15th October 2014

Let's Have a Talk

15th October 2014

 

Lembut angin musim gugur menyambut ketika kulangkahkan kaki melewati pintu atap. Menerbangkan beberapa helai rambut yang keluar dari ekor kuda di belakang kepalaku. Kursi roda baru saja kutinggalkan tadi pagi, dan sore ini juga Leo sudah mengajakku berjalan sampai atap rumah sakit. Untuk latihan karena kakiku sudah jarang digerakkan, ujarnya.

“Bagaimana jika aku tak bisa turun karena terlalu lelah?” suara penyangga infus di sisi tubuhku terdengar berdesing karena berbenturan dengan lantai atap. Tetap saja, meskipun aku sudah bisa lepas dari kursi roda. Tapi, aku tak bisa lepas dari obat-obatan ini.

“Akan kubawa kau terbang kembali ke kamarmu.” Kalimatnya sanggup membuatku menatapnya dengan satu alis terangkat, lengkap dengan tawa kecilku yang menguar, “Aku bersungguh-sungguh. Duduklah.”

“Ya, ya. Aku tahu kau bersungguh-sungguh.” Masih enggan tawa kecil itu pergi dari wajahku ketika kuenyakkan tubuhku pada kursi di salah satu sisi atap. Membiarkan Leo duduk di sampingku, kulayangkan pandanganku ke awang-awang. Menatap langit biru yang membentang di depan kami.

Aku selalu suka musim gugur, karena biasanya aku tak akan sakit selama musim ini berjalan. Itu pula yang membuat Dongwoo menyukai musim gugur, karena dia tak harus mendengar bersinku? Kekeke...

“Minumlah.” Suara lembut Leo memecah lamunanku. Dielungkannya sekaleng cokelat hangat yang telah dibuka. Dia sudah tahu sedikit banyak tentangku. Termasuk aku yang tak tahan dingin.

“Terimakasih.” Kuraih kaleng berwarna cokelat itu dari tangannya dengan senyum di bibirku. Sementara, bisa kulihat wajah datarnya mengangguk perlahan. Apa kau kehilangan ekspresimu lagi, Leo-ssi?

“Aku hanya – aku tak tahu wajah seperti apa yang harus kutunjukkan dihadapanmu.”

Kalimatnya menambah dalam kerutan pada dahiku. Membuatku memiringkan kepala demi menatapnya heran. “Kenapa? Kau tak tahu ekspresi seperti apa yang bisa menghiburku?”

Tak ada jawaban yang terdengar. Hanya mata kecilnya yang menatapku ragu, seperti ada sesuatu yang membebaninya.

“Kau tak perlu bertingkah konyol untuk menghiburku. Kau hanya perlu tersenyum. Kimchi~*” kutarik pipi kanannya ke atas, membuat bibirnya sedikit terangkat. Membuatku tertawa kecil karenanya. Tapi, sekali lagi tak ada reaksi yang kudapatkan darinya. Leo tak menyingkirkan tanganku. Ekspresi wajahnya kembali datar segera setelah kujauhkan tanganku darinya. Kenapa? Apa ada sesuatu?

“Aku sudah menemukan korbanku.”

Kalimatnya terbawa angin, memasuki telingaku, diproses oleh otakku, membuat organ lunak dalam tempurung kepalaku itu kebingungan. Haruskah dia memacu jantungku lebih cepat, mengirimkan rasa bahagia ke dalam tubuhku. Atau, haruskah dia memacu kelenjar air mataku? Menangis karena Leo akan segera pergi?

“Benarkah?” Sekian lama kurangkai beberapa kata dalam otakku tapi hanya itu yang bisa kuucapkan. Bahkan wajah Leo tak terlihat bahagia. Bagaimana mungkin aku bisa menambahkan ucapan selamat di belakang kalimatku?

Kembali hening. Hanya ada hembusan angin yang menerbangkan rambut kami perlahan, seolah membungkus kami yang hanya terdiam. Saling tatap. Leo, mungkin dia sekarang sedang mendengar betapa kalutnya pikiranku karena kabarnya. Tapi, meskipun tak ada yang kudengar dari pikirannya. Aku hanya, merasa – ada sesuatu yang tak sesuai harapannya.

“Kau ingin menjadi manusia?” Kusesap cokelat hangat di tangan kiriku perlahan, mencoba menenangkan diriku sendiri.

Membola matanya menatapku kaget. Heran kenapa aku bisa membaca pikiranmu, Leo-ssi?

“Kalaupun kau harus kembali ke Surga berarti kau yang harus berkorban. Tapi, jika kau ingin di sini, orang itu bisa berkorban untukmu. Tetap harus ada yang menghilang dari dunia ini apapun yang terjadi.” Kubawa tangan kananku mengusap pundaknya perlahan. Mencoba menenangkannya ketika hatiku sendiri tak tenang. Bodoh. Benar-benar bodoh.

“Aku lebih bodoh.” Hangat tangannya menggenggam tangan kananku, menangkupkan kedua belah tangannya membungkus tangan kananku, menarik tubuhku lebih dekat ke arahnya. Menatap sepasang manik yang memantulkan bayanganku itu menatapku tak tenang. Seolah ada banyak beban yang dipendamnya di sana.

“Maaf,” dan sepatah kata darinya seolah tak memperbaiki suasana. Malah semakin menambah buruk firasatku. Ada apa dengan ‘Maaf’?

“Aku tak tahu ternyata alasanku di buang di bumi dan bertemu denganmu seberat ini. Maaf.” Kepalanya menunduk dalam, “Korbanku Dongwoo.”

Klang. Menggema suara kaleng cokelat dan lantai atap terbawa angin. Bisa kudengar benda silinder itu menggelinding beberapa meter, meninggalkan jejak basah berwarna cokelat pada tempat yang dilewatinya.

Menetes pula air mata di pipiku perlahan. Jelas kulihat bayanganku yang tengah menangis di matanya yang menatapku dalam. Penuh dengan rasa bersalah. Ya Tuhan, inikah alasanMu mempertemukanku dengan Leo? Hanya untuk membuatku semakin kalut?

“Salah satu dari kalian harus pergi?” datar pertanyaan itu meluncur dari bibirku ketika kurasakan tubuhku tertarik ke dekapannya. Dekapan Leo kali ini tak hangat dan nyaman seperti biasanya. Entahlah, aku tak tahu apapun.

Tak ada yang bisa kulakukan selain menatap kosong melewati bahunya dengan mata yang sudah basah oleh air mata. Erat dekapannya masih membungkusku, seolah tak ingin melepau. Seolah ingin meremukkan tubuhku dan membiarkanku masuk ke dalam tubuhnya, kemudian membawaku terbang bersamanya, ke Surga.

“Tak bisakah kalian berdua tinggal, sebentar saja? Waktuku juga sudah tak banyak lagi.”

 

*) Kimchi, ekspresi yang biasa diucapkan ketika berfoto, seperti cheers.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
shin-pads
#1
Chapter 16: Cheer Up, Father, yang kayak dinyanyiin Song triplets ya?

Duuh makin complicated ini yaaa ㅠㅠ