30th September 2014

Let's Have a Talk

30th September 2014

 

Kupejamkan mata rapat-rapat, menatap potongan-potongan adegan yang diputar otakku dengan suara deru halus geladak roda brankar di bawah tubuhku sebagai musik pengiringnya. Anyir aroma darah masih membekas begitu menusuk hidung.

 

“Jii, kau harus kuat, Sayang.” Lembut suara Eomma terdengar, bersamaan dengan genggaman tangan beliau di tanganku. Begitu erat, seolah menahanku untuk tetap di sini.

 

Aku belum pergi. Belum.

 

Sampai ketika genggaman tangan beliau terlepas dari tanganku, bersamaan dengan suaranya yang terdengar semakin menjauh.

Blam.

 

Suara pintu yang tertutup berdebum begitu pelan di dekat kakiku. Namun terasa begitu keras, seolah mengempasku terbang. Membawa tubuhku semakin dan semakin ringan, dan aku – seolah pergi.

 

 

---

 

 

4th October 2014

 

 

POV Leo

 

 

Ketika dia sakit, kau juga akan merasakannya. Bahkan mungkin dua atau tiga kali lipat lebih sakit darinya.’  Kalimatnya tempo hari masih terus terputar di otakku, membuat kepalaku terasa semakin berat setiap kali aku memikirkannya.

 

Kala itu, kupikir kalimatnya tak berbeda dari bualan manusia pada umumnya. Bukankah makhluk Tuhan yang satu ini begitu suka melebih-lebihkan sesuatu? Tapi, kini kurasa apa yang dikatakannya tak berlebihan. Aku salah, dan Jii benar.

 

Entah sejak kapan perasaan aneh ini mulai menggerogoti tubuhku. Perasaan aneh yang mengirimkan rasa sakit yang bahkan aku tak tahu di mana letaknya. Yang kutahu, rasa sakit ini hanya semakin menjadi-jadi tiap kali bayangan Jii ada di pelupuk mataku. Bahkan, kini rasanya aku bisa menjadi begitu sakit hanya dengan memikirkannya.

 

“Lama-lama kau akan menikmatinya,” suara Kevin menginterupsi lamunanku. Entah sejak kapan lelaki berseragam dokter itu sudah duduk di sampingku. Menyandarkan tubuhnya pada dinding dingin di belakang kami, bisa kudengar rasa bersalah dan kecewa terus-menerus berdengung di kepalanya.

 

“Kau menukarkan hidup abadimu hanya untuk menikmati rasa sakit seperti ini?” nanar kulayangkan pandanganku ke depan seraya menyandarkan kepalaku ke dinding, menumpukan sebagian besar berat badanku di sana. Berharap dinding biru muda ini bisa sedikit mengurangi bebanku.

 

“Ada sesuatu yang lain yang tak bisa ditukar dengan hidup abadimu, Leo. Rasa bahagia dan nyaman itu, yang tak akan bisa kau rasakan meskipun kau hidup seribu tahun.”

 

“Benarkah?”  satu kata ragu itu diloloskan begitu saja oleh bibirku. Sementara di dalam pikiranku, mau tak mau aku membenarkannya.

 

‘Tentu saja itu benar.’ Begitu yang kudengar dari pikiran Kevin.

 

‘Tentu saja itu benar.’ Begitu yang kudengar dari pikiranku sendiri.

 

Ya, tentu saja itu benar. Aku tahu Kevin tak mengambil keputusan ini dengan ceroboh. Dia pasti telah benar-benar menimbangnya dengan baik dan benar.

 

“Pada awalnya, aku menyesal telah menukar hidup abadiku dengan ini. Dia selamat, memang. Tapi, tidakkah penyakit yang harus ditanggung selama sisa hidupnya ini terlalu berat?” nafasnya terdengar menghela berat.

 

“Sanggupkah Jii menghadapi ini semua? Pertanyaan itu terus kuulang di awal masa penyembuhannya dari kecelakaan. Tapi, ketika Jii bangun dan kulihat senyum hangatnya, kudengar tawanya yang bahkan lebih indah dari lagu yang diberi bintang lima di playlist-nya. Semua itu seolah menyadarkanku, tak bisa kubayangkan sebesar apa rasa sesal yang akan membebaniku jika kubiarkan anak ini pergi? Sementara, masih banyak orang yang bisa dibuatnya bahagia. Dia, direlakan tubuhnya digerogoti penyakit itu demi membuat orang yang disayanginya tertawa. Aku berani bertaruh, dia juga pasti telah membuatmu bahagia. Bukankah begitu?”

