Chapter 04

Hindrance
Please Subscribe to read the full chapter

 

Hal pertama yang dirasakan Dahui tatkala sepasang netranya membuka adalah visualisasi berputar serta denyutan kencang di sisi kepala. Erangan lirih meluncur dari celah kedua bibirnya saat ia mencoba untuk menegakkan tubuh. Alih-alih berhasil, gadis itu justru kembali terempas ke atas permukaan tempat tidur. Ia tak dapat mengingat apa yang telah terjadi pada dirinya kemarin. kenangannya begitu acak dan tak tertata sesuai kronologisnya. Namun satu hal yang Dahui tahu; mimpi buruk tak henti-hentinya berdatangan ke dalam otaknya selama ia terlelap. Entah terlelap atau terkapar, Dahui tak yakin dengan kondisinya sendiri.

Suara sentakan pada pintu kamar berhasil mengalihkan atensi gadis tersebut. ia mendapati Dana tengah berjalan merapat dengan raut jengah. Senampan makanan dibawa kedua tangannya, tak pelak membuat perut Dahui meronta untuk diisi.

“Baguslah kau sudah sadar.” Komentarnya, meletakkan hidangan di atas meja rendah di kamar sang Adik.

“Apa yang terjadi denganku?” tanyanya parau, sembari memicingkan mata untuk memfokuskan pandangan pada sosok lampai Dana.

“Oh, sekarang kau mengalami amnesia?”

“Tidak lucu, Dana.” Desisnya.

Well, kendati usia mereka terpaut dua tahun, namun sejak berumur delapan tahun Dahui tak pernah lagi memanggilnya dengan sebutan ‘kakak’. Mereka terlampau sering bertikai, namun juga terlampau menyayangi satu sama lain. Terlebih, Dana tak keberatan meski sang Adik hanya memanggil nama panggilannya tanpa komplemen kakak.

“Aku tidak sedang bercanda, Nona Muda,” timpalnya sembari melipat kedua tangan di depan dada. “Lagipula apa yang kaulakukan di sana? Sudah tahu memiliki fobia gelap tak seharusnya kau melakukan hal nekat seperti itu!”

Selepas frasa tersebut terlontar dari sepasang bibir mungil Dana, lantas kenangan sehari lampau menghantam kepalanya secara membabi-buta. Rahangnya nyaris saja terlepas saat mengingat bagaimana si Byuntae Baekhyun memberinya hukuman paling mengerikan yang pernah ia terima sepanjang hidupnya. Sungguh, Dahui takkan memaafkannya kendati ia berlutut di hadapannya hingga dengkulnya terlepas.

“Kau dibawa pulang ke rumah dalam keadaan pingsan.” Imbuh Dana dengan intonasi lebih rendah. Ia memindahkan beban tubuh ke tungkai kiri, tak memalingkan tatapan menikam dari sosok sang Adik.

“Siapa yang membawaku pulang?” tanya Dahui setelah ia berhasil memungut seluruh kesadaran diri.

“Entahlah, ia tak memberitahu namanya.”

“Ciri-cirinya?”

“Ugh, kau benar-benar menyebalkan,”

“Ciri-cirinya, Shin Dana!”

“Kenapa tak kautanyakan kepada Bina saja? Dia juga ikut mengantarmu kemari, tapi laki-laki itu yang menggendongmu.”

Mulut Dahui terbungkam seketika. Tentu hanya ada dua kemungkinannya; Baekhyun atau Chanyeol. Dan sungguh, Dahui benar-benar berharap bahwa orang yang menolongnya adalah Park Chanyeol. Ia telah menawarkan untuk duduk di sisinya saat mereka hendak bermain wahana Roller Coaster, lalu mengajarinya cara membidik. Bukankah probabilitasnya lebih besar jika Chanyeol-lah si Pangeran Penyelamat? Mengingat Baekhyun akan lebih memilih untuk membiarkannya tewas tersiksa di dalam rumah hantu tersebut.

Dahui memutuskan untuk tak menyerah. Jika ia bisa mendapatkan jawabannya dari Dana, mengapa ia harus menanyakannya kepada Bina yang kini pasti tengah tertidur pulas di rumahnya?

