Chapter 6

Second Chance
Please Subscribe to read the full chapter

Terimakasih buat semua yg sudah komen dan khusus buat tiff_ss27 yang komennya tentang 2 karakter utama bikin saya terharu.

 

Pagi itu aku terbangun dengan sakit kepala yang luar biasa. Seandainya manusia seperti robot, mungkin aku sudah mematikan sistemku untuk sementara waktu karena sakitnya tak tertahankan. Kuambil obat penahan sakit di laci lalu beranjak menuju dapur, mengambil segelas air putih dan menenggak obat yang tadi kubawa. Sambil menunggu obat bereaksi, aku membuat sarapan semampunya. Semampunya yang kumaksud adalah mengoleskan coklat pada 2 lembar roti karena hanya itu yang ada di dapur. Aku belum punya waktu untuk pergi ke supermarket.

Setelah rotiku habis, aku mengambil ponsel dan menghubungi Kepala Sekolah. Kondisiku sedang kacau sehingga kuputuskan untuk izin mengajar hari itu. Daripada aku hanya menumpahkan emosi tak jelas pada murid, lebih baik aku menenangkan diri sehari. Semoga saja besok sudah lebih baik. Aku bersyukur karena Mr. Choi tak banyak bertanya dan langsung memberikan izin. Karena aku sendiri akan bingung bagaimana harus menjelaskan bagaimana aku bisa sakit kepala begini.

Selesai berurusan dengan Kepala Sekolah, aku menghubungi Wendy, mengatakan padanya aku tak masuk hari ini. Dan dugaanku benar, tak lama pintu rumahku diketuk dan Wendy sudah berdiri di sana dengan tampang cemas. Kadang aku sebal juga dengan kebaikan hatinya. Aku hanya sakit kepala, tapi dia bersikap seolah aku sekarat mau mati.

“Tak apa, Wen. Kepalaku hanya sakit, bukan mau mati.”

“Unnie!” hardiknya yang membuatku terkejut. Bisa lantang juga suara anak ini. “Jangan mengatakan yang bukan bukan.”

Aku atau dia yang lebih tua di sini? Kenapa aku selalu merasa seperti anak kecil yang diomeli ibunya setelah membuat kesalahan setiap kali berhadapan dengan wanita ini.

“Sudah sarapan? Minum obat?”

Aku ingin tertawa. Dia pikir aku anak kecil? “Iya.” jawabku mengangguk sambil terkekeh.

“Ya sudah, aku pulang dulu biar Unnie bisa istirahat.”

“Harusnya dari tadi.” candaku dan Wendy langsung melotot sadis sebelum keluar dari rumahku.

Wow. Aku baru tahu anak itu bisa menyeramkan juga.

Hari itu, serius, aku merasa seperti orang sakit sungguhan. Yongsun datang menjenguk bersama suami dan anak anaknya. Bahkan beberapa murid bebalku ikut datang. Sampai sampai Zack membawakanku begitu banyak makanan dari restoran milik keluarganya yang membuatku berdecak. Mereka pikir aku sakit apa? Ini hanya sakit kepala.

Aku sangat menghargai perhatian mereka, really, tapi ini benar benar berlebihan. “Terimakasih, Zack, tapi jujur saja ini terlalu banyak. Siapa yang akan menghabiskan semua ini?”

“Tentu saja Ssaem.” jawab anak itu santai. “Biar ibu lekas sembuh dan gemuk lagi.” cengirnya tanpa dosa.

Kurang ajar anak ini. Kujitak kepalanya tapi Zack hanya cengengesan sementara Mark dan yang lain malah menertawakanku yang membuatku ikut tertawa. Ada manfaatnya juga lebih banyak bersabar menghadapi anak anak ini. Karena lihatlah, mereka datang menjenguk gurunya yang cuma sakit kepala bahkan membanjiri rumahku dengan makanan dan camilan. Luar biasa. “Ya sudah, lekas pulang. Sudah jam berapa ini.” aku tak serius mengusir, tapi ini sudah malam sementara besok pagi mereka harus berangkat sekolah lagi.

