Chapter 13

Second Chance
Please Subscribe to read the full chapter

Semoga belum ada yang bosan cerita ini yang makin hari makin nggak jelas ini.

Short update aja ya biar nggak penasaran karena chapter sebelumnya. Mohon dimaklumi karena agak sibuk beberapa hari ini padahal sudah niat mau cepet2 kelarin. Kalau ada typo dan keanehan lainnya, komen aja. Kapan2 saya benerin. Hahaha

 

“Pantas kau tidak mengangkat telponku. Rupanya sedang ada tamu.” celetuk Seulgi setelah bergabung di teras bersamaku dan Jennie.

What? Kebingunganku melihatnya di depan rumahku saja belum hilang dan Seulgi malah menambahnya dengan ucapan seperti itu. Telpon apa? Sebenarnya mau apa dia ke rumahku? Apa mereka berdua janjian untuk mengerjaiku? Karena kalau iya, usaha mereka sukses besar. Rasanya aku ingin berterimakasih atas kejutan yang mereka berikan. Dan mungkin sebagai ucapan terimakasih, dengan senang hati aku undur diri, siapa tahu mereka bisa lebih akrab setelahnya.

“Sudah siap? Kalau ya, lebih baik kita berangkat sekarang.” Seulgi menambahkan karena aku tak kujung merespon ucapannya. Dan kebingunganku seakan tak ada habisnya ketika Seulgi menoleh pada Jennie dan tersenyum tipis seraya menyapanya yang membuat jantungku berdetak tak karuan. “Senang bertemu denganmu lagi, Miss Kim.” ucapnya dan Jennie hanya tersenyum seadanya.

Sialan. Jadi mereka saling kenal? Pantas saja bisa datang bersama sama. Manis sekali mereka. Tapi kalau ini salah satu cara mereka membalas apa yang sudah kulakukan, silakan saja karena aku tak peduli sama sekali.

“Sorry, Miss Jennie, kami harus pergi.” Seulgi menatapku.

Aku tak tahu ini hanya sandiwara atau sungguhan, tapi akan lebih baik kalau aku menurut saja pada Seulgi dan segera menjauh dari adegan memuakkan ini. “Sebentar.” aku masuk untuk mengambil ponsel dan mantel sebelum kembali ke depan dan mengunci pintu.

“Maaf sekali lagi.” Seulgi membungkuk pelan sebelum menarik tanganku menuju mobilnya.

Entah kemana Seulgi mengajakku karena setelah masuk ke mobil, kami tak bicara sepatah katapun meskipun ada yang ingin kutanyakan. Dari mana dia mengenal Jennie? Apa dia tahu kalau Jennie orangnya? Apa mereka sudah ngobrol? Apa Jennie sudah mengatakan semua yang terjadi di antara kami? Oh God, aku begitu penasaran. Meski begitu, meski aku menanyakan semua itu padanya, jawabannya sudah tak penting lagi karena, yeah, kami sudah putus. Semua tak akan ada gunanya. Tak penting dari mana mereka kenal atau Seulgi tahu tentangku dan Jennie karena semua itu tak akan mengembalikan hubungan kami yang sudah patah.

“Dia wanita yang kutemui di depan rumahmu malam itu.”

Oh.

“Lucu mengingat kau sudah bersamaku tapi masih bertemu dengannya. Malam malam pula.”

Aku hampir berdecak mendengar ucapannya. “So? Apa salahnya seorang teman datang ke rumahmu malam malam.” sahutku tanpa melihat ke arahnya.

Meskipun kami sudah putus, tapi kenapa masih terasa sakit dituduh seperti itu? Kenapa dia harus datang? Kenapa harus membawaku pergi tak jelas arah tujuannya begini kalau hanya untuk menumpahkan emosinya padaku?

“Oke, teman. Tapi kau yakin kalian hanya teman? Yakin seorang mantan yang sekarang berstatus teman itu datang ke rumahmu malam malam tak punya niat lain? Yakin kau bisa menganggapnya benar benar seperti teman? Kau yakin dia hanya menganggapmu teman dan tak mengiginkan timbal balik apapun darimu?”

Akhirnya aku memandangnya. “Kenapa aku harus menjawabnya? Lagipula kau tak pernah percaya padaku jadi untuk apa bertanya?” aku membuang muka. Sial. Kenapa harus sesakit ini. “Turunkan saja aku di sini, aku masih bisa pulang sendiri.” terus bersamanya hanya akan membuat hatiku bertambah sakit.

Seulgi diam sejenak. “Jangan terlalu naif terlebih terlalu baik. Karena status mantan tak pernah sesederhana itu, Joohyun.”

Dan emosiku tersulut hingga membakar sekujur tubuh. “Sebenarnya apa maumu?! Aku sudah cukup sakit setelah kau memutuu, masih belum puas?”

Tumpahan emosi membuat mataku mulai berkaca kaca. Apa rasa sakit yang kurasakan masih belum cukup untuk semua orang? Atau memang mereka semua ingin aku mati jadi mereka bisa puas?