“Apa susahnya—”

Gadis yang lebih tua darinya itu mengangkat kedua tangan, memutus frasa Dahui. “Cukup, aku ada janji dengan Zi Tao dan kau hanya akan membuatku terlambat.”

Belum sempat ia melontarkan kalimat protes, Dana segera melenggang keluar dan menutup pintu kamar dengan suara bedebam lantang. Sementara Dahui hanya dapat menghela napas jengah. Ia bukannya benci dengan Zi Tao. Lelaki itu adalah pacar sekaligus cinta pertama Dana. Mereka sudah berkencan selama tiga tahun sejak keduanya masih sama-sama duduk di bangku sekolah menengah atas. Tak dapat dipungkiri bahwa Zi Tao sudah sangat dekat dengan keluarganya. Bahkan dapat dikatakan ia adalah sahabat ayahnya. Lantaran pria paruh baya tersebut tak memiliki seorang putra di keluarga mereka, maka kehadiran Zi Tao bak guyuran hujan di tengah-tengah gersangnya padang gurun. Mengingat Tuan Shin selalu mendambakan kelahiran anak laki-laki.

Huang Zi Tao adalah lelaki berdarah Cina yang sejak lima tahun lalu memutuskan untuk bermigrasi ke Korea Selatan setelah orangtuanya dipindah tugaskan kemari. Dan sialnya—sial menurut Dahui—ia dipertemukan dengan Dana. Mereka jatuh cinta pada pandangan pertama, menurut cerita Dana. Demi Tuhan, gadis itu bahkan masih merasa mual setiap kali ia membayangkan seperti apa kisah pertemuan sejoli tersebut. Bagaimana mungkin Zi Tao sanggup berkukuh bersama Dana selama tiga tahun penuh? Kendati berparas rupawan, namun sang Kakak memiliki emosi yang meletup-letup. Ia juga banyak mulut dan tak akan berhenti berbicara hingga suasana hatinya berubah secara tiba-tiba.

Oke, cukup membahas perihal Dana. Dahui kini tengah berjuang keras guna meredakan amarah. Gadis yang membuat emosinya memuncak sudah benar-benar angkat kaki dari rumah mereka saat ia mendengar suara derum kendaraan yang melaju menjauh.

Manik kelam Dahui menatap ke arah ponsel serta sarapan yang ditelakkan Dana sebelumnya di atas meja rendah. Tengah terjadi perdebatan sengit dalam benak gadis itu apakah ia harus menelepon Bina terlebih dahulu untuk menanyakan identitas si Pangeran Penyelamat, atau apakah ia harus menyantap roti bakar dengan irisan tomat dan bacon serta segelas cokelat panas yang tampak begitu menggiurkan. Namun pada akhirnya ia menetapkan untuk mengisi perut sebelum menelepon Bina. Sungguh, rasa lapar yang dirasakannya kini bahkan mampu mengalahkan rasa penasarannya.

Tak sampai sepuluh menit, seluruh hidangan di atas nampan tersebut tandas tak bersisa. Bahkan tak setetes cokelat panas pun menggenang di dalam cangkir. Tanpa pertimbangan panjang, Dahui lantas menghubungi Bina yang ia yakini saat ini masih terlelap di atas tempat tidur tuan putrinya.

Panggilan pertama tak membuahkan hasil. Dahui tahu bahwa sahabatnya itu tak mudah terbangun kendati kau meniup terompet di samping telinganya. Panggilan kedua pula berakhir sama dan kini Dahui mulai merasakan darahnya yang mendidih di ubun-ubun kepala. Pada percobaan ketiga, saat di deringan kelima—nyaris terputus, Bina akhirnya mengangkat panggilannya.

“Halo?” sapa gadis itu parau.

“Kang Bina!” pekik Dahui, membuat orang di seberang sana terperanjat mendengar suara melengkingnya.

“Ya Tuhan, bisa kecilkan suaramu? Kau nyaris membuatku tuli! Lagipula jam berapa ini?” omelnya sambil sesekali berdeham untuk menjernihkan tenggorokan.

