31st Agust 2014

Let's Have a Talk

31st August 2014

 

POV Author

 

 

Kedua pasang sayap putih itu mengembang membelah langit malam kota Cambridge, meninggalkan jalur cahaya di belakang mereka yang terlihat seperti goresan komet untuk beberapa orang berkemampuan khusus yang bisa melihatnya. Lea, malaikat kematian itu malam ini memutuskan untuk membawa serta adiknya menjalankan tugas. Ternyata, malaikat juga tak suka sendirian.

 

“Sampai kapan aku harus menjadi asistenmu, kak? Aku ingin menjadi malaikat juga.” Kalimat lirih bernada sebal itu terdengar dari Leo yang terbang sejajar dengan pundak kakaknya. Jelas sekali rasa tak suka terukir di wajah sempurnanya yang nyaris tanpa ekspresi.

 

“Bersabarlah. Aku juga menjadi asisten Kevin selama satu abad dan berakhir dengan ditinggalkannya ke bumi. Tapi, aku baik-baik saja.” Ekspresi yang tak jauh berbeda ditunjukkan oleh seseorang yang Leo panggil ‘kakak’ ketika tubuh mereka mulai terbang merendah mendekati sebuah kedai di seberang jalan.

 

“Seharusnya kau tak melampiaskan rasa kesalmu tentang Kevin padaku,” ujar Leo seraya mengikuti kakaknya berdiri di atas atap sebuah bangunan yang tak terlalu tinggi. Pandangan mereka terfokus pada segerombolan anak muda yang tengah berkumpul di depan kedai. Tapi, pikiran mereka tidak, “lagipula kau tidak baik-baik saja. Ini sudah lebih dari sepuluh tahun, Kak. Kau harus bisa menghormati keputusan Kevin.”

 

Cih. Keputusan bodoh itu. Kenapa aku harus menghargainya? Mengorbankan hidup abadinya demi melindungi seorang gadis. Akhirnya gadis itu juga akan mati.”

 

“Kak – ”

 

“Aku yang akan memandu jiwanya menuju neraka.” Tajam mata Lea menatap adiknya. Yakin. Itulah yang selama ini ada di benaknya. Dia yakin akan menjadi malaikat kematian yang akan menjemput gadis yang telah membuat Kevin menjauh darinya. Entahlah karena merasa harus memenuhi takdir atau dendam. Yang pasti, yang Lea tahu, dia harus membalaskan kepergian Kevin yang dicintainya.

 

“Kau dikuasai emosi, kak.” Leo mencoba menenangkan kakaknya, meskipun dia tahu itu percuma. Rasa dendam yang berkobar di dalam hati Lea hanya akan membuat air dingin yang disiramkannya menguap dalam sekejap.

 

“Daripada berbicara macam-macam, lebih baik sekarang kau bersiap-siap. Karena, hari ini kau akan memandu jiwa seseorang.”

 

Membulat mata Leo mendengar kalimat kakaknya. Bagaimana mungkin? Dia bahkan belum resmi menjadi malaikat kematian. Begitu pikirnya.

 

“Tenang saja, kau hanya perlu mengambil jiwa dari tubuhnya. Aku yang akan membawanya ke atas.”

 

“Baiklah.” Pasrah, Leo tahu tak bisa membantah kalimat kakaknya. Maka, yang bisa dia lakukan sekarang hanyalah pasrah memperhatikan pengarahan kakaknya tentang korban mereka hari ini.

 

“Kau lihat gadis berambut sebahu yang memakai jaket putih itu?” Ujar Lea memulai penjelasannya. Jemari lentiknya menunjuk seseorang di antara gerombolan anak muda di depan kedai, membuat Leo mengangguk mengiyakannya.

 

“Malam ini, dia akan mati ketika bertemu dengan segerombolan orang yang mencegatnya di jalan menuju pulang. Kau hanya perlu mengambil jiwanya dari belakang. Selanjutnya, aku yang akan mengurusnya.”

 

Penjelasan Lea berakhir dengan nada final. Sementara, adiknya itu hanya mengangguk-angguk menanggapi kakaknya. Baiklah, sepertinya bukan tugas yang sulit, Leo sudah pernah melakukan ini sebelumnya.

 

“Menurutmu, sedang apa Kevin sekarang? Apa dia baik-baik saja?” Bibir Lea terbuka lagi, menyuarakan kerinduannya akan sesosok malaikat bernama Kevin.

 

“Entahlah.”

