1st April, 2013

Let's Have a Talk

1st April, 2013

 

 

Hari pertama bulan April, kupikir ini juga akan menjadi hari pertama musim semi – setidaknya itu yang dilaporkan prakiraan cuaca semalam. Tapi, nyatanya salju masih turun di luar sana ketika kulemparkan pandanganku ke luar jendela. Aku tahu, badan meteorologi pasti sedang mengatakan lelucon april mop ketika mereka mengumumkan hari pertama musim semi. Tidak lucu.

 

“Berhentilah mendengus,”  Dongwoo sudah selesai memesan rupanya. Diletakkannya dua gelas latte hangat di meja sebelum mengenyakkan tubuhnya di depanku kemudian, “ini hari ulang tahunmu, kau harus melewatinya dengan senyuman.”

 

Kurasakan ibu jari dan telunjuknya di pipi kiriku, seolah ingin menariknya lepas dari wajahku. Temanku yang satu ini, benar-benar....

 

Yaa!!! Shin Dongwoo!”

 

Tak ada jawaban yang kudengar darinya kecuali tawanya yang menguar bahagia dan tangannya yang tertarik otomatis setelah beberapa pukulan dariku. Kadang, Dongwoo benar-benar menyebalkan!

 

Entahlah, aku juga tak mengerti apa yang membuatnya dikerumuni siswi-siswi di sekolah ketika hari kelulusan. Apa yang membuat mereka rela mengeluarkan begitu banyak tenaga untuk membuatkannya kue – yang pada akhirnya akan kuhabiskan karena Dongwoo tak terlalu suka manis. Okay, Dongwoo pintar, baik, senyumnya hangat, seperti karakter idola sekolah yang meloncat keluar dari drama. Tunggu – apakah aku baru saja menyebutkan semua alasan kenapa Dongwoo bisa mendapatkan begitu banyak kue? Tapi, percayalah dia tak sehebat itu!

 

Yaa, Dongwoo-ya.” Akhirnya tawa menyebalkan itu berhenti, berubah menjadi ekspresi heran yang sekarang dipamerkan wajah berkacamata di depanku ini.

 

“Ada sesuatu yang seharusnya diterima oleh seseorang di hari ulang tahunnya.” Kusandarkan punggungku di kursi, melipat tanganku di dada seraya mengangkat dagu bertingkah seperti rentenir yang menagih hutang. Hei, itu memang hak-ku!

 

“Bukankah kau sudah mendapatkannya dari Jiyeop Hyung?” ditunjuknya dompet kuning gading bermotif partitur musik di atas meja. Kim Jiyeop, sepupuku itu yang meletakkannya di depan pintu kamarku pagi ini. Tapi, itu bukan hadiah utama yang kuinginkan!

 

“Bagaimana denganmu?”

 

“Aku? Ini bukan hari ulang tahunku, kenapa Jiyeop Hyung harus memberiku hadiah?”

 

“Bukan...Sudahlah!” Kasar kuraih gelas di depanku, menyesap cairan hangat di dalamnya demi menenangkan diri.

 

Sudah kubilang, Dongwoo tak sehebat itu! Dia bisa saja pintar, baik, tampan dan apapun itu. Tapi, rasa kepekaannya benar-benar nol! Dia bahkan berpikir terlalu lambat untuk cara bicaraku – yang biasanya berputar-putar dan sarkastik. Bagaimana bisa dia mempertahankan namanya di urutan teratas siswa berprestasi dengan cara berpikir demikian? Sungguh!

 

“Tentu saja aku tahu apa yang kau maksud.” Sekali lagi tawa kecil itu terdengar menakhiri kalimatnya ketika dasar cangkirku menyentuh meja. Kalimatnya seperti menaburkan kerlip harapan di mataku. Mari berharap, semoga ini sesuatu yang bagus.

 

“Apa itu?” Kubawa tubuhku mendekatinya, mencoba menatap sahabatku ini lebih dekat. Ah, dia terlihat jauh lebih tampan ketika akan memberiku sesuatu.

 

“Kau bisa memakan apapun hari ini. Aku akan membelikannya untukmu.”

 

“Hanya itu?” Senyumku pudar. Berganti dengan ekspresi heran yang – sungguh, haruskah ini tentang makanan?