“Ini sudah jam setengah sembilan. Angkat bokongmu dari atas tempat tidur dan cuci muka. Dasar pemalas!”

“Ini hari Minggu, Shin Dahui.”

“Lalu?” tanyanya acuh tak acuh. “Well, lupakan saja. Aku ingin menanyakan sesuatu padamu.” Ia mulai membuka topik pokok. “Tentang semalam.”

Mendengar kalimat terakhirnya, sontak mata Bina terbuka sepenuhnya. Ia menegakkan tubuh dan kini memasang pendengaran dengan sangat baik. Gadis itu benar-benar lupa bahwa semalam Dahui sempat tak sadarkan diri.

“Bagaimana keadaanmu sekarang? Kau tidak sakit, ‘kan?” tanyanya cemas.

“Aku baik-baik saja. Hanya sedikit pening. Mungkin karena terkejut.”

“Oh, syukurlah,”

“Itu tidak penting. Sekarang ceritakan detilnya kepadaku. Siapa yang menolongku semalam? Kata Dana ia yang menggendongku?”

Bina terdiam selama beberapa saat, menggigit bibir bawah dan tengah berkontemplasi apakah ia harus memberitahukan peristiwa sebenarnya kepada Dahui.

“Bina? Kau masih di sana?”

Oh, terserahlah, janji adalah janji. Ia tetap harus mengatakannya.

“P-Park Chanyeol. Dia yang membawamu keluar dari rumah hantu dan menggendong hingga ke kamarmu.”

Napas Dahui tertangguh di tenggorokan. Ia tak dapat memercayai pendengarannya sendiri. Apakah ini bahkan nyata? Benarkah Park Chanyeol yang telah menolongnya? Sungguh, jika saja gadis itu tak teringat akan ibunya di luar sana, barangkali sekarang Dahui sudah melompat kegirangan dengan jeritan melengking. Ia terlampau gembira setelah mengetahui bahwa Chanyeol-lah yang menolongnya.

Tunggu, tapi dua pekan terakhir beban tubuh Dahui menanjak dua kilogram. Chanyeol pasti kesulitan saat menggendongnya kemarin. Apakah ia harus mentraktirnya minum jus di kafetaria sekolah untuk berterima kasih? Atau membuatkannya bekal makan siang? Oh, Dahui bahkan sudah dapat melihat masa depannya bersama Chanyeol nanti. Katakan ia seorang delusional, tapi apa yang dilakukan Chanyeol kemarin untuknya sudah terlampau banyak. Apakah lelaki itu mulai menunjukkan ketertarikan padanya?

“Ya Tuhan, Kang Bina! Apa yang harus kulakukan sekarang? Bantu aku memutuskan bagaimana caranya untuk mengatakan terima kasih padanya. Aku ingin—”

“Kututup dulu, Ibu memanggilku.” Sela Bina kemudian, lantas memutus sambungan.

Dahui menyatukan alis, namun sesaat kemudian senyum tolol kembali terkembang di wajahnya. Ini adalah hari terbaik dalam hidupnya.

 

X.x.X
 

Senin pagi—tak seperti Senin pekan lalu—tungkai Dahui melangkah lebar memasuki gerbang sekolah. Ia menyapa setiap murid yang berpapasan dengannya, bersikap seakan-akan mereka sudah saling mengenal sejak lama. Senyum tak henti-hentinya menggurat paras mungil Dahui. Bahkan beberapa murid sampai mengerutkan wajah, menganggap gadis itu tengah mengidap gangguan mental. Well, kabar mengenai peristiwa mengenaskan di toilet sekolah itu kini telah tersiar luas di penjuru sekolah. Kecurigaannya mengarah kepada Baekhyun lantaran kendati ia sudah melakukan hal tak senonoh di lingkungan sekolah, toh ia takkan mendapatkan masalah. Ia hanya mendaptkan teguran, namun tidak hukuman. Entah seberapa besar sebenarnya kekuasaan Keluarga Byun hingga pihak sekolah pun enggan berurusan dengan si Cabul Baekhyun.