 

 

---

 

 

Liburan musim panas baru saja usai. Tapi, suasana liburan belum sepenuhnya pergi begitu saja dari para mahasiswa dan mahasiswi Institut Teknologi Massachusetts ini. Bahkan, Shin Dongwoo, kutu buku dari Korea itu lebih memilih untuk berkumpul dengan teman-temannya dari berbagai negara daripada mengurung diri bersama buku-buku di asrama malam ini.

 

Hey, who’s that? So Pretty.” Sam, mahasiswa asal Inggris itu baru saja kembali dari toilet dan langsung terpikat pada fotoseorang gadis di ponsel Dongwoo. Gadis itu memakai seragam yang sama dengan Dongwoo, tersenyum lebar bersama Dongwoo di sampingnya dengan gulungan ijazah di tangan. Cantik. Itupun yang selama ini selalu ada di pikiran Dongwoo.

 

Let me see.” Kini giliran Eric yang ikut campur dalam kehebohan Sam. Direbutnya ponsel Dongwoo begitu saja, mengacuhkan teriakan protes pemiliknya. “Woa... Is she your girlfriend?”

 

“No, not yet. Give it to me!” Merasa tak aman, Dongwoo merebut kembali ponselnya dari tangan Eric, mengamankan gadis idamannya dari pandangan tiga lelaki dengan mata berbinar di depannya.

 

Eey... How can you hide such that cute girl from your friend?” Kini giliran Jason yang bersuara. Sekali lagi dicobanya merebut ponsel putih itu. Tapi, percuma. Dongwoo sudah menyimpannya di tempat yang aman – saku celananya.

 

I said not yet, she’s soon to be my girlfriend. So keep your eyes off of her.” Ketiga pasang bibir itu mendesis sebal mendengar pernyataan final Dongwoo. Ya, siapa sangka Dongwoo tidak hanya posesif dengan buku koleksinya?

 

Hahaha... Stop flirting, could you?” Yull, satu-satunya gadis di meja itu akhirnya mengeluarkan suaranya menghentikan keributan kecil teman-temannya. Dibenarkan letak kacamata yang membingkai mata kecilnya sebelum kalimatnya berlanjut, “It’s getting late. Let’s go home.”

 

“Let’s go together, I have something to do in the dorm.” Sahut Dongwoo seraya meraih tasnya di bawah meja. Tapi, sepertinya tiga orang yang lain belum ingin beranjak dari duduknya?

 

We’ll stay here.” Sam, logat British itu yang terdengar menjawab pertanyaan Yull.

 

Because we don’t wanna stop to flirt yet.”

 

Hahaha...” Kalimat Eric berhasil mengundang tawa dari kedua temannya. Sementara, Yull dan Dongwoo hanya bisa menggeleng menanggapinya.

 

Okay, we’re going first.”

 

“Sure. Be carefull.”

 

Kalimat Jason itulah yang terakhir kali terdengar mengantarkan langkah kaki Yull dan Dongwoo yang menjauh dari kedai.

 

Ah, iya terimakasih jaketmu.” Belum jauh langkah mereka dari kedai ketika Yull, gadis Korea itu melepas jaket putih yang melekat di tubuhnya dan mengembalikannya pada pemiliknya, Dongwoo.

 

“Tak masalah. Kau tak ingin memakainya lagi?” Tanya Dongwoo seraya mengenakan jaket menutupi kemeja hitamnya. Sementara, gadis di sampingnya hanya menggeleng seraya tertawa kecil menanggapinya.

 

“Aku tak ingin calon kekasihmu cemburu kepadaku.” Senyum kecil itu masih terukir di wajah cantiknya. Tapi, tidak di matanya. Ada sedikit rasa sakit yang terlihat di sana.

 

“Bisa saja kau.”

 

Sepertinya Yull harus berterimakasih pada sepasang lapisan kaca yang menyembunyikan mata sedihnya. Mungkin, dia juga harus berterimakasih karena Dongwoo sedang tak memakai benda berbingkai itu sekarang, sehingga Dongwoo tak perlu merasa tak enak hati karena melihat mata sedihnya.

 

“Kenapa kau belum juga menanyakan hal itu padanya? Bukankah kalian sudah lama saling mengenal?” Sekali lagi suara gadis manis itu terdengar,membuat Dongwoo menengadahkan kepalanya ke langit untuk memikirkan alasannya selama ini.