“Tapi besok Ssaem sudah masuk, kan?” tanya Chanhee menyandang tasnya.

“Iya, cerewet.” gerutuku mengantar mereka ke halaman rumah. “Mobil siapa yang kalian curi?” candaku memandang motor sport yang terparkir di depan rumahku.

“Punya ayah Lucas, Bu. Sayang karatan di garasinya makanya kami bawa.” tukas Mark menaiki motornya.

Dasar bocah bocah sinting. Aku yakin Lucas membawanya tanpa izin ayahnya dan tanpa surat izin mengemudi tentunya. Tapi untuk kali ini kumaklumi. Lagipula kalau kena tilangpun ayahnya pasti bisa langsung mengambilnya kembali. Yup, the power of money.

Ya Tuhan, lindungi mereka sampai ke rumah masing masing. “Jangan ada yang terlambat ke sekolah besok. Apa lagi bau rokok atau minuman karena Ibu sendiri yang akan memulangkan kalian.” ancamku.

Mereka tertawa yang membuatku merasa lebih lega.

“Kami pulang dulu, Ssaem. Lekas sembuh dan makan yang banyak biar besok punya tenaga untuk marah marah.” Lucas mengacungkan jempolnya dengan tampang meledek.

Dasar anak kurang ajar. Memangnya aku sering memarahi mereka apa?

Setelah semua anak anak itu pergi, aku segera masuk dan langsung menghela napas melihat kekacauan di ruang tamuku. Harusnya sebelum pulang, kusuruh mereka membersihkan gelas minum dan beberapa peralatan makan yang baru mereka gunakan. Mereka pikir rumahku tempat hang out? Sampah bekas jajangmyeon dan teokbokki juga beberapa jajanan lainnya masih begitu anggung menghiasi meja tamu. Tak apalah. Toh kedatangan mereka membuatku merasa jauh lebih baik sekarang.

Baru setengah jalan aku membersihkan kekacauan di ruang tamu, terdengar suara mobil berhenti di depan sana. Aku mengintip dari balik tirai dan mataku langsung melebar. Sebuah SUV putih yang sangat ku kenali sudah terparkir di depan pagar rumahku. Kulihat 2 orang turun dari sana. Yang pertama turun adalah Hyuk, dan yang berikutnya tentu saja kakaknya, siapa lagi kalau bukan laki laki itu. Orang yang beberapa hari lalu membuatku murka. Sengaja tak kubukakan pintu sebelum mereka mengetuknya agar aku bisa menyempurnakan aktingku nanti.

“Ssaem!” teriak Hyuk tanpa mengetuk pintu atau membunyikan bel.

Satu lagi bocah menyebalkan. Ini sudah malam dan dia berteriak seperti itu. Sebenarnya tak masalah kalau itu hanya Hyuk, tapi Seulgi juga ada di sana. Aku belum terlalu siap untuk bertemu dengannya. “Oh kau.” tukasku membukakan pintu, pura pura terkejut melihat mereka di depan sana.

“Woah, sepertinya Ssaem sudah sembuh dan habis berpesta. Sebaiknya kita pulang saja, Hyung.” ucap Hyuk setelah mengintip ruang tamuku.

“Itu bekas teman temanmu. Aku lupa menyuruh mereka membersihkannya.” sahutku membiarkan mereka masuk. Kupandangi pria yang masih berdiri di depan pintu rumahku. Dia menenteng sesuatu di tangan kirinya. Kami hanya berdiri berpandangan dalam diam. Aku tak tahu bagaimana mengakhiri kecanggungan kami dan sepertinya Seulgi tak jauh berbeda.

Untung saja Hyuk membuyarkan semua itu. “Yah, Hyung, kenapa supnya masih dipegang? Bukannya itu untuk Ssaem?”

Seolah tersadar, Seulgi menyerahkan bingkisan yang dipegangnya. “Oh, sorry. Ini.”