Setibanya di kelas, manik Dahui lantas menemukan Bina yang tengah terduduk manis di bangkunya sembari membaca ulang buku catatan sejarahnya. Oh, ia bahkan lupa bahwa hari ini mereka akan menghadapi ulangan harian. Sial, Dahui sama sekali belum belajar. Jika ia sampai mendapatkan nilai di bawah tujuh dan diketahui oleh kedua orangtuanya, maka siap-siaplah mendapatkan penyiksaan selama tiga hari penuh. Well, tidak secara fisik, namun tentu Dahui tidak dapat hidup tanpa ponsel, komputer jinjing, dan uang saku.

Ia mendudukan diri di sisi Bina sembari mengempaskan tas ke atas meja, lantas mendekatkan wajah ke telinga gadis itu.

“Hei, beri aku contekan, ya?” bisiknya dengan mata menilik untuk memastikan tak ada satu murid pun yang mendengar permintaannya.

Bina mendelik sembari berdecak. “Tidak.” Tepisnya mentah-mentah.

Dahui mulai meringik. Ia memasang tampang memelas dan menyatukan kedua tangan di depan wajah, memohon agar Bina bersedia memberikannya contekan. Jika nilainya benar-benar jatuh di ulangan sejarah kali ini, maka ia takkan bisa memberikan sesuatu untuk Chanyeol sebagai ucapan terima kasih. Bukankah gadis itu harus mulai menabung dari sekarang? Setidaknya ia dapat mengumpulkan uang sampai pekan depan untuk mentraktirnya di sebuah restoran ternama.

“Ayolah, kau tega melihat sahabatmu ini menderita?” Dahui tidak menyerah.

“Shin Dahui, kau tahu bahwa hari ini akan ada ulangan.” Kini Bina memalingkan fokusnya dari buku untuk menatap lurus ke arah si Sahabat.

“Aku lupa, sungguh!”

“Aku tidak ingin mendapatkan hukuman lagi. Terakhir kali kupinjamkan PR padamu, kita harus menjalankan hukuman di gedung olah raga.”

“Kali ini tidak,”

“Oh, lupakan saja. Kau akan menyalin seluruh jawabanku dan aku yakin kita akan membersihkan toilet sekolah setelahnya.”

Dahui mendengus putus asa. Ia akhirnya memutuskan untuk mengeluarkan buku catatannya dan membaca setiap kata yang tercantum di dalam sana, berharap kapasitas pas-pasan di dalam kepalanya mampu menampung apa yang dibacanya dalam waktu singkat. Ia hanya memiliki waktu tujuh menit sebelum bel tanda pelajaran pertama dimulai.

“Kang Bina,” panggil Dahui kemudian setelah dua menit berjuang memusatkan konsentrasi pada buku di hadapannya dengan hasil nihil.

“Mm?” gumam Bina, tak tertarik.

“Kaupikir Chanyeol menyukaiku?” tanyanya tiba-tiba, di luar ekspektasi.

Napas Bina tercekat di tenggorokan. Ia sama sekali belum menyiapkan jawaban untuk pertanyaan Dahui. Tapi tentu kali ini ia tak dapat berkelit.

“Mana kutahu,” jawabnya sembari bergedik.

“Tapi dia sudah banyak membantuku dua hari yang lalu. Aku yakin ia sedikit tertarik padaku.”

Bina menghela napas keras dengan alis menyatu. “Jangan terlalu percaya diri. Barangkali ia menolong hanya karena merasa bersimpati padamu.”

“Jangan menghancurkan harapanku.”

“Well, aku hanya mencoba untuk realistis.”

“Aku tahu, tapi—”

Dahui tak sempat menuntaskan kalimat lantaran bel pelajaran pertama pun berdering. Ia terperanjat dan segera memanfaatkan waktu singkat yang tersisa sebelum Bu Yoo masuk ke kelas. Namun tentu ia tak mendapatkan apa-apa dalam keadaan panik seperti ini. Bahkan tak satu pun kata yang berhasil tergayut di kepalanya. Terlebih, waktu satu menit sama sekali tak cukup untuk membaca tiga lembar cacatan di bukunya. Otak pas-pasan Dahui tentu tak sanggup menerimanya.

