Chapter 9

Second Chance
Please Subscribe to read the full chapter

 

“Apa yang kau lakukan di sini?” tanyaku menyodorkan teh hangat yang kucampur dengan madu dan sedikit ginseng, setidaknya itu bisa menghangatkan tubuhnya yang entah berapa lama berada di teras rumahku.

“Liburan.” jawabnya meraih cangkir teh dan meminumnya beberapa teguk. “Thanks.”

Kutarik kursi lalu duduk berseberangan dengannya, jelas mengabaikan apa yang baru dikatakannya. “Bagaimana kau bisa sampai di sini? Maksudku tahu alamat rumahku.” tanyaku lagi. Aku tak bermaksud buruk, hanya ingin tahu. Karena aku sudah pindah dari alamat yang dulu diketahuinya.

“Aku pernah bertanya di mana kau mengajar, kan?” dia balik bertanya dan aku mengangguk. “Karena kau bilang ya, aku hanya perlu mencari alamat barumu. Kupikir pasti tak jauh jauh dari sekolah.”

“Tapi bagaimana caranya?”

“Aku pernah ke sekolahmu dan ya, bisa dibilang aku membuntutimu.”

Oh Tuhan... Dia benar benar nekat.

“Kenapa? Kau keberatan? Aku bisa pulang...”

“Tidak, bukan begitu.” selaku cepat. “Setidaknya kau memberitahuku dulu jadi aku bisa...” kalimatku terhenti begitu saja.

Jennie tersenyum tapi aku tahu itu palsu. “Aku merindukanmu.” tandasnya pelan memainkan cangkir di depannya.

“Jen...”

“Salah kalau aku masih merasakan itu?”

Sekarang aku benar benar menyesali keputusanku.

Harusnya aku tak memberi kesempatan pada kami.

Harusnya aku mendengarkan Wendy saat dia bilang jangan ketika aku menceritakan tentang keinginanku menjalin hubungan baik dengan seseorang yang pernah mengisi hidupku di masa lalu. Karena ucapannya ada benarnya. Beberapa orang justru kembali terjebak dalam masa lalunya.

Aku menggeleng. “Tidak. Tidak sama sekali.”

Jennie tersenyum.

Senyum yang membuatku membenci diriku sendiri.

 

***

 

Kubuka pelan mataku mendengar suara ketukan di pintu kamar. Kepalaku sakit karena kurang tidur. Benar aku dan Jennie tak banyak bicara tadi malam, tapi berada satu atap dengannya membuatku gelisah. Pikiranku berkecamuk sehingga aku tak bisa tidur. Baru sekitar pukul setengah 3 mataku terlelap. Itupun karena otakku lelah berpikir.

Dengan berat kuturunkan kakiku ke lantai lalu berjalan ke arah pintu dan membukanya sedikit. “Kenapa, Jen?”

“Boleh aku memakai dapurmu? Aku lapar.” dia tersenyum.

Harus dia memberiku ekspresi menggemaskan itu sepagi ini? Aku mengangguk. “Anggap saja dapurmu sendiri.” sahutku. “Maaf aku tak bisa menemanimu. Kepalaku sakit.”

Jennie mengamatiku. Dia terlihat cemas namun tak menanyakan pertanyaan tak bermutu seperti apa aku baik baik saja karena jawabannya akan sangat jelas, aku tak baik baik saja. Dia hanya tersenyum tipis sebelum berbalik menuju dapur.

Kututup kembali pintu kamar dan bersandar di sana sambil memijat keningku. Aku menarik napas dalam lantas kembali ke ranjang, berniat untuk tidur kembali. Sayangnya ponselku melarangku melakukan itu. Aku bergeser ke sofa, mengambil ponselku dan berbaring di sana sebelum menerima panggilan itu.

“Halo.”

“Hai.”

“Kenapa, Seul?”

“Wae? Tak boleh aku merindukanmu?”

Kupejamkan mataku, menikmati rasa sakit yang mulai menjalar ke hatiku. “Seul.”

