1st September 2014

Let's Have a Talk

1st September, 2014

 

 

“Kalimat yang dihasilkan oleh suatu tata bahasa harus dapat diterima oleh pemakai bahasa tersebut, sebagai kalimat yang wajar dan tidak dibuat-buat.  Tata bahasa tersebut juga harus berbentuk sedemikian rupa, sehingga – ”*

 

“Maaf. Saya terlambat.” Suara seorang lelaki di ambang pintu mengalihkan perhatian seluruh mahasiswa dari Lee Seonsaengnim dan teori linguistiknya.

 

Sepasang kaki jenjangnya melangkah tanpa beban memasuki kelas yang telah berlangsung sejak limabelas menit yang lalu ini. Bagai menghipnotis, tak ada yang mengalihkan satu milipun pandangan dari sosoknya di depan kelas.

 

Bahkan tampak sampingnya terlihat begitu menakjubkan dari tempat dudukku di belakang kelas. Rambut kuningnya dibiarkan jatuh menutupi dahi, terlihat begitu cocok dengan kulit putihnya yang seperti bersinar karena terpaan sisa-sisa sinar matahari musim panas. Tidak, tidak. Bukan seperti, dia memang bersinar!

 

“Apa kau mahasiswa baru?” Pertanyaan itu terdengar, seperti jentikan jari yang menyadarkanku dari lamunan. Oh! Aku juga ikut terhipnotis.

 

“Ya, maaf saya harus mengurus beberapa hal sebelum masuk kelas.” Suara lembut itu mengudara, seperti alunan melodi menenangkan yang kudengarkan sebelum tidur. Eomma,dari mana datangnya manusia seperti ini?

 

“Baiklah, kau termaafkan kali ini. Duduklah.” Lee Ssaem? Iblis dari neraka lapis tujuh itu melepaskannya begitu saja? Bahkan, aku bisa melihat senyum kecil di antara pipinya yang bersemu merah! Hey hey hey apa yang telah dilakukan sosok memesona ini?

 

“Terimakasih.”

 

Sekali lagi tubuh tegapnya membungkuk sebelum berubah arah untuk berjalan menuju tempat duduknya. Kalimat ramah Lee Ssaem sebelumnya sudah cukup membuat mataku membola, dan menjadi semakin membola lagi ketika lelaki itu berjalan ke arahku. Bukan. Bukan karena dia sangat tampan! Tapi – dia bersayap? Sayap?!

 

Annyeong.” Suara lembutnya menarikku kembali ke dunia nyata yang entah kenapa jauh lebih terasa seperti dunia dongeng sekarang. Sesosok lelaki sempurna dengan sayap duduk di sampingku!

 

Baiklah, ini bukan yang pertama kalinya aku melihat hal seperti ini. Tapi, tetap saja akal sehatku tak bisa menerimanya begitu saja! Aku berada di kelas yang sama dengan manusia bersayap? Lelucon apa ini? Apa secara kebetulan aku terlempar ke dalam film tentangmutant atau sejenisnya?

 

“Bisakah kau diam? Aku tak bisa berkonsentrasi.” Sekali lagi suaranya terdengar lirih seolah tak ingin ada orang lain yang mendengarnya. Seperti mendengar mantra, kualihkan pandanganku secara otomatis ke arah materi Lee Ssaem  di depan kelas.

 

Tunggu, aku tak berbicara apapun! Bagaimana aku mengganggu konsentrasinya? Apa dia bisa mendengar pikiranku? Kulipat tanganku di meja, menidurkan kepalaku di sana demi menatap sosok di sampingku diam-diam. Apa kau benar-benar bisa mendengar pikiranku?

 

Kepala berpahat wajah sempurna itu mengangguk perlahan seperti menjawab pikiranku. Dia benar-benar bisa mendengar pikiranku?

 

 

---

 

 

“Sekian pertemuan kita kali ini. Jangan lupa kerjakan essay kalian dengan baik. Selamat siang.”

 

“Selamat siang, Ssaem.

 

Serempak kami membalas salam Lee Ssaem sebelum beliau melangkah ke luar kelas. Ah,mungkin aku juga harus segera ke luar kelas sebelum menjadi benar-benar gila karena sayap seseorang di sampingku.

 

“Bisa kita berbicara sebentar?” Suaranya menghentikan gerakanku, membuatku – dengan sedikit terpaksa – berhenti demi menatapnya, skeptis. Haruskah aku mengiyakannya? Haruskah aku menolaknya? Apakah ada jaminan aku akan selamat?

 

“Aku tahu kau bisa melihat ini,” kalimatnya menggantung sebentar sementara digerakkan kepalanya menengok dua sayap di balik punggungnya, “kurasa kita butuh berbicara sebentar. Kau bisa percaya padaku.”

 

Tatap matanya tajam seperti menusuk langsung ke dalam manik mataku sekaligus lembut seperti meyakinkanku. Seperti mengirim sebuah komando otomatis ke dalam otakku untuk menggerakkan kepala mengangguk perlahan menjawabnya. Baiklah, akan kucoba untuk percaya.

 

 

Sulaman awan biru berarak menaungi kami, bersama dengan hembusan lembut angin musim gugur yang menerbangkan helai-helai dedaunan yang menguning berjatuhan di sekitar dua pasang sepatu yang saling bersebelahan. Kami beruntung taman belakang cukup sepi siang ini, dan aku tak bisa menahan rasa ingin tahuku lagi.