“Masuklah.” kuambil apa yang disodorkannya. “Maaf masih berantakan.”

“Tak apa.” Seulgi tersenyum dan itu sudah cukup untuk membuat murkaku padanya kemarin luntur.

“Tunggu sebentar.” dan aku masuk ke dapur untuk meletakkan pemberiannya. Really, bagaimana aku menghabiskan semua makanan ini? Kutarik napas dalam untuk menenangkan dadaku yang berdegup sedikit kencang ketika melihatnya. Tak seharusnya aku merasakan ini tapi aku tak bisa menahannya. Dia membuatku gugup.

“Siapa yang datang tadi, Bu?” tanya Hyuk ketika aku kembali.

“Umm... Zack, Lucas, Chanhee, dan Mark.” jawabku sedikit salah tingkah menyadari ada sepasang mata yang menatap nanar padaku. “Thanks untuk makanannya.”

“Hyung membuatnya sendiri, Bu.” cengir Hyuk yang langsung mendapatkan jitakan dari Seulgi hingga membuatnya meringis. “Sakit, Hyung!”

“Makanya jangan banyak bicara.” balas Seulgi melotot.

Agak geli juga melihat tingkah mereka tapi tentu saja aku tak akan memberikan reaksi apapun. Kupandang Seulgi sebentar sebelum memberinya senyum seadanya. “Thank you.” ucapku pelan.

“Bukan apa apa.” balasnya tersenyum dan mata kami kembali bertemu sebelum dia memalingkan wajah pada Hyuk. “Kami tak bisa lama lama. Yerim sudah menungguku.”

Aku mengangguk pelan.

“Hei, sana ke mobil. Ada yang ingin kubicarakan dengan gurumu.”

Hyuk menggerutu mendengar Seulgi mengusirnya. “Bilang saja mau berduaan dengan Ssaem.” dia keluar, sengaja menutup pintu sedikit keras.

Oh God... Ini benar benar mengerikan. Setelah pertengkaran kemarin, pertemuan ini sangat tak terduga. Dan memikirkan kami hanya berdua di sini. Aku tak tahu harus bagaimana.

“Maaf untuk yang kemarin malam.”

Aku menelan ludah ketika Seulgi sedikit mendekat yang otomatis membuatku melangkah mundur.

Seulgi terlihat kecewa karena aku menjauh ketika dia berusaha mendekat. Padahal itu karena gugup, bukan karena aku membencinya. “Maaf karena lancang menuduhmu yang tidak tidak.” Seulgi menarik napas dalam. “Aku marah karena kupikir kau dekat dengan pria lain.”

Dadaku berdetak semakin kencang. Jangan katakan kalau yang kemarin dibilang Jaehyun benar.

“Aku sangat menyukaimu, Joohyun.” tatapan matanya tak setajam sebelumnya. Kali ini sedikit lebih teduh, lebih hangat. “Kupikir karena kita sudah sama sama dewasa, tak perlu lagi pernyataan pernyataan layaknya remaja. Tak perlu mengulur waktu. Mungkin aku memang pernah menikah, tapi aku tak berpengalaman untuk urusan ini. Aku hanya tahu bagaimana memperlakukan istri, bukan seorang pacar.” Seulgi menarik napas panjang. “Ku pikir karena kau mau kencan denganku, artinya kau menerimaku, memberiku kesempatan. Itulah kenapa aku marah ketika melihatmu bersama pria lain. Yang ternyata dia adikmu.”

Aku benci dengan pengakuannya. Dan aku lebih benci karena aku bisa melihat ketulusan dari mata dan penuturannya. Akan lebih baik kalau dia masih dengan prasangka buruknya yang bisa menyulut emosiku jadi perasaan gamang ini tak perlu terulang.

“Aku bicara pada Hyuk dan dia bilang aku idiot.” Seulgi terkekeh. “Dia bilang aku harus memintanya dulu sampai kau bilang ya, setelah itu aku berhak marah. Itupun kalau apa yang kupikirkan benar.”

