harus berhenti membuat orang lain mengkhawatirkanku. Kau sudah besar, Jeon Jiyi!

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
shin-pads
#1
Chapter 16: Cheer Up, Father, yang kayak dinyanyiin Song triplets ya?

Duuh makin complicated ini yaaa ㅠㅠ