Chapter 11

Hindrance
Please Subscribe to read the full chapter

A/N: Adakah yang masih menanti Hindrance? maaf aku hiatus sebulanan karena sibuk. Niatnya sih gak ada hiatus-hiatusan. Tapi mau gimana laggi ya, emang udah situasi begini mau bilang apa hehe. oke deh, biar gak banyak bacot mending dinikmati aja update-an chapter 12 :)

 

Hari mulai beranjak petang, matahari siap menenggelamkan diri di ufuk barat. Mereka kini tengah berkumpul di tengah-tengah perkemahan, bercengkrama satu sama lain. Grup 9—grup Baekhyun—ditugaskan untuk memasak makan malam. Sementara Grup 8 mendapatkan tugas untuk membuat api unggun. Tiga murid laki-laki dan tiga murid perempuan akan menjelajahi hutan guna mencari kayu bakar. Dan lantaran Dahui adalah sukarelawan, tentu saja ia dikirim untuk berkeliaran di balik lebatnya pepohonan. Gadis itu ingin menolak, namun tak bernyali. Hak apa yang dimiliki oleh seorang sukarelawan? Tugas mereka adalah membantu, jadi tentu ia tak berhak menolak.

Kabar baiknya, Chanyeol menawarkan diri untuk ikut dan senyum Dahui pun terkembang kian lebar. Ia sontak berdiri, melangkahkan tungkai ke arah Chanyeol dengan girang.

“Kau ikut?” tanya Dahui, sekadar memastikan.

Lelaki itu mengangguk dan menepuk puncak kepalanya. “Kupikir tak ada lagi yang mau menawarkan diri untuk masuk ke dalam hutan.” Ia mengedarkan pandangan, menemukan teman-temannya yang lain tengah menyibukkan diri dengan sesuatu hanya agar mereka tak perlu mencari kayu bakar.

Lalu tiba-tiba, dua orang gadis berjalan ke arah mereka. Jika Dahui tak salah ingat, salah satunya adalah gadis yang ia dapati tengah melakukan hal cabul dengan Baekhyun di toilet sekolah. Oh, ia baru menyadari bahwa mereka berada dalam satu grup. Melihat wajahnya membuat otaknya mengenang peristiwa tersebut secara otomatis, dan ia hanya dapat bergedik ngeri.

“Kami akan pergi dengan Dahui.” Ujarnya saat mereka tiba di hadapan Chanyeol. “Kita bisa berpencar. Kau dengan murid laki-laki yang lain, dan Dahui dengan kami.”

Dahui hendak membuka mulut dan mengibaskan kedua tangan, menunjukkan ketidaksetujuan. Namun kemudian ia mendapati senyum lebar Chanyeol dengan ibu jari yang mengacung.

“Ide bagus. Kupikir kayu bakarnya akan lebih cepat terkumpul dengan demikian.” Ujarnya sembari mengangguk-anggukan kepala. Ia kemudian menoleh ke arah Dahui, dan gadis itu segera memasang senyum paksa. “Kita akan bertemu kembali di sini dalam tiga puluh menit, oke?”

“Mm… baiklah,” jawabnya lirih, berusaha menudungi kekecewaan. Tentu ia tak ingin pergi bertiga dengan kedua gadis ini. Dahui merasa tidak nyaman dengan ingatan-ingatan yang kini seakan menghantam kepalanya secara beruntun.

“Bagus,” gumam Chanyeol. Kepalanya meneleng ke arah dua murid laki-laki yang tengah menanti di seberang sana. “Hei, ayo jalan!” serunya bersemangat.

Kini hanya tersisa Dahui, si Gadis Cabul, dan teman si Gadis Cabul. Mereka membisu selama beberapa sekon, sampai akhirnya sebuah dehaman menarik paksa atensi Dahui kepada Gadis Cabul.

“Ayo.” Ucapnya ketus, tak lupa memberi delikan.