 

“Ya,” satu, dua, tiga kali kepalanya mengangguk. Senyum hangat itu masih di sana, berpadu dengan matanya yang menatapku senang, “aku akan membelikan apapun. Apapun yang ingin kau makan.”

 

Pasrah. Yang bisa kulakukan hanya bersandar pada kursi, menatap Dongwoo nyaris putus asa, “Dari semua hal yang ada di dunia ini, kau hanya memberiku makanan? Apa aku terlihat seperti gelandangan?”

 

“Jii,” kini senyumnya turut pudar bersamaan dengan tubuhnya yang mendekat ke arah meja, “bukankah dulu kau selalu memakan apapun? Berhentilah berdiet. Kau kurus sekali.”

 

“Aku tidak berdiet. Aku hanya... Ah, sudahlah.” Lagi, kusesap latte hangat di atas meja. Kau tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi, dan aku tak akan membiarkanmu mengetahuinya, Dongwoo-ya.

 

Terdengar helaan nafas panjang Dongwoo sebelum sebuah kalimat lain diucapkannya, “Ada satu hal lagi yang ingin kutunjukkan padamu.”

 

Detik kemudian ketika kuangkat kepalaku menatapnya, sahabatku itu terlihat sedang mengaduk tasnya. Aku harus menunggu dengan sabar apapun yang akan keluar dari sana. Tentunya, seraya merapal doa agar apapun itu, haruslah sesuatu yang bagus.

 

“Aku sudah merencanakannya untuk memberitahumu hari ini.” Diangsurkannya sebuah amplop cokelat yang cukup besar ke arahku. Ketika aku menatapnya dengan semakin heran, Dongwoo hanya melambai-lambaikan amplop itu di depan wajahku. “Bukalah.”

 

Selembar kertas. Itu yang pertama kali kurasakan ketika kumasukkan tanganku ke dalamnya. Perlahan kutarik kertas itu, memamerkan logo berwarna merah yang tertera di bagian atasnya. Itu, logo Massachusetts Institute of Technologi, universitas impian Dongwoo. Beberapa detik kemudian, yang tertera di bagian tengah surat itu adalah nama Shin Dongwoo dan beberapa kalimat lain dalam bahasa Inggris yang menyatakan bahwa, dia, temanku sejak kecil itu, di terima di MIT! Haruskah aku tertawa atau menangis? Apa yang harus kulakukan selain memandang surat di tanganku dan Dongwoo bergantian?

 

“Ini bukan april mop, aku benar-benar di terima di sana, Jii!” Lebar senyumnya mengembang di depanku. Senyum tulusnya yang menyiratkan kebenaran. Senyum tulusnya yang seolah menamparku keras. Sangat keras. Aku tak ingin kehilangannya. Aku tak ingin jauh darinya!

 

“Bukankah kau sedang flu ketika mengerjakan essay?” Kalimat itu yang berhasil diloloskan tenggorokanku setelah beberapa menit aku memutar otak mencari-cari kalimat yang pas. Dia benar-benar flu berat ketika mengerjakan essay-nya! Kupikir aku akan mati-matian merasa bersalah karena telah menularinya flu hari itu dan membuat Dongwoo gagal masuk MIT. Tapi, kini aku merasa bersalah karena flu yang kutularkan kurang ampuh untuk menggagalkannya!

 

“Ya, sekarang kau harus mengakui kejeniusanku!” Sekali. Dua kali. Tiga kali. Tiga kali kurasakan tangannya mendarat perlahan di atas kepalaku bersamaan dengan tawa renyahnya yang memenuhi pendengaranku, bersaingan dengan lagu Wonderful Tonight (Unplugged Version) milik B1A4 yang terputar dari pengeras suara di sudut kedai. Apa yang ‘wonderful’?

 

Aku ikut tertawa bersama Dongwoo, karena tawanya yang selalu membuatku merasa lebih hangat dan bahagia. Bukan karena kabar menggembirakan dari Massachusetts. Mungkin itulah yang disebut dengan ‘wonderful’. Perasaan bahagia ini ketika melihat orang yang kau sayang bahagia, meskipun dia harus menjauh darimu. Meskipun si pintar ini benar-benar bodoh tentang perasaanmu tentangnya. Itu yang bisa kau sebut dengan ‘wonderful’.

 

“Salju sudah berhenti. Kau mau pulang sekarang?” Dipamerkan tampak sampingnya demi menatap langit sore yang sudah berhenti menurunkan salju. “Karena kau tak mau makan juga, aku akan mengurus beberapa hal di rumah.”

