03 September 2014

Let's Have a Talk

3rd September 2014

Sosok sempurna itu masih duduk di tepi jendela yang terbuka, membiarkan sayap kemilaunya meriap, seolah menari bersama angin malam yang mengembus lembut, mengirimkan aroma wangi tubuhnya menggelitik hidung. Salah satu kaki jenjang itu terlipat di depan dada, menopang kepalanya yang menatap nanar bulan purnama. Memamerkan tampak sampingnya yang lebih dari sekedar mengagumkan.

“Berhentilah mengagumiku.” Sepasang mata sempurna itu mengalihkan pandangannya ke arahku. Bahkan, wajahnya yang tanpa ekspresi terlihat begitu sempurna. Luar biasa sekali ciptaanmu ini, Ya Tuhan.

“Nah. Itu baru benar, kau harus memuji Tuhan yang sudah menciptakanku. Bukan semata-mata karena rupaku yang tampan ini.”

Cih. Apa kau benar-benar malaikat?” Salah satu alisku terangkat menatapnya heran, “Aku tak pernah tahu ada malaikat yang narsis sepertimu.”

“Sekarang kau tahu, ada malaikat yang narsis sepertiku. Kau boleh berterimakasih padaku.”

“Baiklah, terimakasih. Hahaha...” Menguar tawaku di ujung kalimat, bersamaan dengan permukaan tempat tidur yang menubruk punggungku, membawaku sedikit membal kemudian.

Tak ada jawaban yang kudengar lagi darinya. Hanya ada lagu Geeks yang terdengar dari pengeras suara di sudut kamar. Kututup mataku,  menghayati tiap lirik yang terputar, membiarkannya merangsek masuk ke dalam pikiranku bersama aroma wangi lembut seseorang – atau apapun dia aku tak tahu bagaimana harus menyebutnya – di sisi jendela, dan aku seolah berada di dunia sihir.

Memoriku tentang seseorang di masa lalu terpanggil kembali, menjadi potongan-potongan adegan yang terputar di otakku. Di mana dia? Aku merindukannya. Apakah dia masih hidup? Aku mengkhawatirkannya.

“Siapa yang kau rindukan?” Suara lembut itu terdengar begitu dekat denganku, menarik kelopak mataku untuk membuka dan mendapati sosok sempurna itu melayang rendah di atasku. Aku harus mulai terbiasa dengan senam jantung ini!

“Bukankah kau bisa membaca pikiranku?”

“Ya, tapi kau tak menyebut namanya.  Hanya ada potongan-potongan gambar yang buram. . Aku sudah terlalu lama di bumi. Kekuatanku menurun.”

Lagi-lagi kalimat sosok – yang mengaku – malaikat di depanku ini mengundang tawaku mengudara, “Ya, dan kau lebih sering mengumpat sekarang. Benar-benar tak mirip malaikat.”

Eo? Setidaknya ketampanan dan sayapku yang bercahaya tak membuatku seperti manusia ataupun setan.” Jemari lentiknya mengusap janggutnya yang tengah mengangguk-angguk perlahan. Sombong.

“Kadang aku berpikir mungkin ada bagusnya jika kau manusia.”

Membola matanya menatapku heran. Bukankah dia selalu bangga dengan status ke-malaikat-annya? Seharusnya membaca perasaanku bukanlah hal yang sulit.

Maka kumiringkan tubuhku seraya menarik selimut menutup sampai leher, menutup mata mengacuhkannya yang masih heran dengan ucapanku. Biarkan saja.

“Kau tak boleh menyukaiku. Kita berbeda dimensi.” Suara lembutnya terdengar lagi, kini bersamaan dengan sisi di depanku  yang terasa seperti tertekan. Bisa pula kurasakan sayap halusnya membelai pipiku. Tidak. Aku tak ingin membuka mata dan membuat semua ini semakin runyam.

Leo, jika sosok sempurna tanpa ekspresi itu tak memasuki kelasku sebagai mahasiswa baru, mungkin aku tak akan merasakan betapa sulitnya perasaan ini sekarang. Membagi kerinduanku pada seseorang dengan sebuah perasaan asing lain yang semakin tak bisa kumengerti. Jika saja dia tak pergi, jika  saja kau tak datang, jika saja dia tahu perasaanku, jika saja tak ada sayap di belakang punggungmu, pasti semuanya bisa menjadi begitu mudah.

“Kenapa tak kau temui saja lelaki itu dan mengatakan perasaanmu?” Ah, kau benar. Selama apapun dia di bumi, sosok di depanku ini tetaplah malaikat yang bisa membaca pikiranku.

“Dia, lelaki itu sama sekali tak peka. Dia bahkan tak akan mengerti jika kukatakan padanya aku selalu memutar ‘Officially missing you’ ketika dia tak ada. Aku berani jamin dia tak akan bisa menghentikan tawanya jika aku mengungkapkan perasaanku.”

“Menganggapmu bercanda?”

“Ya, karena begitulah kami berkomunikasi.”

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
shin-pads
#1
Chapter 16: Cheer Up, Father, yang kayak dinyanyiin Song triplets ya?

Duuh makin complicated ini yaaa ㅠㅠ