Seketika aku merasa gugup.

“Aku tahu ini berat buatmu karena aku pernah menikah dan juga punya seorang anak. Aku pernah dekat dengan seseorang sebelum ini tapi Yerim tak menyukainya. Responnya berbeda saat dia melihatmu. Dia menyukaimu.”

Jujur aku tak masalah dengan statusnya ataupun Yerim. Aku hanya takut apa yang dirasakannya tak cukup besar untuk menerimaku. Aku takut terluka dan sakit hati suatu hari nanti.

“Apa... Kau mau memberiku kesempatan? Maksudku berusaha lebih mengenal satu sama lain. Setelah itu terserahmu kau ingin melanjutkannya atau tidak.”

Rasanya sangat membingungkan. Bukan aku tak mau, tapi aku tak bisa membuang semua rasa takut ini. “Maaf.”

Seulgi tersenyum tipis tapi aku tahu dia kecewa. “Tak apa, jangan dipaksakan.” balasnya. “Ya sudah, aku pulang dulu. Lekas sembuh agar bisa memarahi Hyuk lagi.”

Tawanya terdengar getir dan itu membuat sisi egoisku muncul.

Persetan dengan apa yang akan terjadi nanti. Menerimanya atau tidak, toh rasa sakit ini akan tetap ada. Aku sudah cukup menahan diri. Cukup sudah aku menyakiti diri sendiri, menyalahkan diriku atas semua yang terjadi. Aku tak ingin menyesal selamanya. Kalaupun suatu saat ini gagal, setidaknya aku sudah pernah berusaha dan bukan gagal karena aku seorang pengecut sejati. Yongsun benar, kalau aku ingin meraih sesuatu, aku harus siap dengan segala risikonya. Baik ataupun buruk. Hidupku tak akan berubah kalau aku tak berani mengubahnya sendiri.

Lagipula, apapun pilihannya, kalau memang akan membuatku menyesal, aku tahu semua akan memberiku penyesalan yang sama besar.

“Tunggu.” cegatku menarik tangan Seulgi sebelum dia sempat membuka pintu.

Seulgi berbalik, menatap bingung padaku.

“Aku tidak sebaik yang kau pikir.” ucapku pelan.

“Aku tidak tahu kau bisa membaca pikiran.”

Sialan. “Aku punya masa lalu yang buruk.”

“Aku juga bukan orang suci.”

“Aku takut rasa sukamu sekarang tak cukup untuk menerima apa yang pernah kulakukan.”

“Maju bukan berarti menghindar atau lari dari kenyataan, tapi berusaha mencari sesuatu yang lebih berarti di depan sana. Semakin kau takut, semakin mudah masa lalu menjangkaumu dan menarikmu kembali.”

Brengsek kau, Kang Seulgi. “Aku tak yakin dengan diriku sendiri. Aku tak yakin padamu. Aku tak yakin pada semuanya.”

“Selain bisa membaca pikiran, kau juga seorang paranormal, huh? Keyakinan itu datang setelah kau menjalaninya, setelah kau merasakannya, bukan menerka nerka.”

“Kenapa kau terus saja menyahut?” gerutuku kesal.

“Karena kau terus mengatakan ha tak masuk akal tapi tak mau bertindak sama sekali.”

Ingin rasanya aku menyumpal mulut laki laki ini dengan taplak meja. “Apa kau bisa meyakinkaku kalau aku memberimu kesempatan?”

“Aku tak akan menjawab sesuatu yang tak pasti.”

Pria ini benar benar... “Fine!”

“Fine what?”

“Kesempatan itu.”

Seulgi menyeringai. Dia menyilangkan tangan di dada lantas menatapku. “Tentu saja bisa. Rasa suka ini modal awal untuk apa yang akan terjadi nanti.”

Dasar bajingan sinting. Dia benar benar menjawabnya setelah aku memberinya kesempatan itu. “Oke. Kupegang ucapanmu.”