Well, hasil yang ia dapatkan dua hari kemudian tentu tak jauh-jauh dari ekspektasi. Maniknya menatap kertas ulangan dengan bendungan tangis. Rasanya ia tak ingin kembali ke rumah dan menyembunyikan kertas tersebut dari kedua orangtuanya. Terlebih, kendati mereka tidak tahu bahwa Dahui memiliki ulangan harian beberapa hari lampau, namun entah bagaimana Dana selalu berhasil menemukan hasil ulangannya. Jika sudah demikian, maka Dahui tak punya pilihan lain selain menerima hukumannya.

“Aku harus memusnahkan kertas ini.” ujarnya di tengah-tengah serangan panik.

Bina menatap ke arahnya dengan kedua alis berjingkat tinggi. “Kau yakin?”

“Hanya ini satu-satunya cara. Aku sedang membutuhkan uang untuk mentraktir Chanyeol.”

“Kenapa mentraktirnya? Kau bahkan belum pernah mentraktirku selama kita berteman.” Protes Bina.

“Aku harus mengucapkan terima kasih, Kang Bina! Dan apa maksudmu bahwa aku tak pernah mentraktirmu? Lalu ketika kubelikan kau sebotol air saat kita mengikuti lari maraton itu apa?”

Bina memutar kedua bola mata, merasa percakapan mereka sama sekali tidak berbobot. Bagaimana mungkin ia menganggap itu sebuah traktiran? Bina tentu tahu bahwa status keluarganya jauh lebih tinggi dari Dahui dan uang sakunya pula lebih dari cukup. Tapi bukankah sudah sepantasnya sebagai seorang sahabat ia mentraktir Bina makan sesekali?

“Aku harus membuangnya.” Ujar Dahui lagi sembari menelengkan kepala ke kanan dan ke kiri. Ia kemudian berdiri dari duduknya dan berjalan keluar kelas diikuti oleh Bina.

Sekolah tampak begitu lengang setelah bel tanda berakhirnya pelajaran berbunyi lima belas menit yang lalu. Sementara Bina harus menemani Dahui dalam kepanikannya oleh karena hasil ulangan sejarah yang ia terima hari ini.

“Ini hanya akan menjadi rahasia kita, oke?”

“Bukankah kau yang selalu membongkar rahasia?” sindir Bina, teringat akan perihal perjodohannya yang dibeberkan kepada Baekhyun oleh Dahui.

Gadis itu berdeham kikuk lalu segera membuang bongkahan kertas ulangan ke dalam tempat sampah.

“Sudah kukatakan aku sangat menyesalinya, ‘kan?” ujarnya sembari memutar tumit dan melangkahkan kaki menuju gerbang sekolah.

“Ya, tentu saja.” jawab Bina acuh tak acuh.

Dahui hendak membalas

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
baeksena #1
Chapter 18: Udah setahun aja, kakak belum update lagi??
baeksena #2
Chapter 18: Masih setia nunggu ka??
baeksena #3
Chapter 18: Ayo ka,di lanjut???
baeksena #4
Baca ulang kak,soalnya lagi kangen sama cerita ini
little_petals
#5
Chapter 18: Level kedekatan BaekHui semakin uwuuuwww Tetap semangat lanjutinnya ya Thor, walaupun ngaret gpp deh
baeksena #6
Chapter 18: Semoga Makin deket aja,yuhuuuu
baeksena #7
Chapter 18: Seneng deh liat perkembangan hubungan baekhyun san dahui
baeksena #8
Chapter 18: Makasih kak,udah update
little_petals
#9
Chapter 16: Makin adem yak hubungan baekhui, bikin gemes :) Semangat kak ;)

Woww Selamat yaaaa yg udah engaged, semoga jadi keluarga yang bahagia dan damai kakak~ ?
baeksena #10
Chapter 17: Masih setia sama hindrance kak. Suka sama perkembangan hubungan Baekhyun dan Dahui