31st December 2014

Let's Have a Talk

31st December, 2013

 

Hatsyi...” Gatal. Hidungku rasanya gatal sekali! “Hatsyi...” Sial!

 

Selalu seperti ini. Aku tak pernah bisa pergi merayakan tahun baru dengan teman-temanku karena flu yang selalu menyerang sepanjang musim dingin. Bahkan, semua orang bisa bermain di pantai ketika musim panas dan aku masih harus demam karena tak tahan sengatan matahari. Daya tahan tubuhku memang payah.

 

“Hatsyi...” Cairan itu seperti mulai melakukan perjalanannya lagi dari dalam hidungku. Aargh!Untung tissue selalu tersedia di sampingku.

 

Aku benci ini! Semua orang merayakan tahun baru, Eomma dan Appa menonton pesta kembang api di Incheon, Jiyeop Oppa juga sedang pesta tahun baru bersama teman-teman kerjanya. Sedangkan aku? Di sini? Di rumah sendirian. Biasanya ada Dongwoo yang menemaniku ketika tahun baru meskipun hanya untuk duduk di depan tv dan mendengarkan bersinku. Tapi, jangankan menemaniku, tahun ini aku benar-benar –

 

Namjaga sarang haltaen~’ suara merdu Infinite mengudara dari ponselku di atas nakas. Kuraih benda persegi berwarna beige itu, dan merasakan ujung bibirku tertarik ketika membaca sebaris nama yang terpampang di display. Tak butuh waktu lama, segera kujawab panggilannya. Akhirnya datang juga penyelamat yang tak akan membuatku sendirian di malam tahun baru ini.

 

Hello, American hatsyi~!”

 

“God bless you, Jii. Kau masih flu seperti biasa.” Suara Dongwoo terdengar dari seberang ketika untuk kesekian kalinya kugosok hidung gatalku dengan tissue.

 

“Kau mengatakannya seolah aku flu setiap hari.”

 

“Bukankah memang begitu kenyataannya?”

 

“Sesuka... hatsyi~!”

 

“Seperti tahun-tahun lalu juga, sepertinya tahun ini aku akan lebih banyak menanggapi bersinmu daripada mengucapkan selamat tahun baru. Tuhan memberkatimu, Jii.”

 

“Aku membencimu, Shin Dongwoo!” Menyebalkan! Lelaki bermata empat di benua seberang itu malah tertawa sekarang. Aku pasti sudah menjambak rambut cf shampoo-nya itu jika dia ada di hadapanku.

 

“Untung aku tetap menyayangimu meskipun kau selalu mengatakan kau membenciku.” Kalimat itu merasuki pendengaranku di akhir tawanya. Membakar pipiku seketika. Asshh...Tidak.Jangan berpikir macam-macam. Dongwoo hanya menyayangiku sebagai sahabatnya. Tidak lebih!

 

Eeww...How greasy you are. Kau bahkan lebih licin dari ingusku karena terlalu berminyak.”

 

“Jii! Menjijikkan!”

 

Kini giliranku yang tertawa terbahak-bahak membayangkan rupa Dongwoo. Dia pasti sedang mengerutkan dahinya, memasang wajah jijik yang berpotensi mengalahkan ekspresi Lee Kwangsoo. Hahaha...

 

“Kau tak ke pesta tahun baru malam ini?” Baiklah, kendalikan tawaku. Mari berbicara dengan lebih santai.

 

Maka kubaringkan tubuhku seraya meletakkan kantong air panas di kening ketika Dongwoo menjawab, “Sekarang baru jam sembilan pagi di sini.”

 

Lirih kusuarakan ‘Oh’ panjang menjawabnya. Tentu saja, Dongwoo pasti sudah memunyai banyak teman baru di sana. Dia pasti akan datang ke pesta tahun baru malam nanti. Bagaimana pesta tahun baru di Amerika? Apakah penuh dengan wanita cantik berbaju minim? Bagaimana jika Dongwoo tergoda, lalu...

 

Aarrgh~! Dongwoo-ku yang suci! Bahkan dia belum pernah berciuman, bagaimana mungkin dia akan berpesta dengan wanita-wanita y? Aaargh~!”

 

“Yaa yaa yaa! Jeon Jiyi!” Teriakannya menyadarkanku dari lamunan. Apa? Apa aku baru saja mengatakan hal yang salah? “Apa maksudmu ‘Dongwoo-ku yang suci’?” Oh! Eommaya!