“Apa?”

Kugigit bibirku. Aku ingin jujur padanya, ingin sekali, tapi rasa takut itu masih begitu besar. Bahkan aku takut mengatakan kalau aku mengizinkan Jennie menginap. Apa yang harus kulakukan sekarang? Aku tak bisa menyembunyikan hal ini lebih lama. Lebih baik Seulgi tahu dariku ketimbang dari orang lain. Tapi bagaimana aku mengatakannya?

“Hyun? Kau baik baik saja?”

Aku menggeleng seolah Seulgi bisa melihatku. “Tentu.” jawabku pelan. “Hanya merindukanmu.” lanjutku. Tak sepenuhnya jujur tapi tak juga berbohong karena memang aku merindukannya.

“Kau sakit? Sepagi ini sudah sangat manis.” Seulgi terkekeh.

“Diam sebelum telponnya kumatikan.” gerutuku.

Kekehannya berubah menjadi tawa. “Itu baru Joohyun yang kukenal.”

Bisa kubayangkan wajah tengilnya saat mengatakan itu.

“Hanya ingin mengatakan kalau Ratu Inggris mengundangmu makan malam.”

“Ibumu?” tanyaku menyakinkan.

“Siapa lagi.”

“Ibumu tak berniat memutilasiku dan menghidangkannya jadi makan malam kalian, kan?”

Seulgi terbahak. “Kau ini. Sudah kubilang ibuku menyukaimu. Cuma memang tampilan luarnya menyebalkan. Percaya padaku, dia sangat menyukaimu.”

Sebenarnya aku juga tak sungguh sungguh mengatakan itu. Aku tahu ibunya baik. Karena setelah adegan Samgyetang itu, sikapnya jauh lebih lembut setiap kali aku datang. Walaupun ya, mulutnya memang minta diplester. Sinis dan tanpa basa basi. “Kapan?”

“Besok malam.”

“Akan kuusahakan.”

“Jangan diusahakan, tapi kau harus, tidak, wajib datang.”

“Bisa tidak sekali saja kau tak memaksa? Pantas saja kau begitu membela ibumu. Kalian sama persis.” aku mendengus.

Lagi lagi Seulgi terbahak namun tak memperpanjang topik karena dia tahu hal itu tak akan ada habisnya. “Ya sudah, masih ada yang harus kukerjakan sebelum membangunkan kedua bocah pemalas itu.”

“Seul, hari ini aku berangkat bersama Wendy.”

“Oke. Hati hatilah di jalan.”

“Hm, kau juga.”

Kujatuhkan ponselku di lantai lalu memukul mukul dahiku, berharap sakitnya berkurang. Kutarik napas dalam dan menghembuskannya pelan sambil menutup mata. Kulakukan hal itu beberapa kali, setidaknya sampai gemuruh di dadaku mereda.

“Hyun?”

Aku menoleh ke arah pintu dan kudapati kepala Jennie menyembul di baliknya. “Ya, Jen?”

“Boleh masuk?”

Aku mengangguk sembari membawa tubuhku untuk duduk. “Wae?”

“Kau punya minyak lavender, kan?”

Aku mengangguk. “Wae?”

“Di mana?”

Kubuka laci meja di samping sofa dan mengambil yang dicarinya. “Ini.”

Jennie mengambil botol itu dari tanganku lalu menyuruhku bersandar di sofa. Aku tak mengerti apa yang ingin dilakukannya tapi tak membantah karena aku sudah tak punya tenaga untuk melawan. Dia naik ke ranjang dan duduk bersila di belakang sofa, tepat di belakang kepalaku.

Wangi minyak aromaterapi itu langsung menusuk hidungku saat penutupnya dibuka. Aku sedikit merutuk karena lupa kalau minyak itu bisa membantu meringankan sakitku sekarang. Kupejamkan mata saat jemari Jennie mengoleskan cairan itu di dekat telingaku, memberikan pijatan lembut di sana hingga kening. Tak hanya itu, dia juga memijat bagian bawah telingaku, turun menuju leher hingga bahu. Rasanya benar benar nyaman.