 

Maka kuputar ujung sepatu Ugg®-ku ke samping kanan demi menatap lawan bicaraku dengan lebih jelas, “Jadi, siapa kau sebenarnya? Apa kau semacam mutant sepertiWolverein? Atau makhluk legenda seperti Werewolf? Atau hasil kawin silang keduanya seperti – ”

 

“Aku malaikat.” Dua patah kata darinya sanggup menghentikan kalimatku dengan seketika. Membuat mata dan mulutku membola dengan bersamaan. Lelucon apa yang coba dikatakannya?

 

“Aku tak mencoba mengatakan lelucon, dan aku tahu kau percaya dengan hal semacam ini. Jadi, seharusnya tak sulit bagimu untuk memercayaiku juga.” Nada bicaranya begitu datar, wajahnya tanpa ekspresi. Tapi, entah kenapa kalimatnya terdengar begitu meyakinkan.

 

“Bagaimana kau bisa tahu aku percaya dengan hal-hal yang menurut orang lain tak masuk akal?”

 

“Kau tidak berteriak ketika melihat sayapku, kau hanya menatapku heran. Walaupun dipikiranmu ada begitu banyak sangkalan. Tapi, aku yakin kau pernah melihat malaikat lain sebelumnya.”

 

Sekali lagi mataku dibuat membulat semakin lebar karena kalimatnya. Bagaimana dia bisa tahu itu? Apa dia tahu aku juga punya malaikat pelindung?

 

Ah, pantas saja. Jadi ada satu bersamamu.”

 

Bodoh. Kau bodoh, Jeon Jiyi! Kau baru saja mengatakannya! Bodoh!

 

“Jadi namamu Jeon Jiyi?” Kepalanya mengangguk-angguk ringan seolah mengacuhkan pikiran kusutku.

 

Baiklah, berhenti merutuki diri sendiri. Ada pertanyaan lebih penting yang harus kutanyakan, “Jadi kenapa kau datang ke bumi? Apa kau harus melindungi seseorang?”

 

“Bukan. Aku sebenarnya calon malaikat kematian.” ‘Calon malaikat’? Ada hal semacam itu?

 

“Ada. Aku salah satunya. Tapi, aku melakukan sebuah kesalahan dan dibuang ke bumi.”

 

“Kesalahan? Malaikat bisa melakukan kesalahan juga?”

 

“Sudah kubilang aku calon!” Oh, baiklah. Si calon malaikat ini emosinya belum terlalu stabil ternyata. Mari kita dengarkan penjelasannya dulu.

 

“Akan kuceritakan alasanku di buang ke bumi. Tapi, kau harus membantuku menyelesaikannya.”

 

“Tapi, sepertinya aku tak ingin tahu.” Senyum kecilku mengembang manis di depannya. Terimakasih, aku tak merasa begitu ingin tahu masalahmu, Tuan Malaikat.

 

“Tapi aku butuh bantuanmu. Kumohon.” Tatap matanya melembut, menatapku memelas. Ah,hatiku bisa luluh jika begini!

 

“Aku salah mengambil jiwa seseorang, dan dia terbaring koma sekarang. Jadi, aku harus mencari tubuhnya dan mengembalikan jiwanya sebelum empatpuluh sembilan hari.”

 

“Atau jiwanya akan benar-benar menghilang ke dunia sana?” Potongku kemudian, membuatnya mengangguk mengiyakan. Jadi benar jiwa seseorang yang meninggal belum sepenuhnya pergi sebelum hari ke-49. Itu bukan hanya mitos belaka?

 

“Ini demi hidup seseorang. Kau mau membantuku?”

 

Bagaimana aku harus menjawabnya? Sial. Kenapa pula dia harus membawa-bawa tentang hidup seseorang? Ingin menyentuh sisi kemanusiaanku? Haruskah aku membantunya? Yaakenapa aku yang harus membantunya?

 

“Aku tak tahu di mana korbanku sekarang. Tapi, aku dibuang ke mari dan bertemu denganmu. Aku yakin itu bukan suatu kebetulan. Kau pasti bagian dari takdir ini juga.”

 

“Apa?” Tak bisa lagi kutahan suaraku meninggi karena kalimatnya. Seenaknya saja membawaku ke dalam takdirnya. Dia pikir aku tak punya takdirku sendiri?

 

“Kau bagian dari ini, ini takdirmu juga. Aku akan terus mengganggumu jika kau tak mau membantuku.” Kalimatnya kali ini terdengar final. Tepat sebelum tangannya terulur, menjabat tanganku begitu saja. “Kau tak menjawab, berarti kau akan membantuku. Namaku Leo, kuharap kau bisa membantuku dengan baik, Jeon Jiyi-ssi.”

 

Begitu saja, dan seolah semua terjadi begitu cepat sampai sosoknya terbang ke angkasa.Tunggu – kenapa aku diam saja? Kenapa aku tak bisa melawannya?

 

Yaa! Ini belum berakhir! Yaa!”

 

Percuma. Malaikat bodoh itu sudah menghilang di balik sulaman awan biru. Mengacuhkan teriakanku  yang baginya tak lebih dari hembusan angin musim gugur. Asshh!!!!

 

 

 

 

*) Dikutip dari http://aliranlinguistik.blogspot.com/ , Aliran Linguistik Transformasional oleh Noam Chomsky.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
shin-pads
#1
Chapter 16: Cheer Up, Father, yang kayak dinyanyiin Song triplets ya?

Duuh makin complicated ini yaaa ㅠㅠ