 

“Ahahaha... Bukan apa-apa. Tapi, aku hanya tak bisa membayangkan kau pergi ke pesta tahun baru di Amerika. Bukankah pesta mereka agak – liar?” Oh setidaknya itu yang kulihat di film.

 

“Siapa yang bilang aku akan pergi ke pesta tahun baru?”

 

“Memangnya tidak?” Membola mataku dibuatnya. Aku tahu Dongwoo memang orang aneh. Tapi, bukankah ini kesempatan yang bagus? Dia tak harus menemaniku dan bisa melihat kembang api di festival tahun baru atau apapun itu.

 

“Aku lebih nyaman mendengar bersinmu daripada harus terjebak di tengah-tengah keramaian.”

 

“Kuharap ini... Hatsyi~! Pujian. Hah~ terimakasih.” Pintar. Dongwoo memang pintar sekali membuatku tersanjung sekaligus sebal dalam waktu yang bersamaan. Kejeniusannya tak tertandingi.

 

“Sama-sama.” Sekali lagi tawa kecil terdengar di ujung kalimatnya. Tapi, kali ini bukanlah tawa menyebalkan melainkan tawa tulus yang selalu membuatku turut bahagia mendengarnya.

 

“Bagaimana keadaan di sana? Ahjumma dan Ahjussi sehat-sehat saja, ‘kan? Kuharap kau tak menulari mereka.”

 

Baru saja akan kubuka mulutku untuk menjawabnya ketika tiba-tiba rasa nyeri itu menyerang. Seperti ada ribuan jarum yang menusuk kepala bagian kiriku secara bersamaan. Sakit. Sakit sekali.

 

Kumiringkan tubuhku ke kanan, menindih ponsel tepat di bawah telingaku kemudian menekuk lutut sampai dada. Melingkar seperti kucing kedinginan. Sepertinya aku sudah menyalakan penghangat, kenapa masih dingin sekali? Ditambah dengan rasa sakit di kepalaku, apa tak ada yang lebih buruk lagi dari ini?

 

“Jii?” Suara Dongwoo di seberang terdengar lagi, mengingatkanku bahwa pembicaraan kami masih terhubung. Mengingatkanku, masih ada Dongwoo yang bisa menguatkanku. Mungkin ini tak terlalu buruk.

 

Ah, ya? Eomma dan Appa baik-baik saja. Mereka sedang ke Incheon.”

 

“Incheon? Kau di rumah sendiri?” Panik. Itu yang kudengar dari nada suaranya.

 

‘Ya, aku di rumah sendiri. Apa kau akan terbang dari Amerika hanya untuk menemaniku sekarang?’ Itu yang ingin kukatakan padanya. Tapi, yang sanggup terucap hanyalah, “Aku hanya flu seperti biasa. Aku bisa mengatasinya sendiri.”

 

“Tapi kau tak pernah mengatasinya sendiri. Tahun lalu kau demam tinggi sekali. Untung aku sudah menyelesaikan essay tes masuk universitas.”

 

“Tahun lalu,” tak bisa kutahan tawa kecilku mengingat tahun baru 2013, “dua siswa flu yang saling merepotkan. Untung ada Jiyeop Oppa.”

 

Hyung tak datang tahun ini?”

 

“Tidak, dia bilang dia dipaksa teman-temannya untuk berpesta tahun ini. Aish... Semakin populer saja dia. Hatsyi...”

 

“Jadi kau benar-benar sendirian?” Kali ini rasa khawatir yang bisa kutangkap dari nada suaranya. Oh ayolah jangan, “Maaf.” Aku lebih membencinya ketika Dongwoo meminta maaf. Aku tak suka nada bersalahnya.

 

“Daripada meminta maaf, sebaiknya kau segera pulang ke Korea dan menemaniku.”

 

Eung.” Hanya itu yang kudengar sebagai jawaban, sebelum semuanya menjadi hening. Tak ada lagi yang berbicara selama beberapa detik berikutnya.

 

Dulu, kami sering melakukan ini. Hanya diam saling menatap atau memerhatikan sesuatu. Kemudian, kami akan tertawa bersama seperti baru saja saling mengatakan lelucon melalui telepati. Tapi, bagaimana dengan sekarang?

 

Aku tak yakin apa yang sedang Dongwoo lihat sekarang. Yang pasti, aku tak melihat apapun karena mataku terpejam menahan sakit. Ternyata sakit ini terasa lebih parah ketika kau tak ada di samping orang yang kau inginkan.