 

Kalimat panjangnya berakhir dengan tatapannya padaku. Senyumnya mengembang pasti. Menarik kepalaku untuk mengangguk mantap mengamininya.

“Ya, perasaan nyaman dan bahagia ini yang tak bisa kudapatkan selama ratusan tahun hidupku.”

 

Hening. Tak ada yang terdengar lagi ketika kepala Kevin kembali bersandar di sampingku. Hanya helaan nafas kami yang saling bersahutan pelan dengan ketukan langkah kaki beberapa orang yang berlalu lalang di depan ruang ICU.

 

Gadis yang mengajarkan rasa sayang padaku itu, kini tengah terbaring lemah di dalam sana. Berjuang melawan penyakitnya. Penyakit yang selama ini disembunyikannya dariku, yang bahkan tak berhasil kuketahui meskipun setelah lebih dari tigapuluh hari aku bersamanya. Tunggu –

 

“Kev,” dijawabnya panggilanku dengan gumaman asal. Kutegakkan tubuhku demi menatapnya yakin, “apa penyakit Jii, sebenarnya?” aku tak bisa menahannya lagi. Kali ini aku harus mengetahuinya.

 

Membola matanya menatapku heran, seolah tak percaya. Kenapa? Aku benar-benar ingin tahu apa yang sedang Jii derita. Akan kucari obat untuk menyembuhkannya. Apapun itu.

 

“Kau ingin menyembuhkannya?”

 

Mantap kepalaku mengangguk menjawabnya. Tanpa ragu. Tapi, tak ada yang kudengar darinya selain tawa kecilnya yang menguar. Kenapa?

 

“Tak bisa, Leo. Tak ada obatnya.”

 

Aku tak suka ini. Aku tak suka diremehkan!

 

“Katakan saja apa penyakitnya. Akan kucari obatnya. Apapun itu!”

 

Menggeleng kepalanya perlahan, bersamaan dengan senyumnya yang mulai memudar, “Puluhan bahkan mungkin ratusan ahli sudah melakukan penilitian selama berpuluh-puluh tahun sejak penyakit ini ditemukan. Tapi, belum ada obat yang bisa benar-benar menyembuhkannya sampai sekarang. Jika ini sudah terlalu banyak menggerogoti tubuhmu, harapan hidupmu nyaris nol.”

 

“Katakan saja apa penyakitnya!” Tanpa sadar kutinggikan volume suaraku di depannya. Tak ada harapan yang bernilai nol! Aku yakin itu!

 

“AIDS.”

 

Bagai petir empat huruf itu meluncur begitu lancar dari bibirnya. Mematungkan tubuhku, mencegahnya yang belum sempat berdiri. Tidak. Bukan ini yang Jii derita. Katakan kau berbohong, Kevin.

 

“Ini tak lucu untuk dijadikan sebuah lelucon, aku tak berbohong.” Dielungkannya sebuah papan dengan beberapa lembar kertas terjepit di sana ke pangkuanku. Kuraih papan itu perlahan, membuka lembar demi lembar catatan kesehatan Jii selama tiga puluh hari terakhir.

 

Keadaan Jii membaik di awal bulan, itu yang kutangkap. Namun, keadaannya mulai memburuk ketika cuaca menjadi lebih dingin. Bodohnya aku, aku baru menyadarinya. Kau benar-benar bodoh, Leo!

 

“Aku juga bodoh, aku tak berbeda dengan dokter-dokter itu yang tak bisa mendeteksi virus ini dalam darah orang yang memberi Jii transfusi darah sepuluh tahun yang lalu. Aku tak bisa mencegahnya. Bahkan setelah enam tahun penyakitnya baru terdeteksi oleh dokter, yang bisa kulakukan hanyalah menguatkannya. Aku tak bisa menyembuhkannya.”

 

Kalimat-kalimat Kevin meringsek masuk ke dalam pikiranku, melengkapi penjelasan yang terpapar di depan mataku. Benarkah Jii tak bisa disembuhkan? Benarkah harapan hidupnya nyaris nol? Jii pernah mendapatkan hidup keduanya. Bagaimana jika –

 

“Kurasa aku tahu apa obatnya.” Kuangkat kepalaku, menatap yakin Kevin yang tengah menatapku dengan mata membola.

 

Perlahan kepalanya menggeleng, “Tidak. Jangan bodoh, Leo. Keadaanmu berbeda denganku.”

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
shin-pads
#1
Chapter 16: Cheer Up, Father, yang kayak dinyanyiin Song triplets ya?

Duuh makin complicated ini yaaa ㅠㅠ