Chapter 12

Hindrance
Please Subscribe to read the full chapter

Sesuai ekspektasi, nyaris seluruh penghuni kompleks tahu perihal hubungannya dengan Baekhyun. Mereka mengatakan bahwa Dahui mengencani seorang anak konglomerat dan telah melakukan hal yang tak senonoh di depan rumahnya. Bahkan beberapa dari mereka mengasumsikan bahwa ia sudah kehilangan kegadisannya. Entah apa yang harus dilakukan gadis itu sekarang lantaran mukanya sudah benar-benar tercoreng akibat ulah Baekhyun. Dahui bahkan tak memiliki ketenangan selama berada di sekolah maupun di rumahnya sendiri.

Malam itu, Nyonya Shin memanggil kedua anak gadisnya ke ruang tengah. Yang ada dalam benak Dahui adalah; ia akan mendapatkan masalah. Karena ketika kakinya menjejak di lantai ruang tengah, sang Ayah telah mendudukkan diri di sana sembari melipat tangan di depan dada. ia tak menatap Dahui ataupun Dana saat mereka duduk di sofa panjang di depan Tuan Shin. Sementara Nyonya Shin hanya dapat menghela napas keras, terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya pada hal yang tengah menimpa keluarga mereka.

Tentu saja wanita paru baya tersebut malu lantaran kini mereka menjadi bahan omongan para ibu-ibu kompleks. Mereka menanyakan segala hal kepadanya, bahkan tak malu-malu memintanya menceritakan ada hubungan apa di antara anak bungsu mereka dengan putra konglomerat itu.

“Kalian pasti sudah tahu kenapa kami meminta untuk datang kemari.” Ujar Tuan Shin dengan suara rendah.

Dahui lantas menegakkan tubuh sementara Dana hanya dapat menggerakan bola matanya ke segala arah—berusaha mencari akal untuk membantu sang Adik dari masalah.

“Desas-desus mengenai hubunganmu dan laki-laki itu mulai tersebar.” Ketus Nyonya Shin, tak lupa mendelik ke arah Dahui.

“Aku tahu,” jawabnya, memberanikan diri kendati kepalanya tidak terangkat.

“Kalian harus mendengarkan penjelasan Dahui dulu,” celetuk Dana kemudian.

Tuan Shin berdecak, meminta Dana untuk tidak membuka mulut selama ia ingin berbicara dengan Dahui. “Aku memanggilmu kemari hanya agar kau tahu masalah apa yang sedang menimpa keluarga kita. Aku tak memintamu untuk ikut campur.”

“Ayah, Dahui sudah tujuh belas tahun. Apakah ia masih tidak boleh berpacaran?”

“Ini bukan soal boleh dan tidak bolehnya. Tapi mereka membicarakan sesuatu yang sangat merendahkan keluarga kita.”

“Oh, tentang Dahui dan Baekhyun yang berciuman di depan rumah?”

“Jadi Baekhyun nama si Bocah Tengik itu?”

Lantas napas Dahui dan Dana tercekat. Ia baru saja menyadari bahwa ia justru menggali liang kubur untuk adiknya sendiri. Dana meneleng, menatap Dahui dengan pandangan menyesal.

“Yah, Baekhyun anak baik.” Ujar Dana cepat, kini memalingkan wajah ke arah Tuan Shin.

“Kalau ia baik ia takkan mencium putriku di depan rumah sebelum bertemu dengan orangtuanya.”

“Tapi aku dan Zi Tao melakukannya juga sebelum ia memperkenalkan diri padamu. Nyatanya ia orang yang baik, bukan?”

Tuan dan Nyonya Shin lantas terbungkam mendengar ucapan Dana. Mereka tak dapat memercayai pendengarannya sendiri. Zi Tao yang selama ini dipikirnya tak pernah melakukan hal seperti itu. Zi Tao yang sudah dianggap seperti putra kandung mereka sendiri. Zi Tao yang polos dan tidak terlalu pandai berbahasa Korea.

“Oh, sial.” Umpat Dana setelah menyadari ia pula tengah dalam masalah. Well, bukan hanya dirinya dan Dahui saja, melainkan Zi Tao pula harus berhadapan dengan ayahnya setelah ini. Ia tahu ibunya takkan bersikap keras kepada sang Kekasih. Tetapi ayahnya telah menaruh kepercayaan penuh pada Zi Tao untuk menjaga putrinya. Ia benar-benar tak menyangka bahwa lelaki tersebut sanggup mencium putrinya tanpa seizin darinya.