 

“Aku tak bisa pulang sekarang.” Kalimatnya terdengar memecah keheningan di antara kami, sekaligus seolah menambah jumlah jarum yang menusuk kepalaku. Itu bukan jawaban yang kuinginkan, meskipun itu jawaban yang paling masuk akal.

 

“Mungkin tiga atau empat tahun lagi.” Terimakasih Shin Dongwoo, jawabanmu yang selanjutnya berhasil membuat jarum-jarum itu beranak pinak dengan subur. Jika kau mendengar ledakan, itu berarti kepalaku.

 

Tarik nafas yang dalam, hembuskan perlahan-lahan, “Haruskah selama itu?” Ternyata berbicara sambil menahan sakit begitu sulit dilakukan.

 

“Aku harus menyelesaikan kuliahku di sini sebelum kembali ke Korea. Setelah itu, kau tak akan pernah sendiri lagi setiap tahun baru.”

 

“Ya, jika masih ada tahun baru untukku.” Pesimis? Tidak. Aku realistis, memang begitulah kenyataannya. Dongwoo bisa saja berjanji akan menemuiku empat tahun lagi. Tapi, aku tak bisa berjanji untuk menemuinya empat tahun lagi.

 

“Jii!”

 

Menguar tawa kecilku lemah, “Kadang kuharap kau berbohong untuk menyenangkanku.”

 

“Ada yang ingin kukatakan kepadamu. Tapi, kau harus menungguku empat tahun lagi jika ingin mendengarnya.” Kalimatnya kali ini terdengar serius, seperti janji lelaki sejati yang diucapkan di depan altar. Aih, sakit kepala ini membuatku berhalusinasi rupanya.

 

“Katakanlah sekarang, aku belum tentu bisa menunggu selama itu.”

 

“Tidak bisa. Aku harus menjadi lelaki yang hebat agar bisa mengatakannya padamu. Kau juga, kau harus bisa menjadi wanita yang kuat agar bisa mendengarnya.”

 

Kuhela nafas berat, memejamkan mata semakin rapat, mencoba mengatasi rasa sakit yang semakin menyiksa. “Mudah saja mengatakannya – ”

 

“Aku akan menguatkanmu, Jii. Bukankah aku sudah berjanji akan menguatkanmu? Keadaanmu tak akan merubahku, aku akan terus menguatkanmu meskipun hanya lewat telephone. Tapi, sebisa mungkin aku akan melakukannya.”

 

Kalimat panjangnya seperti rapalan mantra bagiku. Menggelitik bibirku untuk tersenyum kecil karenanya. Merangsang kelenjar air mataku untuk mengalirkan cairan jernih itu membasahi bantal.

 

“Kadang kuharap kau mengatakan itu seperti seorang pria pada wanita, bukan seorang pria pada adiknya.”

 

Hening lagi. Tak ada lagi yang terdengar di antara kami selain helaan nafas teratur yang saling bersahutan. Apa yang kau pikirkan, Shin Dongwoo? Apa kau mengatakannya selayaknya kepada wanita yang kau sayangi, atau wanita sakit-sakitan yang kau kasihani?

 

Aku tahu perasaannya tulus. Aku tahu dia tak mengatakannya hanya karena kasihan. Tapi, bagaimanapun juga kami tak membagi perasaan yang sama. Itu jelas sekali. Keadaanku tak akan merubahnya. Aku akan selamanya dilihat sebagai sahabatnya.

 

“Sepuluh...” Kumulai menghitung mundur menuju tanggal satu Januari ketika jam digital di nakas sudah menunjukkan sepuluh detik terakhir tanggal tigapuluh satu Desember.

 

“Sembilan,” daya tanggapnya memang bagus. Dongwoo bisa melanjutkannya sesuai dengan hitungan.

 

“Delapan,”

 

“Tujuh,”

 

“Enam,”

 

“Lima,”

 

“Empat,”

 

“Tiga,”

 

“Dua,” begitu kami terus menerus bersahut-sahutan sampai akhirnya –

 

“Satu. Selamat tahun baru, Jii.”

 

“Tahun inipun kau menjadi orang pertama. Selamat tahun baru, Dongwoo-ya.”

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
shin-pads
#1
Chapter 16: Cheer Up, Father, yang kayak dinyanyiin Song triplets ya?

Duuh makin complicated ini yaaa ㅠㅠ