10th September 2014

Let's Have a Talk

10th September, 2014

 

Kupejamkan mataku perlahan, mencoba menikmati sinar hangat matahari musim gugur yang menyusup dari balik tirai kamar. Hari Chuseok tahun ini sama sekali berbeda. Tak ada hingar bingar keributan sepupuku yang mengganggu. Tak ada warna-warni hiasan rumah nenek, tak ada pula aroma masakan yang menggelitik hidung.

 

Hanya ada dinding dan peralatan berwarna putih kemanapun kulayangkan pandangan, dengan aroma obat-obatan yang menusuk hidung dan nyeri pada beberapa titik di tubuhku, sudah jelas sekali menunjukkan di mana aku terbangun di pagi hari ketiga Chuseok tahun ini.

 

Kuharap Kakek dan Nenek mau memaafkanku dan menantu mereka karena kami tak bisa datang. Hanya Appa yang bisa datang untuk membersihkan makam beliau tahun ini, sementara yang bisa aku dan Eomma lakukan di sini hanyalah mengirim sekotak doa, semoga itu bisa ditukarkan dengan beberapa seonpyeong di Surga. Amin.

 

“Kau sudah bangun, sayang?” Suara lembut Eomma terdengar memecahkan lamunan. Kubuka mataku demi melihat senyum hangat beliau di sisi tempat tidur. Wanita paruh baya yang menghabiskan banyak waktu untuk mengurusku sedari kecil ini, aku benar-benar telah banyak merepotkan beliau.

 

“Ya, hari inipun aku terbangun lagi, Eomma.”

 

“Kau akan selalu terbangun setelah semua itu, sayang. Kau gadis kuat.” Kurasakan belaian tangan beliau pada puncak kepalaku. Menenangkan, sekaligus membuatku merasa bersalah. Aku yang membuat lapisan tipis air itu terbentuk di mata cantik beliau. Tapi, tak ada yang bisa kulakukan.

 

“Ya,” tak ada hal lain yang bisa kulakukan selain mengangguk dan tersenyum mengiyakan kalimat beliau. Aku harus kuat. Apapun yang terjadi. Aku pasti bisa melewati semua ini.

 

“Kebetulan sekali Jii sudah bangun.” Suara hangat seorang lelaki menginterupsi sesaat setelah pintu kamarku terbuka. Jiyeop Oppa, lelaki berseragam dokter itu yang tengah berjalan ke tempat tidurku dengan papan laporan di tangannya. Oh! Semoga ini hal yang bagus.

 

“Kabar bagus,” senyumnya mengembang sempurna seperti cahaya harapan di ujung lorong gelap, “keadaanmu semakin membaik. Mungkin sebentar lagi kau hanya perlu melakukan terapi satu bulan sekali.”

 

“Benarkah?” Pekikan suara itu terdengar dari Eomma, dan anggukan mantap Jiyeop Oppa hanya membuat beliau semakin senang. Tentu saja aku juga senangmendengarnya! Hahaha...

 

“Aku akan menelfon ayahmu, dia harus segera tahu tentang ini.”

 

“Ya, Eomma.” Sekali lagi kukembangkan senyum untuk beliau, menatap punggung beliau yang menjauh. Kuhela nafas panjang, berharap semua rasa sakit ini turut pergi bersama karbon dioksida yang terbuang.

 

“Jangan berfikiran macam-macam, kau pasti sembuh.” Lembut kurasakan tangan besar itu mengusap ujung kepalaku. Entahlah, sepertinya apapun yang dikatakan kakak sepupuku ini akan menjadi nyata. Meskipun aku tahu itu tak mungkin. Tapi, aku hanya ingin meyakininya.

 

“Aku akan mengusahakannya untukmu, Jii.”

 

“Kau memang Oppa yang terbaik.” Kubawa tubuhku bangkit perlahan demi memeluknya. Hangat. Aneh sekali, dia ada di rumah sakit setiap hari. Tapi, aroma tubuhnya tak menyengat seperti obat-obatan. Hangat dan lembut seperti Leo. Ah, ya. Leo!

 

Oppa, apa Leo menguhubungimu?” Sepasang lengan besarnya masih melingkar di sekitar bahuku ketika kuangkat kepala demi menatapnya.

 

“Kenapa?” Begitu ujarnya setelah menggelengkan kepala perlahan. Benarkah Leo tak menghubunginya? Apa dia lupa dengan janji kami hari ini? Atau dia pikir akan baik-baik saja jika kami langsung melakukan ‘survey’ di sini tanpa pemberitahuan?