Namun kaki Dahui seakan terpasung di atas tanah. Ia tak ingin mengikuti mereka. Perasaannya terasa asing. Seolah-olah sesuatu yang buruk tengah menantinya di sana. Well, matahari memang belum sepenuhnya lenyap. Tetapi ia takut jika mereka membutuhkan waktu lama untuk mencari kayu bakar dan tak berhasil keluar dari hutan sebelum matahari terbenam. Tentu tak ada penerangan di dalam sana dan lampu senter sama sekali tak membuat rasa fobianya berkurang.

“Apa yang kautunggu?!” bentak gadis tersebut, menyentak Dahui. Ia lantas berlari menyusul keduanya dan mereka pun lenyap di balik lebatnya pepohonan.

Udara terasa kian dingin. Dahui mengeratkan jaket sembari melipat tangan di depan dada. Dua orang tersebut berjalan dua meter di depannya sementara kepala Dahui hanya merunduk. Ia mendengar derap-derap langkah kaki dengan telinganya untuk membuntuti jejak mereka. Terdengar suara cekikikan dari keduanya dan ketika Dahui memutuskan untuk mengangkat kepala, mereka tengah menatap lurus ke arahnya.

“Hei,” panggil teman Gadis Cabul.

“Y-ya?” jawab Dahui, terkesiap.

“Tangan kami sudah penuh dengan kayu, apa yang kaulakukan dari tadi?”

Ia baru menyadari bahwa sejak tadi ia hanya membuntuti kedua gadis tersebut tanpa memungut kayu-kayu kering yang berjebai di atas tanah.

“Ma-maaf—”

“Masuk ke dalam sana dan cari kayu sebanyak mungkin. Kami akan menunggu di sini.” Si Gadis Cabul menunjuk ke arah kanan, di mana pepohonan tampak lebih lebat dari tempat mereka berdiri saat ini.

Kening Dahui mengernyit. “Tapi area itu terlarang.”

“Apa kau mendapati pita biru di sana?” tanya teman si Gadis Cabul dengan satu alis berjingkat.

Dahui mmemicingkan mata untuk memperhatikan dan tak mendapati satu pita biru pun di sana. Tetapi seingatnya mereka telah memasang sebuah tanda di sana. Bahkan ia pula ingat bahwa Yixing-lah yang mengikatkannya pada batang pohon.

“Cepat masuk. Kami akan menunggu di sini.”

“Tapi—”

Belum sempat ia menuntaskan kalimat, gadis tersebut sudah mendorong bahunya dan memaksanya berjalan masuk ke dalam hutan. “Jangan banyak omong dan lakukan tugasmu.”

Maka, di sinilah Dahui sekarang. Ia mengitari hutan di sekitarnya, menemukan banyak ranting-ranting kering yang agaknya cukup untuk membakar api unggun. Senyum puas terkembang di bibirnya. Matahari nyaris tenggelam dan ia memutuskan untuk kembali menemui dua gadis itu.

Langkahnya tiba-tiba terhenti saat ia mulai memperhatikan sekelilingnya. Jantung Dahui berdebar begitu kencang hingga dadanya nyaris meletup. Ia tidak tahu ke mana arah keluar. Ia tak tahu dari mana ia masuk. Ia tidak tahu segalanya. Dahui tersesat.

Kepanikan mulai merajai hatinya. Ranting-ranting dalam genggaman tangannya terlepas dan jatuh membentur tanah. Tungkainya melangkah mundur dan mundur hingga punggung gadis itu menyentuh batang pohon di belakangnya. Pandangannya memudar oleh bendungan air mata dan sekujur tubuhnya gemetar hebat.

Perlahan-lahan cahaya mulai meredup. Matahari nyaris lesap dalam hitungan menit dan Dahui tahu bahwa ia akan tewas di sini.

 

X.x.X

 

“Wah, kau berhasil menyalakan api unggunnya!” pekik teman si Gadis Cabul kepada Chanyeol dan lelaki itu hanya membalasnya dengan senyuman.

Sejak tiba di puncak, teman si Gadis Cabul tak henti-hentinya menunjukkan ketertarikan kepada Chanyeol. Sementara Chanyeol berusaha untuk tak melukai perasaannya dengan tidak menunjukkan ketidaksukaannya pada kedekatan gadis itu.