“Aku ingin bertemu dengan Zi Tao besok.” Putus Tuan Shin kemudian.

“Ta-tapi—”

“Dan Dahui, bawa juga Baekhyun itu kemari.”

“Ayah—”

Mereka tak dapat menuntaskan kalimat lantaran Tuan Shin kini telah beranjak dari duduknya dan masuk ke dalam kamar.

“Maaf, kali ini aku berada di pihak ayah kalian.” Ucap Nyonya Shin lirih, sebelum ia mebuntuti jejak sang Suami.

“Apa yang sudah kaulakukan?!” pekik Dahui tertahan saat pintu kamar orangtua mereka sudah tertutup rapat.

“Aku hanya ingin membantumu!” Dana berusaha membela diri.

“Tapi justru kau menempatkan kita semua dalam masalah yang lebih besar.”

Gadis itu menghela napas berat dan mengangguk. “Aku tahu,”

“Aku tidak akan berterima kasih untuk ini.”

Selepas mengeluarkan frasa tersebut, Dahui pun bangkit berdiri dan masuk ke dalam kamar dengan bantingan pintu. Sementara Dana hanya dapat menyesali ucapannya beberapa menit lampau.

 

X.x.X

 

Tentu sudah bukan rahasia lagi bahwa Senin adalah hari sial Dahui. Baru saja ia menjejakkan kaki di lapangan sekolah, seluruh pasang mata sudah terfokus pada sosoknya. Mereka terkikik dan mencibirnya. Tentu saja mengenai tamu bulanan yang datang tiba-tiba tempo hari dan bagaimana Baekhyun berusaha melindunginya dengan mengikatkan jaket pada pinggang Dahui. Mereka sudah tak ragu lagi untuk berasumsi bahwa hubungan keduanya telah berada di tingkat yang berbeda. Di tingkat yang lebih intim dari sebelumnya. Di mana ia bukan hanya sebuah mainan bagi Baekhyun, namun sesuatu yang ingin dilindungi oleh lelaki tersebut.

“Hei,” seseorang menyentuh pundak gadis itu dan seketika Dahui merasakan sengatan yang begitu kuat pada kulitnya. Ia mengenal dengan baik seseorang yang memiliki suara tersebut.

“Apa maumu?!” tanya Dahui ketus sembari memutar tubuh untuk mempertemukan manik mereka. Namun justru napasnya tertangguh di tenggorokan. Mengapa hari ini Baekhyun tampak begitu tampan? Oh, apakah mungkin karena surainya yang baru saja dicat hitam? Ataukah karena hari ini ia menggambar matanya dengan begitu baik?

“Well, aku hanya ingin menyapa. Apakah itu dilarang?” timpal Baekhyun sembari menaikkan kedua alis.

Dahui menghela napas berat, sesekali matanya melirik kerumunan para murid yang tampak tertarik dengan interaksi mereka. “Jangan ganggu aku.” Lirih gadis itu, penuh aksentuasi.

“Kaupikir menyapa adalah sebuah gangguan?”

“Te-tentu saja tidak. Tapi aku tahu sapaanmu hanya akan berujung ke sesuatu yang buruk.”

“Contohnya?”

Rahang Dahui mengokoh dengan kedua tangan terkepal. Jika saja mereka sedang tidak menjadi pertunjukan gratis, barangkali Dahui sudah melayangkan sebuah hantaman pada wajah mulus Baekhyun. Namun ia pula masih memiliki malu dan hati nurani. Ia berhutang budi pada lelaki di hadapannya ini. Setelah berkali-kali banyaknya Baekhyun menyelamatkannya, bukankah ia berhak melakukan seluruh hal kejam tersebut padanya?

Dahui tak dapat menjawab pertanyaan Baekhyun dan lelaki tersebut hanya dapat terkekeh geli. Ia menggeleng-gelengkan kepala, hendak mengangkat tangan guna mengacak puncak kepala Dahui. Namun niatnya tertangguh tatkala seseorang menghampiri mereka dengan raut cemas.

“Ada apa ini?” tanya Bina, menatap Baekhyun dan Dahui secara bergiliran. “Kau tidak apa-apa?” maniknya berlabuh pada sosok sang Sahabat yang tampak geram.

Baekhyun menjilat bibir keringnya. Ia merasa begitu ganjil. Perasaan yang sedianya bersarang kuat dalam hati kini tak ia rasakan lagi. Kang Bina tengah berdiri tegak di hadapannya, tampak cantik dan menawan dengan surai legam yang tergerai indah sampai ke pinggang. Bibir mungilnya berwarna merah muda dan lembap. Bulu matanya panjang dan lentik. Ia pula memiliki bola mata cokelat yang nampak jernih. Tetapi mengapa Baekhyun tak lagi mendapatkan debaran jantung itu? Mengapa ia tak merasakan sengatan aneh sekaligus nyaman yang menjalar ke sekujur tubuhnya?