 

“Kami akan melakukan survey hari ini.” Kusandarkan lagi kepalaku pada Jiyeop Oppa,membiarkannya mengusap kepalaku. Seperti membuang apapun rasa sakit yang ada di sana. “Kupikir dia akan menghubungimu.”

 

“Dia tahu tentang ini?”

 

“Tentu saja tidak. Aku bilang aku akan merayakan Chuseok bersama anak-anak pengidap kanker sepulang dari rumah Halmae, dan dia bisa menemuiku di sini jam tujuh malam ini.”

 

Bisa kurasakan perutnya yang bergetar ketika tawa kecilnya menguar, “Bahkan Leo bisa kau bohongi dengan alasan yang sama seperti Dongwoo?”

 

Hey aku benar-benar bermain dengan mereka kemarin sore sebelum terapi!” Kupukul tubuh di sampingku itu perlahan, membuatnya tertawa seraya memelukku lebih erat demi menghentikan pukulanku.

 

Jiyeop Oppa selalu bilang aku sangat manja seperti Prince. Padahal, dia sendiri yang memanjakanku seperti ini. Dia yang bertanggung jawab atas tingkahku yang manja ini.

 

---

 

Bayangan di depanku tersenyum memamerkan gigi kelincinya. Sebuah sihir bernama make up berhasil merubah wajah pucatnya menjadi lebih ceria. Rambut sebahunya diangkat menjadi cepol di atas kepala. Cepol yang selalu Dongwoo mainkan seperti tombol on off. Aku tahu Dongwoo memang menyebalkan.

 

Ah, ya Shin Dongwoo. Sudah lama aku tak mendengar kabar apapun darinya. Dia bahkan belum menelfonku meskipun Chuseok sudah hampir berakhir. Bertingkah seperti orang paling sibuk di dunia, aku akan memberinya pelajaran jika dia mengangkat telefonku kali ini.

 

Kutekan beberapa digit angka di ponsel seraya melangkah ke luar dari toilet. Berjalan melewati lorong rumah sakit dengan ponsel yang menempel di telinga dan dengungan kereta tua sebagai ilustrasi musik. Dongwoo tak pernah berniat mengganti nada sambung telefonnya dengan lagu-lagu yang lebih enak di dengarkan.

 

Kau akan marah ketika kuangkat telefonmu karena aku memotong suara MYUNG-SOO O-PPA-MU itu dengan suara jelekku.’ Begitu jawabnya ketika aku menyuruhnya mengganti nada sambungnya dengan lagu Infinite tahun lalu. Dengan penuh penekanan pada frasa ‘Myungsoo O ppa’, Dongwoo benar-benar menyebalkan.

 

Ya, dan malam ini pun sahabatku yang jenius itu menjadi semakin menyebalkan. “Hallo, aku Dongwoo. Maaf aku sedang tak bisa menjawab panggilanmu kali ini. Apa kau ingin meninggalkan pesan?”

 

Beep.

 

“Aku tak menelfon untuk mendengar mesin penjawabmu, bodoh!” Kesal! Kutekan tombol merah pada ponselku kesal sebelum menjejalkannya asal-asalan ke dalam tas. Dasar Dongwoo bodoh!

 

Sudah beberapa minggu ini pesanku tak dibalas – bahkan tak dibaca. Telfonku tak diangkat, dan sepertinya dia bahkan tak mendengarkan pesan yang kutinggalkan di kotak suaranya. Aku bahkan tak tahu apakah dia masih hidup atau tidak. Benar-benar menyebalkan!

 

“Bisa jadi dia adalah bagian dari takdir yang harus kau penuhi.” Sebuah suara familiar menginterupsi langkahku di dekat koridor IGD.

 

Rasa penasaran menarik kakiku untuk melangkah lebih dekat. Tapi, rasa waspada memaksa otakku untuk memilih bersembunyi di balik dinding, mencuri dengar pembicaraan dua orang lelaki di samping instalasi gawat darurat. Jiyeop Oppa dan Leo? Takdir apa yang mereka bicarakan?

 

“Dia bisa saja menolongmu atau menghancurkanmu. Kau tahu gadis ini bukanlah gadis biasa, dan aku tak akan diam saja jika kau sampai menyakitinya, Leo.”

 

“Aku tahu itu, Kev. Kau bisa percaya padaku.”

 

Kev? Siapa Kev?

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
shin-pads
#1
Chapter 16: Cheer Up, Father, yang kayak dinyanyiin Song triplets ya?

Duuh makin complicated ini yaaa ㅠㅠ