“Kau mau duduk di sini?” ia menepuk tempat di sisinya, menatap Chanyeol dengan mata berbinar. “Hari sudah mulai gelap, udaranya akan semakin dingin.”

Mendengar ucapannya, sontak Chanyeol mengedarkan pandangan ke sekeliling, mencari presensi Dahui yang baru ia sadari tak nampak batang hidungnya sejak tadi. Kening lelaki itu mengernyit, lalu maniknya kembali berlabuh pada dua gadis yang kini tengah cekikikan bersama.

“Di mana Dahui?” tanyanya, tak sadar bahwa intonasinya meninggi.

Baekhyun yang saat itu berdiri tak jauh dari mereka lantas menelengkan kepala. Ia menatap Chanyeol dengan mata memicing, namun lelaki tersebut sama sekali tak menyadari. Ia terlampau cemas dengan keberadaan Dahui saat ini.

“O-oh, kupikir dia masih mencari kayu bakar di hutan.” Jawab si Gadis Cabul.

“Apa? Kenapa ia tidak kembali dengan kalian?”

“Kami berpencar dan tidak bisa menemukannya.”

“Apa yang kalian pikirkan? Kenapa tidak memberitahu kami sejak awal?!”

Kini ia membentak. Baekhyun kemudian menghampiri ketiganya, berdiri di sisi Chanyeol.

“Di mana Dahui?” tanyanya rendah kepada Gadis Cabul. Kedua tangannya terkepal dan tatapannya seakan-akan menembus tengkorak gadis itu.

“Ma-masih di hutan.”

Baekhyun mengambil langkah maju. Ia memegang kedua bahu si Gadis dan menatap lurus ke dalam matanya. Melihat hal itu, Chanyeol hanya dapat mematung dengan banyak pikiran berkecamuk dalam benak. Tak pernah sebelumnya ia melihat Baekhyun sepanik ini setelah peristiwa di rumah hantu. Tetapi saat itu ia panik setelah mendapati air mata Bina. Kali ini Chanyeol yakin bahwa alasannya berbeda. Ia mencemaskan keberadaan Dahui, sama seperti dirinya.

“Kau sengaja meninggalkannya, bukan?” cengkraman kesepuluh jemarinya terasa begitu erat. Wajah gadis itu meringis, hendak meminta Baekhyun untuk melepaskan bahunya. Namun sebelum ia dapat mengatakan apa-apa, Baekhyun segera mendorongnya dan berlari menuju hutan.

“Baek!” panggil Chanyeol. “Apa yang kaulakukan?!”

Pemuda itu memutar tumit, menatap Chanyeol dengan rahang mengokoh. “Aku harus menemukannya sekarang.”

“Kita harus menunggu keputusan dari para guru!”

“Dia memiliki fobia gelap, Park Chanyeol. Kaupikir kita punya cukup waktu?!” lengking Baekhyun, memeranjatkan Chanyeol.

Kedua matanya membeliak lebar, menatap Baekhyun dengan pandangan tak percaya. Ia mencemaskan Dahui. Ia ingin segera menyelamatkannya sebelum matahari benar-benar terbenam. Tetapi mengapa Chanyeol merasa ganjil?

 

X.x.X

 

Napasnya mulai sesak tatkala bayang-bayang dari rindangnya pepohonan menutupi sisa-sisa kirana oleh redupnya mentari. Dahui ingin menutup mata namun kelopaknya tak mampu di gerakkan. Sekujur tubuhnya gemetar hingga bulir-bulir peluh bercucuran di permukaan kulit. Suhu rendah di sekitarnya sama sekali tak berpengaruh. Dahui merasa panas, namun juga ia menggigil.

Lidahnya kelu untuk memanjatkan untaian doa. Kenangan akan peristiwa rumah hantu kembali terulang dan betapa gadis itu berharap bahwa kali ini Baekhyun akan menolongnya kembali; membopong tubuhnya dan membawanya keluar dari lebatnya pepohonan, membiarkan hidungnya mengendus aroma menenangkan dari tubuhnya.