“Kau tak pernah bertanya sebelum ini. Kau langsung menilaiku buruk tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kau menghakimiku, menghukumku hanya karena menurutmu aku bersalah.” aku menengadah, menahan sebisanya agar tak menumpahkan air mata di depannya. “Dan sekarang kau mengatakan hal itu setelah memutuu. Apa gunanya? Apa jawabanku bisa mengubah keadaan kita? Apa jujurku bisa membuatmu kembali padaku? Tidak, kan?” setelah itu aku langsung berpaling.

Seulgi menepikan mobilnya. Aku bisa merasakan matanya mengarah padaku namun aku tak berniat memandangnya balik. Aku tak ingin semakin jatuh cinta padanya. Apa yang kurasakan sudah lebih dari sakit dan aku tak ingin menambahnya.

“Kau yang mengembalikan cincin itu padaku.”

“Kau yang membuatku melepasnya.” serangku balik. “Oh jadi ternyata kau sengaja, huh? Kau sengaja menyudutkanku, sengaja membuatku berpikir kalau kita tak punya kesempatan dan melepas cincin itu sehingga ada yang bisa kau salahkan.”

“Joohyun...”

“Kau brengsek, Kang Seulgi.” suaraku sedikit parau. “Please...” mohonku. Tenggorokanku sudah begitu perih menahan tangis. “Aku sudah menerima hukuman paling menyakitkan dengan kehilanganmu.” aku menunduk. “Jangan membuatku berharap. Jangan memberiku harapan apapun.”

Seulgi hanya membisu.

“Aku mencintaimu.” ucapku lirih. “Aku sangat mencintaimu.”

Bukan begini bentuk pengakuan yang selama ini kubayangkan. Dalam kepalaku, aku akan menyatakan cinta dengan senyum menghias di bibir kami, bukan dengan sakit yang terus menyiksa hati. Kutarik napas dalam sembari memejamkan mata, menghalau air mata yang sedari tadi terus memaksa untuk keluar.

“Harusnya aku mengatakan itu sejak awal tapi aku takut perasaanmu tak sebesar yang kurasakan. Aku takut cintaku hanya sepihak dan sekarang aku menyesal karena pengakuanku tak akan ada gunanya.” kugigit bibirku. “Aku tak pernah sengaja ingin membohongimu. Hanya saja aku terlalu takut kau membenciku. Aku takut ditinggalkan.” sekujur tubuhku bergetar. Rasanya sangat menyakitkan melihatnya hanya diam mematung mendengar pengakuanku. “Aku sangat mencintaimu.” entah berapa lama lagi aku bisa menahan gumpalan air mata ini.

“Joohyun...”

“Please ...” selaku memohon. “Aku tahu dan sadar semua risiko yang akan kuterima, jadi bisa dibilang aku sudah tahu semua ini akan terjadi.” akhirnya aku balas menatapnya. “Apa kau tahu, setiap hari aku dihantui perasaan bersalah padamu karena masa laluku, karena masih menyembunyikan apa yang seharusnya kau tahu. Aku ingin mengatakannya, tapi aku tahu saat semua terungkap, kau pasti menjauhiku dan aku belum siap untuk itu. Aku masih ingin bersamamu.” kubasahi bibirku yang terasa kering dan berusaha tersenyum sebisanya. “Maaf.” ucapku pelan sebelum turun dari mobil.

Kudengar suara bantingan pelan pintu mobil. “Mau kemana?”

“Pulang.”

“Masuk. Aku akan mengantarmu.”

Aku berbalik lantas menggeleng. “Aku bisa pulang sendiri.” balasku walaupun sebenarnya aku sangat ingin menerima tawarannya.

Seulgi mendekat lalu meraih tanganku. “Berhentilah keras kepala, Bae Joohyun.” hardiknya tajam mencengkeram pergelangan tanganku.

Aku berusaha melepaskan diri darinya namun gagal. Cengkeramannya terlalu kuat hingga pergelanganku perih. “Dan berhenti bersikap baik karena aku tak ingin semakin jatuh cinta padamu.” kugigit bibirku. “Aku sudah merelakanmu jadi jangan membuatku menginginkanmu kembali.”

Seulgi menatapku tajam sebelum akhirnya melepau.

 

***

 

“Itu bekas luka apa?”

Aku menoleh bingung pada Jaehyun yang menatapku dengan alis bekerut. “Maksudnya?”

“Itu.” Jaehyun menunjuk dengan dagunya. “Punggung kanan bawah.”

Astaga. Mataku terbelalak menyadari aku hanya mengenakan tank top. Biasanya setiap adikku datang, atau ada siapapun yang menginap, aku selalu memakai T-shirt atau baju yang lebih tertutup tapi kali ini aku benar benar lupa. “Oh, itu, bekas jatuh di kamar mandi. Tergores gagang pintu.” sahutku lanjut mencuci piring.

“Kapan?”

Aku menggoyangkan bahu. “Lupa.”

“Boleh kulihat?”

“Aish kau ini. Cuma luka kecil. Jangan berlebihan mentang mentang kau dokter.” sanggahku cepat meletakkan piring dan gelas bersih di tempatnya masing masing.

