Chapter 15

Second Chance
Please Subscribe to read the full chapter

Semoga jangan pada bosan karena keseringan update akhir akhir ini.

 

Sibuk.

Sibuk.

Dan sibuk.

Sepertinya itu kata favorit Seulgi belakangan ini karena setiap kali aku bertanya apa yang sedang dilakukannya sehingga saat aku mengajaknya jalan atau setidaknya bertemu, dia selalu menjawabnya dengan kata sibuk. Selalu jawaban itu yang diberikannya. Entah apa yang dikerjakannya karena dia tak pernah memberiku jawaban pasti. Dia hanya bilang sibuk, ada kerjaan yang mendesak yang tak bisa ditunda apalagi ditinggalkan.

Memangnya apa yang dikerjakannya selama 2 minggu ini? Biasanya kami masih bertemu saat dia mengantar dan menjemputku, tapi kali ini tidak sama sekali. Selama 2 minggu penuh aku hanya bisa bicara atau melihatnya lewat video call.

Kang Seulgi sialan.

Sebelum ini dia bisa membatalkan janji atau menolak ajakan rekan rekannya hanya agar bisa bersama denganku, tapi kenapa sekarang berbeda. Saat aku bertanya pada Hyuk, anak itu juga hanya menjawab tak tahu sambil menggoyangkan bahu dengan santainya.

Aku hampir melempar ponsel di genggamanku ketika lagi lagi sebuah pesan balasan ‘ada yang harus kukerjakan’ dari Seulgi muncul di layar. Dengan kesal aku mengetik kalimat makian sebagai balasan jawaban sibuknya.

‘BRENGSEK KAU, KANG SEULGI!!!’

Bukan aku ingin dia lebih mementingkanku daripada yang lain, tapi setidaknya kami bisa bertemu sekali saja. Otakku mulai berpikir yang tidak tidak karena aku mulai merasa dia sengaja menghindariku.

Kuhempaskan tubuhku di ranjang, masih dengan rasa kesal sekaligus frustasi dengan perilakunya. Seandainya dia bilang dengan jujur dan tak hanya aku-sedang-sibuk, mungkin aku bisa mengerti. Tapi dia bahkan tak bisa memberiku detail apa yang sedang dikerjakannya.

Tak lama ponselku berbunyi. Aku melirik sekilas dan kulihat wajahnya di layar. Sisi angkuhku menolak menerima panggilan itu tapi sebagian diriku yang lain juga tak sabar ingin mendengar suaranya. Oh God, Seulgi sialan, sekalipun kesal aku tak bisa menampik kalau aku benar benar merindukannya. Rasanya aku hampir gila karena pria ini.

“Apa?!” sapaku ketus.

Dan bagaimana responnya? Dia malah tertawa. “Marah?”

“Jangan menanyakan sesuatu yang sudah pasti.”

Lagi lagi dia tertawa, seolah aku sedang melawak di hadapannya. “Buka pintunya.”

Aku telonjak bangun, bergegas menuju pintu depan dan membukanya namun tak menemukan siapa siapa. Kupandangi gambar kontaknya di layar. “Yah! Berani beraninya kau membohongiku!”

“Kau benar benar membuka pintu?” tanyanya tergelak.

“Tidak lucu!” aku merengut, entah untuk siapa, lantas membanting pintu.

“Hei, jangan marah.” ucapnya setelah tawanya berhenti. “Aku merindukanmu.”

“Rubbish.” sahutku menghela napas pelan sambil bersandar di sofa.

Kuusap kasar wajahku. Pada akhirnya pidato kekesalan yang sudah kusiapkan berhari hari tak berguna sama sekali hanya karena 2 kata menyebalkan dari mulut manisnya itu, karena aku malah membalasnya dengan kalimat aku juga merindukanmu. Apa yang sudah dilakukannya padaku hingga aku jadi selemah ini?

“Kali ini serius, buka pintunya.”

Dari suaranya aku tak mendengar nada candaan sehingga aku menurut saja. Aku berdiri, menyibak tirai dan benar saja, kulihat dia berdiri di teras rumahku. Kubuka pelan pintu rumahku lalu mematikan telpon dan semua kekesalanku lenyap tak tersisa hanya karena sebuah senyum di bibirnya. Senyum yang membuat wajah lelahnya terlihat sedikit lebih berseri.

“Hai, Miss Bae. Ada orderan teokbokki untukmu.” dia menyodorkan sebuah bungkusan plastik padaku.

“Dari siapa?” tanyaku mengambil bungkusan itu dari tangannya.

“Dari Kang Seulgi.”

“Oh.” balasku mengulum senyum, yang membuatku merutuki diri sendiri. “Boleh aku menitipkan sesuatu sebagai ucapan terimakasih untuknya melewatimu?”

“Tentu.”

“Kalau begitu masuklah.” tawarku masuk terlebih dulu untuk meletakkan bungkusan plastik di meja tamu sebelum berbalik pada Seulgi yang baru menutup pintu.

Seulgi masih tersenyum ketika aku berdiri di hadapannya. Kusentuh wajahnya, menariknya padaku dan menautkan bibir kami. Sesak di dadaku hilang begitu saja setelah bisa merasakannya di dekatku, terlebih saat dia memelukku erat dan balas menciumku. Rasanya seperti beban berat yang kusandang akhirnya terangkat dari bahuku setelah aku bisa menyentuhnya.

“Kau keterlaluan.” bisikku dengan napas sedikit memburu.

“Kau bilang ingin kapal pesiar, kan?” Seulgi menangkup wajahku.

“Sebenarnya apa yang sedang kau lakukan?”

Dia mengecup singkat keningku lalu mengajakku duduk di sofa. “Ada sebuah rumah yang sangat kuinginkan, tapi pemiliknya tak mau menjual. Aku sudah berusaha meyakinkan berkali kali kalau aku akan merawat rumah itu baik baik. Tapi si pemilik keras kepala jadi aku terus berusaha meyakinkannya.”

“Kau sudah punya rumah, untuk apa membeli lagi.”

“Rumah yang ini beda.” dia tersenyum sambil mengusap tanganku. “Rumahnya sederhana tapi halamannya benar benar luas. Kau bisa membuat lapangan bola, tenis, bahkan kau bisa memindahkan bangunan besar apapun ke sana.”

Alisku mengernyit. Jelas bingung dengan penjabaran yang diberikannya. Dan yang lebih membuat bingung, karena aku tak bisa membaca dia sedang berkata jujur atau sedang membual. Yang dikatakannya benar benar tak masuk akal tapi kenapa aku tak bisa meraskan kebohongan dari ucapannya. Apa karena dia menceritakannya dengan begitu antusias? Entahlah. Benar benar aneh.

“Aku benar benar ingin mendapatkan rumah itu.”

Kutatap matanya dan memang tak terlihat kebohongan di sana. “Lalu sekarang sudah dapat?”

“Hampir.” jawabnya mantap. “Si pemilik sudah mau memberikannya padaku.”

Aku hanya mengangguk pelan. Masih belum benar benar bisa memahami apa yang ada di kepalanya. “Artinya kau sudah tak sibuk lagi?”

“Tentu saja masih. Masih banyak yang harus kukerjakan untuk memperindah rumah itu.”

Wajahku langsung merengut. “Berapa lama lagi?”

“Mungkin setengah tahun?” jawabnya terlihat ragu.

“What? Yah! Lama sekali!” protesku.

“Kan biar rumahnya bisa ditinggali, Sayang.”

“Tapi setengah tahun terlalu lama, Seul. Bisa bisa aku jadi fosil karena merindukanmu.”

Dia tergelak. “Jadi fosil apa? Kau ini ada ada saja. Kadang perumpamaan yang kau gunakan benar benar aneh.”

“Tapi serius, 2 minggu ini aku merasa benar benar kesal karena kau terus sibuk. Masa aku harus mengalami ini setengah tahun lagi. Kau mau aku jadi biksu karena tak punya napsu lagi untuk urusan cinta?”

“Aish kau ini.” Seulgi menjepit hidungku. “Aku masih sibuk, tapi sudah tak perlu pergi jauh lagi karena...”

“Jauh? Untuk apa kau membeli rumah yang jauh dari sini?” aku langsung memotong ucapannya.

Seulgi langsung terdiam dan terlihat sedikit gugup. “Uuh, ya karena aku suka rumahnya.”

“Kau benar benar mencurigakan, Kang Seulgi.” tatapku penuh selidik.

“Mencurigakan apa? Aku tidak melakukan apapun yang membuatmu harus curiga.”

“Kau selingkuh?!” tuduhku dan langsung memukulinya.

“What? Ow, sakit, Hon. Aku tidak selingkuh. Ouch! Honey, stop. Ow! Honey, stop, dengar dulu!” pekiknya memegang kedua pergelangan tanganku. “Astaga, kau belajar Muay Thai selama 2 minggu ini? Badanku rasanya remuk. Ya Tuhan, sakit sekali.” Seulgi meringis mengusap usap lengan dan dadanya.

“Jangan salahkan aku. Kelakuanmu sendiri yang mencurigakan.” aku membela diri.

“Bagaimana bisa aku selingkuh kalau aku begitu mencintaimu seperti ini...” dia melepaskan tanganku lantas memelukku, menyandarkan wajahnya di leherku.

Sepi. Kami berdua terdiam untuk beberapa saat.

“Sorry, aku hanya kesal padamu.” ucapku memecah kesunyian sambil mengusap kepalanya. “Hei, aku tak melihat mobilmu.”

“Kusuruh supir parkir di depan rumah Wendy.”

“Wae?”

“Biar tidak ketahuan, memangnya apa lagi.” jawabnya sedikit menggerutu.

Aku ingin tertawa namun kutahan, tak ingin membuatnya tambah gusar. “Karena ingin memberiku kejutan?”

“Hm.”

“Kalau begitu selamat, kau berhasil karena aku benar benar terkejut.” ucapku mencium keningnya. “Thank you, Honey.”

Seulgi mengangkat wajahnya dengan senyum bercampur seringai di bibir.

“Tapi sebaiknya kau pulang dan istirahat. Sudah terlalu larut.”

“Tak bisa aku menginap di sini saja?”

Kukecup bibirnya. “Tidak bisa.”

Bibirnya mengerucut kecil, membuat wajahnya jadi menggemaskan.

“Kemari.” kutarik wajahnya, kembali menyatukan bibir kami.

Kuusap tengkuknya sementara bibir kami saling melumat dan menyesap. Kugigit kecil bibirnya dan detik berikutnya kurasakan lidahnya di bibirku yang sontak membuatku terkejut dan menarik diri. Belum usai rasa terkejutku, Seulgi kembali menciumku. Aku mendesis ketika dia menghisap bibir bawahku dan tak lama kurasakan lidahnya menyentuh lidahku. Desahan pelan meluncur dariku ketika lidahnya menjamah liar mulutku sebelum kuhentikan aksinya dengan meletakkan jemariku di antara bibir kami.

“Wae?” tanya Seulgi dengan napas memburu.

“Geli.”

Seulgi tersenyum. “Tidak suka?”

Aku menggeleng. Ciumannya adalah favoritku, seperti apapun bentuknya selama dia tak memaksa. ”Suka.”

Seulgi tertawa pelan. “Ya sudah, aku pulang dulu.” dia mengecup keningku. “Aku mencintaimu.”

“Aku juga mencintaimu.”

 

***

 

“Wendy!”

Sudah 3 kali aku berteriak memanggil nama itu namun Wendy tak kunjung membukakan pintu rumahnya. Kuputar gagang pintu, tak terkunci. Ini memang bukan hal yang benar, tapi aku cemas juga karena suara teriakanku cukup keras namun Wendy tak kunjung keluar. Akhirnya aku masuk tanpa izin. Tak mungkin dia tak ada di rumah karena pintunya saja tidak terkunci.

Kulayangkan pandanganku ke sekeliling namun anak itu masih tak terlihat. “Wen?” panggilku. “Son Wendy, kau di mana?”

Samar kudengar suara sahutan yang entah dari mana. “Unnie, aku di sini.”

Di sini? Dia pikir aku pesulap yang bisa langsung mengerti arti kata di sini? “Di sini di mana.?”

“Di kamar mandi kamarku.”

Suaranya yang terdengar tak bersemangat membuatku segera menghambur ke ruangan itu. Cemasku bertambah saat melihatnya berdiri dengan wajah pucat di depan wastafel.

“Astaga, Wen, kau ini kenapa?” tanyaku mendekat dan membantu memapahnya keluar dari kamar mandi. “Kau sakit? Kenapa tidak menelponku.” gerutuku membantunya duduk di ranjang.

Wendy hanya menggeleng lemah.

“Sebentar kuambilkan air hangat.” aku segera ke dapur untuk mengambilkan air minum hangat untuk Wendy dan kembali ke kamar secepat yang kubisa. Sekembalinya dari dapur, kulihat Wendy sudah berbaring di ranjang. “Hei, minumlah.”

“Thank you.” lirihnya.

Aku membantunya bangun dan dibuat takjub melihat gelas minum langsung tandas hanya dalam beberapa teguk. Dia kehausan dan dehidrasi hingga jadi lemas begini atau bagaimana? “Kau sakit?”

Wendy kembali menggeleng lemah.

“Lantas kenapa wajahmu pucat begini?” tanyaku semakin cemas. Sekali lagi dia menjawab pertanyaanku dengan gelengan kepala, kupastikan aku akan menyeret paksa bokongnya ke rumah sakit.

“Morning sick.” jawabnya sedikit merona.

Oh. Aku mengangguk pelan sambil mengusap lengannya. Morning sick rupanya.

Morning sick? Oh!

Oh My God...

“K-kau ha-hamil?” astaga, kenapa aku terbata begini. Wendy sudah menikah, wajar kalau dia hamil. “Oh God, selamat, Wen!” aku memekik histeris seraya merangkulnya yang membuat Wendy memukul lenganku.

“Unnie! Aku masih pusing.” protesnya dan spontan aku melepaskan rangkulanku.

“Sorry.” cengirku lebar. Entah kenapa jadi aku yang begitu bersemangat mendengar kehamilannya. Bisa jadi karena aku tahu seperti apa usaha Wendy dan suaminya untuk mendapatkan bayi itu. “Sudah berapa minggu?”

“Baru masuk minggu ke 4.” jawab Wendy. Meskipun terlihat lemah dan pucat, namun tak bisa menutupi binar di wajahnya.

Kuusap lengannya. “Pantas Ahjussi sudah jarang pulang malam.”

“Hm. Sekalian patroli ke rumah sebelah.”

Aku langsung meringis mendengar nada sinisnya. Pantas saja dia agak berubah belakangan ini. Sedikit ketus dan agak mengerikan kalau bicara. Tanpa basa basi. “Sebenarnya tak perlu...”

“Aku tak ingin anakku seumuran anak kalian.” semprotnya galak.

Sialan. Apa aku terlihat seperti maniak yang selalu berusaha menjadikan Seulgi bahan eksperimenku di ranjang? Tega sekali mereka menuduhku begitu. Aku langsung menghela napas panjang. “Iya, Umma, iya. Aku mengerti.” sahutku pasrah. “Kenapa aku merasa kau agak sadis...”

“Kau bilang apa?”

Wow. Aku merasa seperti melihat adegan saudara Wendy, Son Goku, berubah wujud menjadi super seiya. Mereka sangat mirip. “Tidak, bukan apa apa. Sebaiknya kau istirahat sekarang.”

Syukurnya Wendy menurut dan langsung berbaring. Kutarik selimut hingga bahunya sambil mengurut dada dan berdoa semoga suatu hari nanti kalau aku diberi kesempatan hamil, aku tak perlu segalak teman temanku karena aku ingat betul seperti apa Yongsun saat dia hamil. Benar benar mengerikan. Moodnya seperti air tumpah di lantai, menjalar tak jelas kemana mana.

“Unnie.”

“Hm?”

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
hi_uuji
#1
Chapter 18: Smile from ear to ear 😭💖😬 GEMASSSS bakal gamon sih sama kekacauan Jeno Jaehyun 😖😖😖 thanks a lot for this heart warning work!
hi_uuji
#2
Chapter 15: AAAAAAAAA GUXHFJDUGGSTSGUC
hi_uuji
#3
Chapter 9: Sumpah ini udah kacau sih 😬😬
ephemeral24_ #4
Chapter 18: mantap ini cerita kedua yg aku baca👍🏻🤩
Boywithluv_ #5
Chapter 18: Gila ini keren bget ?
jasonds #6
Chapter 18: Nice Store banget
Jiyeonnie13
#7
Chapter 18: lanjut ke berumah tangga, maybe? :D
need sequel authornim
Brewingthebear
#8
Chapter 18: Huwaaaa~ udahan story nya... akirnya mereka bersatu di pelaminan xD ada lanjutanya lg ga nih thor???
royalfamily31 #9
Chapter 18: Akhirnyaaaaa happy ever after.. uwuuuu
Thx banget author nim udah nulis cerita serealistis ini. Semua karya author cucok semua, mantuull..

Aku suka banget karakter seulrene disini, terutama irene. Karakter irene buat aku karakter yg realistis banget, agak drama memang, tp ya itulah hidup. Kita cuma bisa melihat dari sudut pandang kita dgn berbagai kerumitan dan konflik batin.

Thx u authornim, ku selalu menunggu update terbarumu hehe.. *genben seulrene lg pleaaseee
JungHi0225 #10
Chapter 18: Ohmygod gw bahagia bgt bacanya. Rasanya nano2 chap trakhir ini. Sedih, seneng, bangga jd satu. Thx u thor udh bikin cerita indah yg selalu gw tunggu. Mdh2n ada sequel stlh menikah. Ngelunjak bgt gw wkwkwk