 

“Kau pulanglah dulu, Jiyeop Oppa akan menjemputku. Mungkin sebentar lagi dia datang.” Kuulas sebuah senyum kecil untuknya, berharap menghapus rasa khawatir itu di wajahnya.

 

“Kau akan menjenguk anak-anak di rumah sakit lagi?” Mengangguk kepalaku menjawabnya. Tak banyak yang ingin kukatakan sekarang. Aku takut suaraku bergetar karena tak bisa menahan perasaan yang sudah hampir meluap ini.

 

Ah, tentu saja kau pasti akan merayakan ulang tahunmu bersama mereka! Maaf aku tak bisa menemanimu.”

 

“Tak apa,  pulanglah. Kita bisa menjenguk mereka bersama-sama lain kali.”

 

“Baiklah, aku pulang dulu. Sampaikan pada mereka, aku akan membawakan banyak mainan kalau datang.” Sekali lagi kurasakan usapan tangan besarnya di ujung kepalaku sebelum tubuhnya bangkit, “Sampai jumpa!”

 

“Sampai jumpa.” Kubalas lambaian tangannya, menatap sepasang kaki jenjangnya yang menjauh. Menatap punggung itu yang menghilang di balik pintu keluar setelah beberapa langkah. ‘Kita bisa menjenguk mereka bersama-sama lain kali.’ Jika masih ada ‘lain kali’ untuk kita.

 

Kulipat salah satu tanganku di meja, menidurkan kepalaku di sana seraya meraih ponsel biru muda dari saku mantelku. Terpampang selca-ku dan Dongwoo di hari kelulusan sebagai wallpaper-nya. Siapa yang tahu ini akan menjadi selca terakhir kami? Tidak! Ini tak akan menjadi selca terakhir kami!

 

Menghela nafas berat, kutekan beberapa nomor yang sudah kuhafal di luar kepala sebelum menempelkannya ke telingaku. Membiarkan lagu Kim Sunggyu, 60 Second mengisi pendengaranku. Hanya sebentar, karena yang selanjutnya terdengar adalah sapaan Jiyeop Oppa.

 

“Kenapa kau selalu mengangkat telefonmu dengan cepat? Aku ingin lebih lama mendengar suara Sunggyu Oppa!” Dengusku ke arahnya, sementara bisa kudengar dokter muda itu menghela nafas berat di seberang.

 

“Kau ingin berbicara denganku atau mendengar nada sambungku? Aku akan menutupnya jika kau ingin mendengar nada sambungku lagi.” Baiklah, sepertinya Jiyeop Oppa sedang tak bisa diajak bercanda.

 

Okay, okay... Jemput aku sekarang. Aku di kedai di Apgeujong.

 

“Bukankah kau seharusnya pulang bersama Dongwoo?”

 

“Ya, seharusnya.”  Sial! Suaraku bergetar! Baru saja kupikir aku telah melupakan masalah itu. Kukira aku tak akan menangisinya. Tapi, prakiraanku tak tepat! Benar-benar salah besar!

 

Yaa! Jii, kau baik-baik saja? Apakah Dongwoo menyakitimu? Aku akan ke sana sekarang.”

 

Oppa... Dongwoo diterima di MIT.”

 

Hening. Tak ada yang kudengar darinya selama beberapa detik kemudian. Aku berani mempertaruhkan apapun, sekarang Jiyeop Oppa pasti tengah mematung dengan mata membola. Kaget dengan kabar yang baru saja di dengarnya, sekaligus kaget dengan isak tangisku yang mulai pecah.

 

“Aku tak boleh menangis di depannya.”

 

Aisshh... Kau benar-benar merepotkan! Tahan tangismu, kau boleh menangis di depanku nanti. Aku ke sana sekarang.”

 

Itu kalimat yang terakhir kali kudengar darinya sebelum hubungan dua arah kami terputus. Kubiarkan ponselku tergeletak di meja, membenamkan wajah basahku  pada lengan di atas meja. Aku masih punya gengsi untuk tidak menangis di depan umum. Apalagi menangis di depan Dongwoo.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
shin-pads
#1
Chapter 16: Cheer Up, Father, yang kayak dinyanyiin Song triplets ya?

Duuh makin complicated ini yaaa ㅠㅠ