“Noona.”

Baru saja aku berpikir untuk kabur, Jaehyun menarik lenganku dan menyingkap paksa kain di bagian bahuku. Aku berusaha menepis namun tentu saja sia sia. Memangnya sekuat apa aku dibanding laki laki seperti Jaehyun.

Dia memicingkan mata padaku, menatapku penuh selidik. “Ini luka ketika Appa memukulmu?”

“Bukan.” bantahku walaupun aku tahu Jaehyun tak akan percaya. Kutarik paksa lenganku darinya. “Tidak sopan.” gerutuku membenahi pakaianku dan segera berlalu dari hadapannya.

Sengaja aku menyibukkan diri dengan menjemur cucianku yang sebenarnya tak seberapa. Kuabaikan semua kata katanya meskipun aku bisa mendengar dengan sangat jelas. Bukan aku marah karena dia terlalu ikut campur urusan pribadiku tapi aku memang tak ingin membahas tentang bekas luka ini karena hanya akan mengingatkanku pada kejadian itu. Membuatku teringat seperti apa sakitnya.

“Noona.”

“Aku tak ingin membahasnya.” terlontar juga kalimat keramat saat aku sudah terpojok namun tetap ingin menghindar itu.

“Noona...”

“Kubilang aku tak ingin membahasnya!” tanpa sadar aku membentaknya. Oh Tuhan, apa yang sudah kulakukan. Jaehyun hanya khawatir padaku tapi aku malah membalas perhatiannya sekasar ini. “Sorry.” aku bersandar di dinding sambil mengusap wajah, merasa sangat bersalah.

Jaehyun mendekat lantas memelukku, membuat mataku seketika berair. Selama ini aku berusaha menutupi semua luka yang kurasakan karena aku sadar semua itu karena ulahku sendiri. Apa yang dilihat Jaehyun hanya sebagian kecil dari sisa luka yang kurasakan. Aku hanya tak ingin membuat keluargaku cemas dengan keadaanku, terlebih Umma. Aku tak sanggup kalau harus melihatnya terluka lagi karenaku.

“Boleh aku melihatnya?”

Aku menggeleng. Toh lukanya sudah sembuh dan itu hanya bekasnya. “Hanya bekas luka kecil.”

Jaehyun menghela napas lalu melepaskan pelukannya. “Kau tak ingin menghilangkan bekas luka itu? Karena aku yakin kau pasti masih ingin mengenakan gaun yang mungkin, yeah, sedikit terbuka?” candanya sembari tertawa kecil.

Aku mendengus meninju lengannya. “Very funny.”

“Suatu hari nanti kau akan takjub melihat dirimu sendiri mengenakan gaun. Entah gaun pesta atau gaun pengantin. Kau pasti akan sangat cantik.”

“Tak perlu menyindirku, oke?”

“Serius Noona, aku belum pernah melihatmu berdandan yang sebenarnya.” cengirnya lebar menjejeri langkahku menjemur pakaian yang tersisa.

“Bisa kau diam karena kau sangat menyebalkan saat banyak bicara.” gerutuku menyilangkan tangan di depan dada.

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
hi_uuji
#1
Chapter 18: Smile from ear to ear 😭💖😬 GEMASSSS bakal gamon sih sama kekacauan Jeno Jaehyun 😖😖😖 thanks a lot for this heart warning work!
hi_uuji
#2
Chapter 15: AAAAAAAAA GUXHFJDUGGSTSGUC
hi_uuji
#3
Chapter 9: Sumpah ini udah kacau sih 😬😬
ephemeral24_ #4
Chapter 18: mantap ini cerita kedua yg aku baca👍🏻🤩
Boywithluv_ #5
Chapter 18: Gila ini keren bget ?
jasonds #6
Chapter 18: Nice Store banget
Jiyeonnie13
#7
Chapter 18: lanjut ke berumah tangga, maybe? :D
need sequel authornim
Brewingthebear
#8
Chapter 18: Huwaaaa~ udahan story nya... akirnya mereka bersatu di pelaminan xD ada lanjutanya lg ga nih thor???
royalfamily31 #9
Chapter 18: Akhirnyaaaaa happy ever after.. uwuuuu
Thx banget author nim udah nulis cerita serealistis ini. Semua karya author cucok semua, mantuull..

Aku suka banget karakter seulrene disini, terutama irene. Karakter irene buat aku karakter yg realistis banget, agak drama memang, tp ya itulah hidup. Kita cuma bisa melihat dari sudut pandang kita dgn berbagai kerumitan dan konflik batin.

Thx u authornim, ku selalu menunggu update terbarumu hehe.. *genben seulrene lg pleaaseee
JungHi0225 #10
Chapter 18: Ohmygod gw bahagia bgt bacanya. Rasanya nano2 chap trakhir ini. Sedih, seneng, bangga jd satu. Thx u thor udh bikin cerita indah yg selalu gw tunggu. Mdh2n ada sequel stlh menikah. Ngelunjak bgt gw wkwkwk