Best friends with benefits

Hello Hi-School
Please Subscribe to read the full chapter

[Aecha’s POV]

 

Mentari masih terlelap di ufuk Timur, tapi hari ini aku telah terbangun—duduk di tepi lapangan basket kecil di sisi taman bermain depan rumahku lalu sesekali menguap karena kantuk yang masih menyerang.

 

“Bagaimana? Sudah benar?” tanya Minho setelah lay-up kesekiannya. Aku hanya memeluk kakiku.

 

“Kelebihan satu langkah.”

 

“Sial!” rutuknya lalu kembali mengambil ancang-ancang. Otot paha Minho cedera saat pertandingan sparring musim lalu, medis kami bilang trauma itu membuatnya belum bisa melompat sempurna jika hanya dengan salah satu kakinya. Termasuk lay-up. Sigh, hanya jika ada Myungsoo, ia pasti bisa mengatasi permainan under ring dengan mudah.

 

“Yah, Aecha-ya. Kenapa kau tidak mencontohkannya padaku?” ucapnya lalu menyodorkan bola basketnya ke arahku.

 

“Kau tidak perlu memaksakan dirimu, Minho-ya.” aku hanya memeluk kakiku semakin erat, merapatkan jaketku lalu menyandarkan daguku pada dengkulku. Ini masih jam 5 pagi, for a God’s sake!

 

Minho menghela nafasnya, mengusap peluh di keningnya lalu berjalan ke arahku. Ia duduk di sebelahku, menenggak air minumnya dalam diam, lalu kembali menghela nafasnya.

Sejak ritual makan malam dengan ayahku beberapa hari lalu, Minho tak banyak membuat ulah. Ia tak lagi sering mengejekku, bahkan ia berani datang menemuiku ketika appa di rumah. Sejak saat itu, dua pria ini menjadi lebih banyak mengobrol, tapi sepertinya relasi mereka malah menjadi semakin canggung.

 

Aku masih memeluk kakiku, menengok Minho di sampingku dan tatapan itu tampak tak bersemangat. Minho yang terlalu banyak berpikir benar-benar tidak asik. Aku memiringkan tubuhku menghadapnya, meraih handuk di lehernya lalu menepuk ubin di hadapanku.

 

“Bawa kemari.” titahku. Minho menoleh, dan begitu melihatku menata handuk di hadapanku, secara otomatis ia menyerahkan kakinya. Massage.

 

Tak ada yang kami bicarakan ketika itu. Aku hanya melakukan pekerjaanku, memijat otot kakinya seperti yang biasanya manajer lakukan, sedang ia hanya diam dan mengamatiku.

 

“Aecha.” ucapnya setelah hening panjang yang mencekat.

 

“Hm?”

 

“Berapa kali kau celaka karenaku?” tanyanya. Aku mengangkat wajahku. Kenapa tatapan Minho sangat menyedihkan?

 

“Aku tidak pernah celaka karenamu. Justru kau yang selalu menyelamatkanku.”

 

“Tapi kau selalu celaka keti

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet