Chapter 09

Hindrance
Please Subscribe to read the full chapter

 

Hari itu, acara ulang tahun sekolah berjalan mulus hingga akhir. Mereka yang mengisi acara benar-benar tahu cara menghibur. Dahui dibuat terpukau berkali-kali. Namun sejatinya, ia tak dapat memusatkan konsentrasi penuh pada pertunjukan. Ada saja bisik-bisik di kanan, kiri, depan, dan belakang yang menyinggung namanya. Ia merasakan tatapan tajam dari tiga gadis yang duduk di sisi kanan. Terlebih, Pak Kim—guru fisika kelas sepuluh—tak henti-hentinya mendelik kepadanya. Dahui dapat memaklumi lantaran ia seorang pria tua yang semester depan akan segera pensiun. Jadi tidak heran jika ia menganut pemahaman ortodoks. Sementara guru-guru yang lain hanya menutup mata dan telinga, sudah kebal dengan tindak-tanduk Baekhyun. Tak ada satu guru pun yang berani mengusik lelaki tersebut. Tentu saja satu-satunya orang bodoh yang melempar dirinya dengan sukarela ke kandang buaya adalah Dahui. Seakan-akan ia menggali liang kuburnya sendiri. Namun entah bagaimana, gadis itu sama sekali tak menyesal. Semua ia lakukan semata-mata untuk melindungi Bina dari serangan agresif Baekhyun. Ia tentu tak ingin sahabatnya termakan oleh rayuan seorang Cassanova tengil sepertinya.

Murid-murid kini telah menyebar ke penjuru auditorium. Sebagian memutuskan untuk pulang, dan sebagian lagi memilih untuk mengunjungi para penampil di belakang panggung. Beberapa guru pun tampak berbincang-bincang dengan panitia penyelenggara, yang mana Kyungsoo termasuk di dalamnya. Sekadar informasi, lelaki itu termasuk dalam anggota osis. Sebagai sekretaris, lebih tepatnya. Ia tengah melakukan percakapan serius dengan Pak Jang, si Wakil Kepala Sekolah. Kenyataannya—setelah Dahui mencuri dengar topik yang menjadi bahan perbincangan—kedua orang tersebut tengah mendiskusikan resep hidangan baru yang diciptakan oleh orangtua Kyungsoo.

Dahui menggeleng-gelengkan kepala sembari berdecak. Ia lantas memilih untuk beranjak ke sudut ruangan, berusaha agar tak nampak menonjol. Terlebih, ia tak tahu bagaimana caranya menghindari para guru yang sejak tadi berlalu-lalang di depannya. Tak sedikit kikikan geli dari murid-murid yang tertangkap oleh indra pendengarnya. Tentu saja ia yang ditertawakan, memangnya siapa lagi? Satu-satunya alasan mengapa Dahui masih bertahan di auditorium adalah Kang Bina. Ia ingin memberi selamat kepada sahabatnya tersebut karena pertunjukan mereka berjalan baik tanpa cacat. Well, kecuali pada bagian di mana Baekhyun menyinggung perihal ‘pelembap bibir vanila’.

Dari kejauhan, Dahui mendapati sosok jangkung Chanyeol, tengah melangkah ke arahnya. Rautnya tampak cemas dan ia sama sekali tak memalingkan manik dari paras Dahui. Jantung gadis itu mulai menggebuk permukaan dadanya. Chanyeol masih mengenakan kostum panggungnya; kaus tanpa lengan dan celana denim gelap serta aksesori rantai yang dikaitkan pada ikat pinggangnya.

“Dahui,” panggil Chanyeol setelah ia tiba di hadapan Dahui.

“H-hai, Chanyeol,” sapanya sembari melambai kikuk. Debar jantungnya sama sekali tak memberi kesempatan baginya untuk menarik napas dalam.

“Kau tidak apa-apa? Maaf, Baekhyun sudah bertindak keterlaluan.”

“Ti-tidak apa-apa, kau tak perlu meminta maaf.”

“Tapi aku merasa sangat bersalah. Dia temanku dan aku sama sekali tidak bisa mencegah tindakannya.”

“Ini bukan salahmu, lagipula—”

Kalimatnya terpotong tatkala ponsel di saku celana Chanyeol berdering. Lelaki itu memberikan senyuman maaf, lantas menjawab panggilan tersebut.

“Ya?” ia bergeming sejenak, mendengarkan ucapan orang di seberang. “Oh, benarkah? Tunggu jadi kau—halo? Halo?”

“Ada apa?” tanya Dahui dengan kedua alis berjingkat.

Chanyeol mendesah jengah. “Ponselku mati. Aku lupa mengisi baterai semalam.”

“Oh, pakai punyaku.” Ia menceluk ke dalam tas dan menyodorkan ponsel miliknya kepada Chanyeol.

“Kau yakin? Mungkin aku butuh beberapa waktu untuk berbicara dengan kakakku. Kami akan membahas hal penting.”

Dahui melempar senyuman menenangkan dan menganggukan kepala. “Pakai waktumu sebijak mungkin, aku tidak akan ke mana-mana.”

“Trims,” ujarnya sembari melambaikan ponsel gadis itu di udara. “Aku akan segera kembali,” imbuhnya, sebelum akhirnya beranjak dari hadapan Dahui.

Berikutnya, ia kembali menjadi pecundang di sana. Berdiri di siku ruangan dengan kepala menengok ke sana dan kemari, mencari sosok lampai Bina. Sekian menit terlampaui, dua orang yang dinanti tak kunjung muncul. Chanyeol benar-benar lenyap dari pandangan, barangkali memilih tempat sunyi untuk berbicara dengan kakaknya. Namun Dahui sama sekali tidak tahu ke mana perginya Bina hingga membutuhkan waktu selama ini untuk menemuinya.

Gadis itu hendak memutuskan untuk menghampiri sang Sahabat di belakang panggung ketika telinganya menangkap sebuah suara yang menyerukan namanya. Tumitnya lantas berputar, menemukan sosok Bina yang tengah berlari dengan raut panik.

“Kita harus segera pergi sekarang!” pekiknya tiba-tiba, menarik pergelangan Dahui menuju pintu keluar.

“Hei, hei, tunggu!” ia menghentikan langkah dan memaksa Bina untuk menatap wajahnya. “Ada apa?”

“Baekhyun dan Jongdae sedang mencariku. Mereka memintaku untuk ikut makan malam di salah satu restoran milik orangtua Kyungsoo tanpa mengajakmu, tentu saja aku tidak mau.” Jelasnya dengan napas tersendat-sendat. “Ayo cepat pergi sebelum mereka menemukanku!” ia kembali menarik tangan Dahui, kali ini dengan sekuat tenaga.

“Ta-tapi Chanyeol—”

“Kita tidak punya waktu lagi!”

 

 

“Ponselku ada di Chanyeol,” ujar Dahui saat mereka duduk berdampingan di dalam mobil.

Paman Han—sopir pribadi Bina—sesekali melirik ke belakang, memastikan bahwa Bina dan Dahui baik-baik saja lantaran wajah mereka tampak pucat disertai kepanikan.

“Maaf, aku tidak tahu kalau kau sedang menunggu Chanyeol.”

Dahui mengembuskan napas berat, kemudian menggeleng lemah. “Tidak apa-apa, aku akan memintanya mengembalikan ponselku Senin nanti.”

“Itu artinya kau tidak ada ponsel selama akhir pekan ini?”

“Mau bagaimana lagi.” Ia membuang tatapan ke luar jendela. Sejatinya Dahui tak sanggup hidup tanpa ponsel. Itu sebabnya ia berjuang mati-matian untuk menyembunyikan hasil ulangan gagalnya dari sang Ibu atau ia akan kehilangan ponsel serta uang saku untuk sepekan penuh.

“Ah,” tiba-tiba Bina memekik, menarik kembali atensi Dahui. “Bagaimana kalau kau hubungi Chanyeol dan buat janji untuk bertemu esok hari?”

Gadis itu tampak termenung sejenak, kemudian mengangguk setuju. Ia meminjam ponsel Bina dan menghubungi nomor ponselnya sendiri, berharap Chanyeol akan menjawabnya.

Di deringan kelima—nyaris terputus, Dahui mendengar suara berat Chanyeol di seberang sana. Ia menghela napas lega.

“Halo, Chanyeol?”

“Ya? Kang Bina?”

“Tidak, ini Dahui.”

“Oh, Dahui maaf aku tidak bisa menemukanmu tadi.”

Semburat merah mendekorasi kedua pipi Dahui dan ia mengulum senyum tipis. “Aku yang seharusnya minta maaf. Aku harus segera pergi karena ada sesuatu.”

“Begitu…” gumam Chanyeol, terdengar mengambang. Tampaknya ia sedang sibuk hingga tak dapat berkonsentrasi dengan percakapan mereka.

“Chanyeol,” panggil Dahui kemudian, berusaha menarik atensi lelaki tersebut. “Aku akan mengambil ponselku. Jika kau ada waktu untuk besok—”

“Maaf, selama akhir pekan ini aku sangat sibuk. Aku juga tidak akan menghadiri sekolah sampai selasa nanti.”

“Apa?” air muka Dahui tampak kucam. Empat hari tanpa ponsel seakan-akan hidup di tengah-tengah hutan belantara baginya. Dahui takkan sanggup menanti selama itu. “Ta-tapi…”

“Dengar, aku akan menitipkan ponselmu pada Baekhyun dan ia akan mengembalikannya padamu hari Senin di sekolah, oke? Maaf, aku harus mengerjakan sesuatu. Terima kasih sudah meminjamkanku ponsel.”

Lalu sambungan pun terputus, namun Dahui masih menempelkan benda mungil itu di telinga kanannya. Sepasang bibirnya tak terkatup rapat, sama sekali tak dapat memercayai apa yang baru diucapkan Chanyeol kepadanya.

“Dahui, ada apa?” tanya Bina, heran dengan kebisuan sahabatnya.

“Bina,” perlahan-lahan kepalanya meneleng hingga kini Bina dapat melihat betapa pucat kulit wajah Dahui. “Chanyeol akan memberikan ponselku kepada Baekhyun.”

“Apa? Bagaimana bisa?!”

Gadis mungil tersebut mengangkat tangan dan menyurukkan wajah di balik telapak tangan, merasa frustasi. Setelah ia berniat untuk menghindari Baekhyun sebisa mungkin akibat peristiwa tadi, kini justru ia harus menemui lelaki itu. Terlebih, ia tak memasang kata sandi untuk membuka ponselnya. Sial, Baekhyun tentu akan menggeledah isinya dengan sesuka hati. Ada banyak foto-foto Chanyeol yang ia ambil secara diam-diam di galeri ponsel. Bukankah kini ia tak ada bedanya dengan si Byuntae Baekhyun? Penguntit yang mengambil gambar lelaki taksirannya tanpa sepengetahuan orang yang bersangkutan?

 

X.x.X

 

“Dana,” panggil Dahui sore itu sembari melongokkan kepala ke dalam kamar sang Kakak.

Ia tengah berbaring di atas tempat tidur sembari berbicara dengan Zi Tao melalui telepon; terkikik genit, hidungnya mengerut menjijikan. Dahui memutar kedua bola mata. Ia tak menanti izin dari Dana dan melangkah masuk.

“Dana,” panggilnya lagi, masih tak digubris oleh sang Kakak. “Aku ingin meminta tolong,” imbuh Dahui.

Kali ini usahanya sukses. Dana membisu sejenak, mencermati raut gadis mungil di hadappannya, lalu menghela napas berat.

“Sayang, aku akan menghubungimu lagi nanti. Dahui ingin membicarakan sesuatu.” Ujarnya kepada Zi Tao, membuat Dahui meringis. “Sampai jumpa,” sebelum ia memutuskan sambungan, ia menciptakan suara kecupan dengan kedua bibirnya dan sekali lagi terkikik genit sebelum akhirnya benar-benar menutup telepon.

“Jika tagihan telepon menggunung, bersiap-siaplah mendengarkan omelan Ibu.” Sindir gadis itu, jengah.

Dana berdecak, kini menegakkan tubuh hingga mereka duduk berhadapan. “Jangan banyak omong dan katakan apa yang kauinginkan dariku.”

Dahui menelan saliva dengan susah payah. Ia menautkan kesepuluh jemari sembari merundukkan kepala guna berkelit dari tikaman mata sang Kakak. Well, Dahui malu menyuarakan keinginannya. Ia tak ingin digoda Dana lagi. Cukup sudah ia menghibahkan sebuah kekacauan lantaran pengaman rasa vanila pemberiannya.

“Cepat katakan, Shin Dahui, aku tidak punya banyak waktu!” titah gadis itu sembari melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Tentu Dahui tahu bahwa Dana sama sekali tak sedang dikejar-kejar waktu. Karena ini adalah hari Sabtu, ia tak memiliki kegiatan apapun. Zi Tao sedang mengunjungi kakek dan neneknya di Cina, dan Dana pula tak mengajar di akhir pekan.

“Antarkan aku ke suatu tempat.” Ucapnya kemudian, dengan penuh perjuangan.

Kedua alis Dana menyatu. “Ke mana?”

Dahui melirik gadis itu, lalu segara memalingkan tatapannya untuk menudungi semburat merah yang mendekorasi kedua sisi wajahnya.

“K-ke… ke…”

“Shin Dahui,” ujar Dana dengan intonasi mengancam. Penuh penekanan pada setiap katanya.

Dahui akhirnya mendesah keras dan mengatakan hal yang sejak tadi menggantung di ujung lidah. “Ke apartemen Baekhyun.”

Tangan kanan Dana terangkat untuk menutup mulut. Kedua matanya membelalang terperangah, namun ia tak dapat menyembunyikan antusiasme tinggi. Melihat wajah tersipu sang Adik adalah sesuatu yang langka. Oh, tentu saja hanya Byun Baekhyun yang dapat membuat Dahui sampai seperti ini. Setidaknya seperti itulah anggapan Dana. Ia tak tahu bahwa yang benar-benar ditaksir Dahui adalah Park Chanyeol.

“Tentu saja aku bisa!” pekiknya bersemangat, sembari beranjak dari atas tempat tidur. Ia berjalan ke lemari guna mengganti pakaian. “Apa kau akan bermalam di tempatnya?”

Napas Dahui tercekat di tenggorokan. Ia nyaris tersedak oleh salivanya sendiri. “Tidak!” seru gadis itu sembari mengibas-ngibaskan kedua tangan di depan wajah.

“Kau tahu, aku bisa membuat alasan agar Ayah dan Ibu mengizinkanmu—”

“Dana, hentikan!” bentak Dahui, frustasi.

“Apakah ini akan menjadi malam keduamu dengan Baekhyun?”

Ia meraih bantal di sisinya dan melempar penyangga kepala tersebut ke arah Dana, berhasil menimpuk pinggangnya. “Hentikan, kubilang!”

Dana tergelak keras. “Oh, santai saja. Aku takkan membocorkan rahasiamu. Zi Tao bahkan tak pernah kuberitahu. Setidaknya aku tahu siapa orang yang sudah mengambil keperawananmu, dan kau juga tahu orang yang mengambil milikku.”

Sungguh, jika hal itu memungkinkan, Dahui rasa ia ingin menjahit mulut Dana agar berhenti mengoceh sepanjang hidupnya. Menurut Dahui, hanya Bina yang dapat memahami dirinya dengan baik. Sementara Dana selalu memetik kesimpulan tanpa mendengarkan penjelasannya terlebih dahulu. Meski Dahui menerangkan seribu kali kepadanya bahwa ia sama sekali tak memiliki hubungan spesial dengan Baekhyun, ia masih akan tetap beranggapan jika Dahui hanya malu mengakuinya.

“Tunggu,” ujar Dana kemudian, mengamati penampilan Dahui dari atas kepala hingga pangkal kaki. “Apa kau akan ke sana dengan berpakaian seperti ini?”

“Memangnya kenapa?”

Dana menarik tangannya dan memosisikannya di depan cermin. Sementara Dahui sama sekali tak memahami maksud sang Kakak. Ia tak mendapati sesuatu yang aneh dengan penampilannya. Gadis itu mengenakan celana pendek hitam dan kaus putih bergambar Minnie Mouse. Surai sepundaknya ia ikat kucir kuda lantaran suhu udara yang agak tinggi hari ini. Lalu, di mana letak salahnya?

“Apa kaupikir Baekhyun akan tertarik melihatmu seperti ini?”

Dahui memutar kedua bola mata, lalu berdecak kesal. “Aku tidak punya waktu lagi, Dana, ayo cepat pergi!”

“Tapi—”

“Ia bahkan akan tetap tertarik meski melihat seorang gadis yang hanya mengenakan karung beras!” desis gadis itu kemudian, habis kesabaran. Ia tak mampu menyaring apa yang dilafalkan lidahnya. Dana benar-benar membuatnya geram kali ini. Terlebih, Baekhyun hanya memberikan waktu satu jam. Ia harus tiba di sana sebelum pukul lima sore. Dan mengingat Dahui pula tak ingin pulang terlalu larut, ia harus menyelesaikan ini sesegera mungkin.

Semua berawal ketika Bina menelepon ke telepon rumahnya dan mengatakan bahwa Baekhyun mengirim sebuah pesan singkat kepadanya yang mengatakan ponsel Dahui kini ada dengannya. Ia meminta Bina menyampaikan kepada gadis itu untuk datang ke apartemennya jika ingin mendapatkan kembali ponselnya, tak lupa dengan alamat yang berlokasi di daerah Hannam—tempat tinggal para elitis. Tentu Dahui tak dapat menolak permintaannya. Ia sangat membutuhkan ponsel dan ia tak dapat menanti sampai Senin tiba. Apapun akan dilakukan Dahui kendati ia harus—sekali lagi—membuang dirinya ke dalam kandang singa.

 

X.x.X

 

Mobil yang dikendarai Dana tiba berhenti tepat di depan sebuah gedung apartemen megah yang menjulang. Mereka mengamati bangunan tersebut dengan decakan kagum.

“Kau yakin Baekhyun tinggal di sini? Tidak salah alamat, ‘kan?”

Gadis itu membaca ulang alamat yang disebutkan Bina di telepon tadi, meyakinkan diri bahwa mereka tidak mengunjungi gedung yang salah.

“Alamatnya sama persis seperti yang ditulis.”

“Aku tahu kalau pacarmu itu kaya, tapi tidak kusangka ia akan sekaya ini.”

“Jangan katakan itu di depannya atau ia akan besar kepala.”

Dana tergelak sembari memukul kemudi. Ia kemudian mendorong bahu Dahui setelah tawanya mereda. “Cepat keluar dan temui Baekhyun.”

“Tunggu aku di sini, aku tidak akan lama.”

Gadis itu memutar kedua bola mata sembari mendecakkan lidah. “Kaupikir aku akan menunggu kalian melakukan ‘itu’ sampai selesai?”

“Kami tidak—”

“Apa kau membawa pengaman? Oh, aku yakin Baekhyun memiliki beberapa stok di apartemennya. Yang penting kalian tidak lupa mengenakan pengaman karena—”

Dana belum sempat menyelesaikan kalimat, namun Dahui segera keluar dari kendaraan. Ia menutup pintu dengan bantingan, tak dapat menutupi kejengahan.

“Pergi saja! Aku bisa pulang dengan bis.” Serunya, tak kuat lagi menghadapi sang Kakak. Sampai kapan ia akan selalu bersikap seperti ini? Dahui bahkan tak pernah bilang bahwa ia akan melakukan sesuatu dengan Baekhyun.

Dana menurunkan kaca jendela, lalu memberikan Dahui kerlingan jenaka. Ia melambaikan tangan, sebelum akhirnya melajukan kendaraan dengan bunyi decitan ban pada lintasan aspal.

Embusan napas berat meluncur dari celah bibir tipis Dahui. Gadis itu kemudian memutar tumit, berjalan menuju pintu kaca yang akan menuntunnya ke dalam lobi gedung apartemen. Seorang petugas keamanan membuka pintu untuknya, dan menanyakan identitas serta siapa yang hendak ia kunjungi.

“Byun Baekhyun.” Jawab Dahui datar, berusaha tak memancing kecurigaan. Kendati ia tak berniat membunuh Baekhyun saat ini, namun tak menutup kemungkinan bahwa di dalam sana nanti keinginan tersebut muncul secara tiba-tiba.

Pria berkumis itu membawanya ke meja resepsionis dan mengatakan bahwa ia akan bertemu dengan ‘Tuan Muda Byun’. Well, tak heran dari mana ia mendapatkan panggilan tersebut. Setiap penduduk Korea Selatan pasti tahu siapa ayah Baekhyun, yang mana membuat mereka merasa segan pula kepada putranya.

Si Wanita resepsionis me

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
baeksena #1
Chapter 18: Udah setahun aja, kakak belum update lagi??
baeksena #2
Chapter 18: Masih setia nunggu ka??
baeksena #3
Chapter 18: Ayo ka,di lanjut???
baeksena #4
Baca ulang kak,soalnya lagi kangen sama cerita ini
little_petals
#5
Chapter 18: Level kedekatan BaekHui semakin uwuuuwww Tetap semangat lanjutinnya ya Thor, walaupun ngaret gpp deh
baeksena #6
Chapter 18: Semoga Makin deket aja,yuhuuuu
baeksena #7
Chapter 18: Seneng deh liat perkembangan hubungan baekhyun san dahui
baeksena #8
Chapter 18: Makasih kak,udah update
little_petals
#9
Chapter 16: Makin adem yak hubungan baekhui, bikin gemes :) Semangat kak ;)

Woww Selamat yaaaa yg udah engaged, semoga jadi keluarga yang bahagia dan damai kakak~ ?
baeksena #10
Chapter 17: Masih setia sama hindrance kak. Suka sama perkembangan hubungan Baekhyun dan Dahui