Justru ketika maniknya beralih dan menatap wajah kucam Dahui dengan lingkar hitam di bawah matanya dan sepasang bibir mungil yang tampak kering, di sanalah Baekhyun merasakan seluruh keanomalian tersebut. Ia tidak Cantik. Tidak pula memiliki surai panjang nan sehat seperti Bina. Tubuhnya tidak setinggi dan selampai sahabatnya. Namun ada sesuatu yang di dalam dirinya yang selalu sukses menarik atensi Baekhyun. Membuat lelaki tersebut lebih tertarik pada presensinya ketimbang presensi Bina.

“Aku tidak apa-apa,”

Jawaban ketus Dahui seakan melempar Baekhyun dari kontemplasinya. Ia kembali memusatkan pandangan pada kedua manik kelam tersebut dan lantas terisap ke dalamnya. Setiap peristiwa yang pernah mereka lalui berputar-putar dalam benaknya. Bagaimana Dahui menangis ketakutan di tempat gelap, bagaimana ia mabuk dan bertingkah lugu di pesta Baekhyun, serta bagaimana rasanya ketika kedua bibir mungil itu menyentuh miliknya saat berada di bis beberapa hari lampau.

Ia pasti sudah sinting. Baekhyun tak mungkin menyukai Shin Dahui. Gadis buruk rupa itu sama sekali bukan tipenya. Jika perasaannya adalah nyata, maka ia rasa ia perlu memeriksakan kejiwaan ke psikiater. Terlebih, pertemanan Dahui serta Chanyeol yang makin dekat kerap membuat Baekhyun tidak nyaman.

“Aku dengar dari Chanyeol tentang kejadian saat di perkemahan.” Ujar Bina, menunjukkan kecemasan.

“A-aku sekarang baik,” jawab Dahui tergagap lantaran ia kembali diingatkan akan insiden saat Baekhyun menemukannya di tengah-tengah hutan.

Kini Bina menelengkan kepala hingga maniknya bertemu dengan Baekhyun. Ia tertegun selama sekian sekon saat mendapati bahwa lelaki tersebut tengah memandang ke arah Dahui dengan cara yang berbeda. Namun sesegera mungkin ia melenyapkan seluruh prasangka yang kini tengah berkecamuk dalam benak.

“Apa kau yang menyuruh mereka untuk melakukan hal itu kepada Dahui?” tanya Bina, berintonasi kasar.

Baekhyun terkesiap, lantas menyatukan alis. Ia tidak tampak senang dituduh seperti itu oleh Bina.

“Aku tidak mungkin datang untuk menolongnya jika akulah dalang dari perstiwa di perkemahan.” Ia memutar kedua bola matanya, jengah.

“Barangkali itu hanya alibimu saja agar kau tidak disalahkan.”

Baekhyun berdecak dan mengangkat kedua tangannya. “Terserah. Aku sudah mengatakan hal yang sejujurnya. Jika kau tak ingin percaya, itu masalahmu.”

Bina sedikit terkejut dengan reaksi Baekhyun. Tak pernah sebelumnya ia bersikap seperti ini padanya. Baekhyun selalu bersikap manis di hadapannya. Dan hal tersebut justru membuat kecurigaannya kian menjadi. Apakah perasaannya sudah berpaling pada Dahui?

Tapi tentu saja itu mustahil. Ia tak mungkin menyukai gadis yang selama ini telah menjadi musuh terbesarnya. Yang berusaha ia hancurkan hidupnya sejak beberapa bulan terakhir. Benar, bukan?

Baekhyun memberi delikan pada sepasang sahabat tersebut, lantas memutar tumit untuk meninggalkan keduanya. Namun niatnya terurung saat Dahui memanggil namanya dengan suara lantang. Terdengar ragu-ragu dan gemetar. Lantas ia kembali membalikan tubuh dan mendapati gadis itu tengah melangkah mendekat.

Ia melepaskan tas punggungnya, kemudian mengeluarkan jaket biru milik Baekhyun. Pakaian tersebut tampak mulus dan bersih. Bahkan Baekhyun dapat mencium wewangian deterjen.

“Terima kasih sudah meminjamkannya padaku.” Ujar Dahui dengan kepala tertunduk sembari menyodorkan jaket tersebut ke arah Baekhyun.

