Olahraga Jantung
RemajaMama
Won, jadi pulang?
Ini Abang nanyain Tante Chaechae terus
Pesan yang dikirim sang ibu sekitar satu jam yang lalu itu baru sempat ia baca. Tangan kanannya menggenggam sepotong roti yang ia beli dari minimarket di rest area, tangan kirinya mengenggam ponsel. Ia mengistirahatkan punggung dan pundaknya yang pegal, menyandarkan tubuh pada jok setelah menyetir selama hampir dua jam.
Beberapa hari lalu, ia memang sudah berjanji akan pulang ke kota kelahirannya. Menolak untuk naik kereta, ia memilih untuk menyetir sendiri. Biasanya, perjalanan bisa ditempuh hanya dalam waktu tiga jam. Sebab ini hari Jumat dan banyak manusia lain yang berpikiran sama dengannya, pulang ke kampung halaman di akhir pekan, jalanan macet luar biasa.
Biasanya, ia takkan repot-repot mampir ke rest area. Namun hari ini, setelah menghadiri rapat dan bolak-balik menyetir ke beberapa tempat untuk mengurus kerjasama kantornya dengan beberapa komunitas, ia merasa harus mengisi ulang tenaganya sebentar.
“Nanti aja lah balesnya,” gumamnya pelan. Ia lantas menekan tombol kembali, mengecek beberapa ruang obrolan lain.
Kakak
Dah sampe y
Abang berisik nih
Tante Chaechae kapan pulang
Pengabdi Korporat
Budak 1: Laah dirimu emang weekend ngga ngedekor?
Budak 3: Bukannya dia ngemsi
Budak 2: Biasalah all rounder, segala dijabanin
Budak 1: All rounder lagakmu, bilang aja dirimu kere sampai segala kerjaan diambil
Budak 2: ANJRIT KANG HYEWON KARTU KUNING
Budak 3: WKWKWK BUKAN GUE YA YEN
Budak 1: Maap ghes
Ia terkekeh menatap ruang obrolan lingkar pertemanannya itu. Ia tak ingat memberitahu ketiganya soal kepulangannya, tapi tak masalah. Ketiganya tinggal di kota kelahirannya. Ia bisa dengan mudah menemui mereka saat ia pulang, jika waktu dan urusan dompet memihak pada mereka. Sekali lagi, ia menekan tombol kembali sebelum menggigit sisa-sisa roti dari plastik.
Tukang Roti<3
Iyaa enggak apa-apa
Mama telepon kok tadi sore
Bilang katanya kamu pulang
Mama nyuruh aku ke rumah tadi
Tapi aku ngejar selesai Bab II ini
Chaewon melirik jam yang tertera di sudut kanan layar. Pukul sembilan. Pesan terakhir Hitomi ia terima pukul lima. Sudah empat jam berarti. Ia harap, kekasihnya itu berhasil menyelesaikan skripsinya sesuai tenggat waktu. Sudah memilih topik yang susah, Hitomi juga mendapatkan dosen pembimbing yang istimewa.
Ia ingat, beberapa kali kekasihnya itu mengeluhkan jadwal bimbingan yang mendadak. Sebagai mahasiswi tahun terakhir, Hitomi masih harus menyelesaikan masa magangnya—tetapi tak seperti Chaewon yang magang di luar kota, Hitomi beruntung; ia mendapatkan tempat magang yang dekat dengan kampus mereka. Syukurlah pendamping Hitomi mau mengerti. Namun, Chaewon tahu seberapa teraturnya gadis itu; Hitomi tak suka sesuatu yang terjadi di luar rencana.
“Duh, masih sejam lagi ini,” ia meremas plastik pembungkus roti, melemparnya ke dalam tempat sampah kecil sebelum meregangkan tubuh. Terdengar bunyi kretek-kretek yang diiringi dengan erangan pelan lolos dari mulutnya.
“Gila, jompo banget apa ya aku,” gumamnya. Tangan kanannya sigap meraih botol minum, hendak menenggak air sebelum tiba-tiba layar ponselnya menyala, dengan tukang roti tertera di atasnya. Kedua alisnya terangkat. Tumben? Pikirnya. Ia tak buru-buru menggeser tombol hijau. Setelah membasahi tenggorokannya dengan air, ia menyandarkan tubuh pada jok, menyalakan lampu (karena sudah jelas kekasihnya takkan bisa melihat wajahnya jika lampu mati), lalu cepat ia menjawab panggilan video dari kekasihnya itu.
“Iya Yang? Maaf tadi aku buru-buru, belum sempat balas pesan kamu juga, tapi—”
“Hehe, Sayaaang.”
Chaewon mengerjap. Beberapa hari lalu, ia ingat sang kekasih bercerita bahwa ia mengecat rambutnya dengan warna gelap—jika cokelat keperakan bisa disebut gelap.
(Atau barangkali, memang itulah standar warna rambut paling gelap bagi Hitomi. Chaewon bahkan percaya bahwa Hitomi yang berambut hitam hanyalah mitos)
Comments