Seulgi menggoyangkan bahunya lalu membuka pintu. “Jangan merindukanku karena aku harus keluar kota selama 3 hari.” dia tersenyum usil lalu keluar dari rumahku.

What? Argh dasar sialan!!!

 

***

 

“Jaemin!!!”

Aku berteriak lantang. Oh Tuhan, aku bisa gila kalau begini. Dengan perasaan campur aduk aku setengah berlari mendekati Jaemin yang sudah siap menghadiahkan kepalan tangannya ke wajah remaja lelaki yang kini bersandar di dinding, terlihat tak berdaya. Kutarik baju Jaemin, membuat anak itu jatuh terduduk. Aku hampir membentaknya namun tertegun saat melihat darah di sudut bibirnya sementara anak yang hampir dipukulnya tak terlihat luka sedikitpun.

“Kenapa kalian berkelahi?”

Anak lelaki yang di bajunya tertera nama Park Jinhee itu membuka suara sementara Jaemin membisu. “Dia tiba tiba memukul saya.”

Alisku mengernyit. Entah kenapa aku jengkel dengan jawaban itu. “Sebaiknya kau bicara jujur sebelum Kepala Sekolah tahu.”

Jinhee langsung terlihat takut, sekaligus menjadi tanda tanya besar untukku kenapa semua orang di sekolah ini begitu takut dengan pria yang bernama Choi Siwon itu?

Setiap akibat pasti ada sebabnya. Aku tahu Jaemin, bukan karena dia muridku lantas aku lebih membelanya. Tapi dia tak akan memukul seseorang tanpa alasan. Itu tolol namanya.

“Jaemin?”

Namun Jaemin masih betah membisu.

“Sebaiknya kau pergi dari sini sebelum aku melaporkan kalian.” ucapku tajam dan Jinhee langsung pergi meninggalkanku dan Jaemin yang masih terduduk di lantai.

Niatku ingin bersantai di atap sekolah malah bertemu kejadian begini. Malangnya nasibku.

Aku berjongkok di dekat Jaemin. “Ada apa?” tanyaku namun Jaemin malah membuang muka. “Tak apa kalau kau tak mau mengatakannya. Tap

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
hi_uuji
#1
Chapter 18: Smile from ear to ear 😭💖😬 GEMASSSS bakal gamon sih sama kekacauan Jeno Jaehyun 😖😖😖 thanks a lot for this heart warning work!
hi_uuji
#2
Chapter 15: AAAAAAAAA GUXHFJDUGGSTSGUC
hi_uuji
#3
Chapter 9: Sumpah ini udah kacau sih 😬😬
ephemeral24_ #4
Chapter 18: mantap ini cerita kedua yg aku baca👍🏻🤩
Boywithluv_ #5
Chapter 18: Gila ini keren bget ?
jasonds #6
Chapter 18: Nice Store banget
Jiyeonnie13
#7
Chapter 18: lanjut ke berumah tangga, maybe? :D
need sequel authornim
Brewingthebear
#8
Chapter 18: Huwaaaa~ udahan story nya... akirnya mereka bersatu di pelaminan xD ada lanjutanya lg ga nih thor???
royalfamily31 #9
Chapter 18: Akhirnyaaaaa happy ever after.. uwuuuu
Thx banget author nim udah nulis cerita serealistis ini. Semua karya author cucok semua, mantuull..

Aku suka banget karakter seulrene disini, terutama irene. Karakter irene buat aku karakter yg realistis banget, agak drama memang, tp ya itulah hidup. Kita cuma bisa melihat dari sudut pandang kita dgn berbagai kerumitan dan konflik batin.

Thx u authornim, ku selalu menunggu update terbarumu hehe.. *genben seulrene lg pleaaseee
JungHi0225 #10
Chapter 18: Ohmygod gw bahagia bgt bacanya. Rasanya nano2 chap trakhir ini. Sedih, seneng, bangga jd satu. Thx u thor udh bikin cerita indah yg selalu gw tunggu. Mdh2n ada sequel stlh menikah. Ngelunjak bgt gw wkwkwk