Dan belum sempat lelaki tersebut membalas ucapannya, Dahui lekas-lekas berbalik dan menarik tangan Bina menuju kelas untuk menghindari Baekhyun. Ia benar-benar sudah merendahkan diri di hadapan para penghuni SMA Chungdam dan juga di depan musuh terbesarnya. Dahui tak tahu lagi di mana ia harus menyembunyikan wajah setelah ini.

 

X.x.X

 

“Ada apa dengan wajahmu?” tanya Chanyeol ketika Baekhyun memasuki kelas.

“Wajahku kenapa?”

“Itu sebabnya aku bertanya. Kau tampak aneh pagi ini.”

“Apakah celakku luntur?” Baekhyun menutup kedua matanya, membiarkan Chanyeol melihat gambar sempurna yang membingkai mata sipit tersebut.

“Bukan itu, bodoh,” lelaki itu mendorong wajah Baekhyun dan membuat bibirnya mengerucut kesal. “Kau tampak kusut.”

“Oh,” gumam Baekhyun sembari mendudukkan diri di bangkunya. Ia menggantung tas di sandaran lalu meletakkan jaket biru miliknya di atas meja. Tak berapa lama kemudian, Baekhyun membaringkan sisi wajah di atas permukaannya sembari mengendus aroma lembut dari deterjen milik Dahui sedalam mungkin.

“Baek, kau yakin hari ini kau sehat?” tanya Chanyeol yang mencemaskan tingkah temannya.

“Hm…” jawab Baekhyun dengan gumaman seraya mengangguk. kulit mulusnya bergesekan dengan jaket biru tersebut dan betapa ia berharap bahwa itu adalah tangan mulus Dahui.

“Omong-omong, aku tak bisa ikut bermain basket hari Selasa besok.” Ujar Chanyeol tiba-tiba.

Baekhyun sontak mengangkat wajah, aneh mendengar penuturan Chanyeol lantaran ini adalah kali pertama ia tidak ikut latihan basket sepulang sekolah.

“Kenapa?”

“Kurasa aku ingin mentraktir Dahui minum kopi untuk meminta maaf atas kejadian di perkemahan waktu itu.”

Kening Baekhyun mengernyit, tidak suka mendengar ucapan Chanyeol. “Untuk apa meminta maaf?” tanyanya datar.

“Aku sudah membiarkannya pergi dengan gadis-gadis itu. Seharusnya aku tidak memercayai mereka.”

“Itu bukan salahmu.”

Chanyeol menghela napas berat. Ia meletakkan satu sikunya di atas meja, lantas mencondongkan tubuh ke arah Baekhyun. “Tapi aku tetap merasa bersalah, oke? Terlebih, akhir-akhir ini aku merasa nyaman berbicara dengan Dahui. Dia gadis baik.”

Tangan Baekhyun terkepal, merasa seakan-akan sesuatu tengah menyulut api pada tubuhnya hingga darahnya mendidih. Tentu saja Chanyeol tak menyadari hal tersebut lantaran kini ia tengah sibuk memikirkan Dahui. Sejak beberapa pekan terakhir Dahui tak henti-hentinya menarik perhatian Chanyeol. Ia memang bukan gadis tercantik yang pernah ditemuinya. Namun kepribadiannyalah yang telah membuat Chanyeol nyaman berada di dekatnya. Dan entah mengapa, mengetahui bahwa selama ini Dahui menyimpan rasa padanya membuat Chanyeol bahagia.

“Hei!”

Pekikan Jongdae membuayarkan keduanya dari pikiran masing-masing. Lelaki itu melingkarkan tangannya di leher Chanyeol sementara Kyungsoo mendudukan diri tepat di bangku di depan Baekhyun.

“Jangan membuatku terkejut seperti ini.” ujar Chanyeol kesal sembari melepaskan lingkaran tangan Jongdae dari lehernya.

Lelaki itu terkekeh. “Orangtua Kyungsoo akan berangkat ke Paris malam ini. Kau mau ikut bermalam di rumahnya?”

Baekhyun mengangkat tangan bersemengat dan mengangguk cepat. “Aku ikut.”

“Mm… kupikir aku tidak bisa.” Ujar Chanyeol rendah.

Kini ketiga pasang mata tersebut terarah padanya. Jongdae menaikkan kedua alis, meminta Chanyeol mengatakan alasannya.

“Aku harus mengantar kakakku ke bandara sore ini.”

Kini mata Kyungsoo-lah yang membulat. Ia segera bangkit dari duduknya dan menatap Chanyeol dengan pandangan tak percaya.