Telinganya menangkap suara dari kejauhan dan tiba-tiba isakannya terhenti. Ada ketegangan yang melingkupi aura di sekitarnya. Apakah binatang buas yang tengah mendekatinya? Apakah kali ini ia akan benar-benar tewas? Tanpa mampu menyatakan perasaannya kepada Chanyeol? Tanpa mampu mengucapkan terima kasih dengan benar kepada Baekhyun karena sudah menolongnya di rumah hantu?

Pandangan Dahui mulai berkunang-kunang dan setiap suara yang ia dengar bergaung di telinganya. Ia ingin segera hilang kesadaran sebelum binatang buas itu menemukannya. Ia tak ingin merasakan cabikan atau gigitannya. Namun justru air mata yang mencucur kian deras kendati tak ada suara yang keluar dari mulutnya.

“Shin Dahui?”

Samar-samar ia mendengar seruan namanya dari kejauhan. Tubuh Dahui lantas menegak. Harapannya terbit seketika dan getaran di tubuhnya makin menjadi. Kali ini bukan lantaran ia takut, melainkan kelegaan yang sekonyong-konyong membasuh hatinya.

“Shin Dahui!”

Suaranya terdengar dekat saat ini. Dahui hendak membuka mulut untuk memberi sahutan, namun tak sanggup melakukannya. Derap langkah kakinya begitu cepat dan gadis itu pun tahu bahwa penolongnya kali ini tengah berlari.

“Shin Da—” Kalimat Baekhyun tertangguh tatkala maniknya menangkap sosok malang Dahui. Ia meringuk dan bersandar pada batang pohon raksasa di belakangnya. Wajahnya begitu pucat dan air mata melinang deras dari kedua matanya. Lantas Baekhyun segera berlari menghampirinya. Ia memegang kedua bahu gadis itu sembari memastikan bahwa kondisinya baik-baik saja. “Apa yang kaulakukan di sini?!” tanyanya separuh membentak. Tampak kecemasan dalam rautnya.

Kini isakan kembali meluncur dari mulut Dahui. Ia lega bukan main. Ia menatap ke dalam manik kokoa Baekhyun dan menyentuh lengan lelaki itu, berusaha meyakinkan diri bahwa ia tak sedang berhalusinasi. Bahwa apa yang ada di depan matanya kini nyata adanya.

“Dasar bodoh,” cetus Baekhyun dengan intonasi lebih tenang. “Seharusnya kalian tidak berpisah. Kalau terjadi sesuatu padamu bagaimana? Kau takut gelap dan udara akan sangat dingin pada malam hari. Bagaimana kalau aku tidak dapat menemukanmu?”

Dahui tak mampu berkata apa-apa. Ia hanya mendengarkan dengan isakan yang melantang. Entah kelegaan atau rasa bahagia yang kini tengah membuncah hatinya. Namun di dalam pikirannya, ia bertanya-bertanya; mengapa gadis itu tak mengharapkan Chanyeol yang datang menolongnya? Mengapa sejak awal hanya nama Baekhyun yang berlarian dalam kepalanya? Apakah ini bahkan wajar?

“Berhenti menangis,” ujar Baekhyun jengah, kendati Dahui menangkap sekelumit kecemasan dalam nadanya. Ia mengangkat tangan dan menyeka linangan air mata gadis tersebut dengan ibu jari.

Baekhyun memutuskan untuk mendudukan diri di sisi Dahui setelah menyingkirkan beberapa ranting kayu yang berjebai di atas permukaan tanah. Pandangannya lurus ke depan, namun tampak kelompang. Ia sengaja memberi waktu bagi Dahui hingga tangisannya reda. Namun pikirannya bercabang ke segala arah. Sama halnya seperti Dahui, ia pula tak dapat memercayai dirinya sendiri. Mengapa ia menunjukkan kepanikan hebat seperti tadi di depan teman-temannya? Mengapa ia harus berlari secepat kilat hanya untuk menemukan Dahui?

Lelaki itu menelengkan kepala tatkala ia mendengar tarikan napas tajam gadis di sisinya. Kedua lengannya tengah mendekap tubuhnya sendiri. Bahunya menggigil dan sepasang bibir mungil tersebut nampak kering. Embusan napas berat meluncur dari mulut Baekhyun. Ia memutar kedua bola mata, lantas beranjak dari duduknya untuk mengumpulkan ranting-ranting yang tadinya terjatuh dari tangan Dahui.