 

“Ya, kadang aku merasa jahat karena sudah mengacuhkan semua petunjuk yang diberikannya selama ini. Bahkan mengacuhkan perasaanku sendiri dan bertingkah seperti orang yang sama sekali tak peka.”

 

Tawa kecil sempat menguar miris sebelum dilanjutkan kalimatnya, “Tapi aku harus menjadi lelaki hebat sebelum menanyakan hal itu kepadanya. Paling tidak, aku harus menyelesaikan kuliahku dulu. Jadi, dia bisa menjadi kekasihku dengan bangga.” Kini senyum puas yang jelas tergambar di wajah Dongwoo. Membayangkan Jii yang akan dengan bangga mengatakan, ‘Ya. Aku mencintaimu.’ Membuatnya ingin segera menyelesaikan kuliahnya dan kembali ke Korea.

 

“Tapi, bagaimana jika orang lain memilikinya sebelum kau lulus kuliah?”

 

Sepasang kaki jenjang itu berhenti sebentar, mencerna kalimat yang baru saja diloloskan teman wanitanya. Ya, Yull benar. Dongwoo tak pernah memikirkan kemungkinan itu. Dia merasa gadis idamannya akan setia menunggunya karena mereka menyimpan perasaan yang sama. Tapi, bagaimana jika gadis itu merasa lelah kemudian berubah pikiran? Tak ada yang tahu perasaan manusia.

 

Seperti takdir Tuhan, tak ada yang tahu apa yang akan terjadi besok. Bahkan, tak ada yang tahu apa yang akan menghadangmu di depan.

 

Oh, what a cute asian girl we got here.” Suara parau itu terdengar bersama dengan bau alkohol yang menyengat. Mengundang mata Dongwoo dan Yull membulat otomatis karenanya.

 

 

---

 

 

Leo terbang rendah, meninggalkan kakaknya yang masih melamun di atas atap demi menjemput korbannya yang tengah menghadapi sekelompok berandalan di ujung persimpangan.

 

‘Tak hanya menghadapi berandalan, gadis itu juga akan menghadapi ajalnya malam ini.’ Begitu pikir sang sosok bersayap yang sekarang telah bersiap di belakang korbannya ini.

 

Beberapa orang berandalan sudah mengepung dua sosok berambut sebahu yang terlihat sedikit demi sedikit mundur karena ketakutan, mencoba melindungi diri mereka sendiri. Bahkan, salah satu dari berandal itu sudah siap dengan sebilah pisau di tangannya, lengkap dengan seringai mengancam yang terpahat rapi di wajah kacaunya.

 

Bagi dua orang itu, mungkin ini terlihat seperti situasi yang hanya akan mereka temui di film. Tapi, bagi Leo ini hanyalah salah satu dari sekian banyak cara manusia meregang nyawa. Dia bisa melihat adegan ini dengan tenang, terbang rendah dan menyilangkan kakinya seolah duduk di atas sayap yang mengembang. Hanya tingggal menunggu waktu sampai pisau itu menghunus si jaket putih.

 

Go away.” Teriak salah satu dari mereka. Tentu saja berandal-berandal itu tak akan pergi. Si pembawa pisau mendekati sosok berkemeja cokelat dengan pisau yang berputar-putar lincah di tangannya.

 

Tapi, tunggu – kenapa kemeja cokelat?

 

Ah, ini dia yang Leo tunggu. Si jaket putih tak terima temannya di incar. Dilangkahkan kaki jenjangnya menghampiri sang pembawa pisau dan si kemeja cokelat.

 

Don’t  touch her!” Seru si jaket putih seraya mendorong sang pembawa pisau kasar. Tapi, kenapa suaranya berat? Benarkah Lea mengatakan ‘gadis berjaket putih’?

 

You are the one who must go away, dude!” Dicengkeramnya kerah si jaket putih tepat sebelum pisau digenggamannya terhunus. Merobek kulit sosok di depannya, mengalirkan cairan yang sanggup merubah warna jaket yang dikenakannya.

 

“Kyaaaa!!!”

 

Teriakan gadis berkemeja cokelat mengudara. Berandal-berandal itu berlari tunggang langgang meninggalkan korban mereka yang terkapar. Jiwa si jaket putih sudah ada di genggaman Leo. Tapi, tunggu – ini bukan seorang wanita!

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
shin-pads
#1
Chapter 16: Cheer Up, Father, yang kayak dinyanyiin Song triplets ya?

Duuh makin complicated ini yaaa ㅠㅠ