“Jam berapa biasanya kau berangkat mengajar?”

“Nanti setengah 7.”

Jennie tak lagi bertanya lagi setelahnya. Dia melanjutkan pijatan tanpa bicara sementara aku hanya menikmati pertolongan dadakan yang diberikannya hingga sakitnya berkurang dan kepalaku tak lagi terasa berat.

“Merasa lebih baik?”

“Thank you.” balasku membuka mata.

Jennie menatapku sambil tersenyum hangat. Tangannya masih mengusap rahangku yang membuatku sedikit tebuai. “Hyun.”

“Hm?”

“Kau bahagia sekarang?”

Aku tak menjawabnya dan lebih memilih diam karena apapun jawabanku, semuanya akan terdengar salah.

“Boleh aku minta sesuatu?”

“Apa?” tanyaku dan kurasakan jemarinya mengusap bibirku, membuatku seketika gugup.

Jennie tersenyum tipis namun aku merasa ada yang janggal di sana. Tatapan matanya yang tak senada dengan senyum itu membuatku membatu, teringat akan ucapan Jeno.

Sekarang aku sadar, dia melarangku berhubungan dengan Jennie bukan karena dia membenci Jennie seperti yang kupikirkan selama ini. Tapi karena dia tahu aku belum siap dengan semua ini.

Kenapa semua orang seolah lebih mengerti aku ketimbang diriku sendiri?

 

 

 

 

Malam itu, Jeno datang ke rumahku. Aku tak tahu dalam rangka apa tapi aku sedang tak ingin bertemu dengannya. Aku merasa kacau dan sendiri adalah hal yang paling kubutuhkan saat ini. Tapi rupanya dia punya insting yang sangat baik karena dia menggedor pintu kamarku seperti orang gila yang membuatku mau tak mau harus berhadapan dengannya.

“Kenapa matamu?”

Aku hanya membuang muka sebelum menjauh darinya.

“Apa yang laki laki itu lakukan padamu? Biar kupatahkan lehernya.”

Mataku panas. “Berhenti mencampuri urusanku.”

Jeno mendengus. “Akan kulakukan kalau kau bisa memutus hubungan darah kita.”

Untuk hal ini, kuakui Jeno memang tempat yang nyaman untuk bersandar. Respon bar barnya membuatku merasa begitu terlindungi. Tapi aku sedang tak menginginkan hal itu. Karena aku tak sedang berlindung dari orang lain, tapi berlindung dari diriku sendiri. “Kenapa kau kemari?”

“Karena perasaanku tak nyaman sejak kemarin.” sahutnya gusar. “Damn it!” rutuknya geram.

Aku berbalik ke arahnya dan bisa kulihat kegusaran di wajahnya. “Apa kau mencintaiku?”

“Tidak sama sekali.” jawabnya cepat, secepat gerakannya ketika dia mendekat dan memelukku.

Aku jarang menangis. Kalaupun iya, aku tak ingin melakukannya di depan siapapun selain keluargaku. Aku tak suka dianggap lemah. Tapi tadi pagi, aku memperlihatkannya pada Jennie. Tak ada alasan aku harus menyembunyikannya dari Jeno. Lagipula aku membutuhkan itu untuk meringankan beban di hatiku yang seharian ini mengacaukan semua kegiatan mengajarku.

Dan itulah yang kulakukan. Kuremas kasar baju Jeno dan membiarkan air mataku mengalir. Aku sudah tak sanggup lagi menahannya. Sama seperti aku tak sanggup menahan perasaan bersalah yang mengalir di setiap pembuluh darahku.

Aku menyesal.

Sangat menyesal.

Untuk yang kesekian kalinya.

“Darimana dia tahu kau tinggal di sini?” tanya Jeno mengusap lenganku ketika aku sudah mulai tenang. Dia membantuku duduk di sofa sementara Jeno duduk bersila di lantai menghadap padaku.