“Apa yang kaulakukan?” tanya gadis itu, parau.

Baekhyun tidak memberi respons, namun ia kembali duduk di samping Dahui setelah menyusun kumpulan ranting di hadapan mereka. Ia mengeluarkan sebuah pematik dari dalam saku jaketnya dan mulai membuat api untuk menghangatkan tubuh mereka.

“Aku tidak sepandai Chanyeol dalam membuat api unggun dengan tangannya sendiri. tapi setidaknya aku memiliki ini.” ia mengangkat pematik tersebut, tampak mengilap di bawah tempaan cahaya kemerahan api.

Sekali lagi, Dahui menghirup udara sedalam mungkin, membersihkan kedua lubang hidungnya dari caira menjijikan, sebelum akhirnya menyahut, “Kau membawa rokok kemari?”

Baekhyun mengedikkan bahu, mengeluarkan sekotak batang nikotin dan menunjukkannya kepada Dahui. “Udara malam akan sangat dingin. Aku butuh ini.”

“Asalkan kau tidak membakarnya di sampingku saja.” ujarnya sembari menggedikkan bahu.

Kemudian, suasana kembali hening. Tubuh Dahui mulai merasa sedikit hangat dan cahaya api pun tak membuatnya setakut tadi. Namun ia baru menyadari bahwa kesenggangan di antara mereka sangatlah tipis. Bahkan bahu keduanya saling bersinggungan.

Dahui berdeham kikuk. Ia ingin menjauhkan diri dari Baekhyun, tetapi justru menyadari bahwa seluruh tenaganya sudah tak bersisa. Ia tak lagi dapat merasakan kaki dan persendiannya benar-benar berkarat. Efek samping dari rasa syok itu masih menguasai dirinya. Namun sebuah pertanyaan tiba-tiba terbersit dalam benak dan Dahui tak dapat menahannya untuk tidak meluncur dari celah kedua bibirnya.

“Kenapa kau menolongku saat di rumah hantu waktu itu?”

Sontak, kepala Baekhyun menoleh. Ia menatap Dahui dengan mata membulat dan rahang yang tak terkatup rapat. Tanpa sadar, kedua tangannya terkepal erat; merasa malu dan marah lantaran Dahui sudah mengetahui hal tersebut.

“Bina yang memberitahumu?” tanyanya dengan alis menyatu.

Gadis itu menggeleng, tak mengalihkan pandangan dari kedua manik kokoa Baekhyun.

“Lalu siapa?”

“Chanyeol.” Ia terdiam sejenak, mengamati raut lelaki di hadapannya. “Bina bertingkah seolah-olah Chanyeol-lah yang menolongku, jadi kuasumsikan ialah yang membawaku keluar dari rumah hantu. Tapi kenyataannya semua tak sesuai dengan yang kupiki

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
baeksena #1
Chapter 18: Udah setahun aja, kakak belum update lagi??
baeksena #2
Chapter 18: Masih setia nunggu ka??
baeksena #3
Chapter 18: Ayo ka,di lanjut???
baeksena #4
Baca ulang kak,soalnya lagi kangen sama cerita ini
little_petals
#5
Chapter 18: Level kedekatan BaekHui semakin uwuuuwww Tetap semangat lanjutinnya ya Thor, walaupun ngaret gpp deh
baeksena #6
Chapter 18: Semoga Makin deket aja,yuhuuuu
baeksena #7
Chapter 18: Seneng deh liat perkembangan hubungan baekhyun san dahui
baeksena #8
Chapter 18: Makasih kak,udah update
little_petals
#9
Chapter 16: Makin adem yak hubungan baekhui, bikin gemes :) Semangat kak ;)

Woww Selamat yaaaa yg udah engaged, semoga jadi keluarga yang bahagia dan damai kakak~ ?
baeksena #10
Chapter 17: Masih setia sama hindrance kak. Suka sama perkembangan hubungan Baekhyun dan Dahui