“Yoora Noona ada di sini?”

Lelaki itu mengangguk sebagai jawaban, berusaha menghindari kontak mata dari Kyungsoo. Ia tahu dalam hitungan detik telinganya akan mendengar cercaan yang keluar dari mulut mungil Kyungsoo.

“Kenapa kau tak memberitahuku? Kau tahu ia hanya pulang setahun sekali ke Seoul.”

“Well,” Chanyeol menggedikkan bahu acuh tak acuh. “Ia harus mengurus keperluan penting di sini.”

“Kau brengsek,” umpat Kyungsoo, memberi delikan kepada lelaki jangkung tersebut. “Aku juga ingin bertemu dengannya!”

Chanyeol memutar kedua bola mata. “Kyungsoo, menyerahlah. Kau tidak akan mendapatkan kakakku. Justru kau hanya membuang-buang waktumu dengan menyukainya selama ini.”

“Dia adalah cinta pertamaku. Aku sudah menyukainya sejak pertama kali bertemu dengannya di sekolah menengah pertama dulu.”

“Ya, ya, aku tahu fakta itu.” timpal Chanyeol, tidak tertarik.

“Hei,” Baekhyun ikut masuk ke dalam konversasi. “Bagaimana kalau kau melakukan kencan buta saja, Kyungsoo?” ia menepuk pundak temannya dan memberikan senyuman lebar yang tampak menyebalkan tersebut.

“Aku tidak perlu kencan buta.” Ujar Kyungsoo datar.

“Semua anak laki-laki seusiamu setidaknya sudah pernah berkencan sekali dalam hidup mereka. Sedangkan kau sama sekali tidak berpengalaman.”

“Jadi kau malu memiliki teman yang belum pernah berkencan?!” pekik lelaki itu, tidak terima. Napasnya terdengar memburu dan semburat merah mendekorasi kedua sisi wajahnya. Bukan lantaran ia tengah tersipu, melainkan Do Kyungsoo sedang dikuasai oleh amarah saat ini.

“Well, bukan itu maksudku—”

“Baiklah, akan kubuktikan pada kalian berdua bahwa aku juga bisa berkencan.” Ia menatap Baekhyun dan Chanyeol secara bergiliran dengan mata bulatnya, lantas bangkit berdiri dan keluar dari kelas dengan langkah menghentak.

Jongdae segera mengangkat kedua tangan. “Aku tidak tahu apa-apa. Kalian berdua yang sudah membuat Kyungsoo marah.” Ujarnya cepat.

Sementara Chanyeol dan Baekhyun hanya dapat mengembuskan napas frustasi. Mereka tahu bahwa akan sangat sulit untuk membujuk Kyungsoo jika ia sedang marah.

 

X.x.X

 

“Mau kutraktir es krim?” tanya Bina dengan raut kuatir mendapati tingkah aneh sahabatnya. Ia tampak murung sejak pagi tadi setelah bertemu dengan Baekhyun. Tentu bukan hal ganjil lantaran Baekhyun tak pernah gagal untuk mengacaukan suasana hati Dahui. Namun kali ini, Bina sadar bahwa gadis itu tengah menyembunyikan sesuatu darinya.

Dahui menggeleng tak bersemangat. “Aku mau pulang saja.”

“Ini pertama kalinya kau menolak traktiran es krimku.”

“Aku sedang tidak ingin melakukan apa-apa.”

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
baeksena #1
Chapter 18: Udah setahun aja, kakak belum update lagi??
baeksena #2
Chapter 18: Masih setia nunggu ka??
baeksena #3
Chapter 18: Ayo ka,di lanjut???
baeksena #4
Baca ulang kak,soalnya lagi kangen sama cerita ini
little_petals
#5
Chapter 18: Level kedekatan BaekHui semakin uwuuuwww Tetap semangat lanjutinnya ya Thor, walaupun ngaret gpp deh
baeksena #6
Chapter 18: Semoga Makin deket aja,yuhuuuu
baeksena #7
Chapter 18: Seneng deh liat perkembangan hubungan baekhyun san dahui
baeksena #8
Chapter 18: Makasih kak,udah update
little_petals
#9
Chapter 16: Makin adem yak hubungan baekhui, bikin gemes :) Semangat kak ;)

Woww Selamat yaaaa yg udah engaged, semoga jadi keluarga yang bahagia dan damai kakak~ ?
baeksena #10
Chapter 17: Masih setia sama hindrance kak. Suka sama perkembangan hubungan Baekhyun dan Dahui