“Aku pernah bilang di mana aku mengajar dan dia mendatangi sekolahku. Entah bagaimana dia mendapatkan alamatku.”

Jeno terlihat kecewa namun tak menyalahkanku karena tak menggubris ucapannya beberapa hari yang lalu. Dia hanya menatapku sambil menggenggam erat tanganku.

“Maaf.”

“Tak perlu. Tak ada gunanya karena semua sudah terjadi.” dia menggenggam tanganku. “Boleh aku bertanya? Tapi kuharap kau jujur karena aku tak akan bertanya lagi setelah ini.”

Kalimat itu sudah cukup membuat nyaliku menciut. “Apa?”

Dia menarik napas dalam sebelum membuka suara. “Kau pernah tidur dengannya?”

Wajar dia bertanya karena selama ini tak pernah ada penjelasan pasti dariku sejauh apa hubunganku dan Jennie. Mereka pernah bertanya tapi aku selalu berkelit karena aku belum siap untuk sepenuhnya jujur.

“Joohyun.” Jeno menatapku penuh harap namun aku tetap bungkam, membuatnya menjatuhkan dahinya di pangkuanku.

Kuletakkan sebelah telapak tanganku di kepalanya dan mengusapnya pelan. “Tidak.”

Wajah Jeno terangkat. Dia menatapku, mencari kejujuran dalam ucapanku.

“Kami memang pernah...” rasanya aku tak sanggup mengatakan apa saja yang pernah kulakukan bersama Jennie. Semua cumbuan itu, aku tak bisa memaparkannya. “Tapi aku bersumpah tak pernah tidur dengannya.” suaraku sedikit bergetar. “Aku kotor, ya, tapi aku belum sebodoh itu untuk...”

“Kau masih takut.” Jeno memotong ucapanku. “Seandainya Appa tak memergokimu, aku berani bertaruh tak ada lagi hal baik yang tersisa darimu.”

Please Subscribe to read the full chapter

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
hi_uuji
#1
Chapter 18: Smile from ear to ear 😭💖😬 GEMASSSS bakal gamon sih sama kekacauan Jeno Jaehyun 😖😖😖 thanks a lot for this heart warning work!
hi_uuji
#2
Chapter 15: AAAAAAAAA GUXHFJDUGGSTSGUC
hi_uuji
#3
Chapter 9: Sumpah ini udah kacau sih 😬😬
ephemeral24_ #4
Chapter 18: mantap ini cerita kedua yg aku baca👍🏻🤩
Boywithluv_ #5
Chapter 18: Gila ini keren bget ?
jasonds #6
Chapter 18: Nice Store banget
Jiyeonnie13
#7
Chapter 18: lanjut ke berumah tangga, maybe? :D
need sequel authornim
Brewingthebear
#8
Chapter 18: Huwaaaa~ udahan story nya... akirnya mereka bersatu di pelaminan xD ada lanjutanya lg ga nih thor???
royalfamily31 #9
Chapter 18: Akhirnyaaaaa happy ever after.. uwuuuu
Thx banget author nim udah nulis cerita serealistis ini. Semua karya author cucok semua, mantuull..

Aku suka banget karakter seulrene disini, terutama irene. Karakter irene buat aku karakter yg realistis banget, agak drama memang, tp ya itulah hidup. Kita cuma bisa melihat dari sudut pandang kita dgn berbagai kerumitan dan konflik batin.

Thx u authornim, ku selalu menunggu update terbarumu hehe.. *genben seulrene lg pleaaseee
JungHi0225 #10
Chapter 18: Ohmygod gw bahagia bgt bacanya. Rasanya nano2 chap trakhir ini. Sedih, seneng, bangga jd satu. Thx u thor udh bikin cerita indah yg selalu gw tunggu. Mdh2n ada sequel stlh menikah. Ngelunjak bgt gw wkwkwk