Chapter 11

Second Chance
Please Subscribe to read the full chapter

 

“Bu, nanti malam bisa datang?” tanya Hyuk meletakkan beberapa buku di mejaku.

“Kenapa?”

Dia melirik sekilas ke kiri dan ke kanan sebelum menggoyangkan bahu. “Hyung sakit, cerewetnya minta ampun. Mana Umma sedang balapan.” candanya dengan wajah datar.

Tch. Dia pikir aku anak kecil? “Abaikan saja. Kakakmu sudah dewasa. Tahu mana yang harus dilakukan mana yang tidak.” sahutku asal walaupun sebenarnya ada rasa khawatir juga.

Hyuk memandangku datar. “Isi kepala orang dewasa memang rumit.”

“Terimakasih karena sudah membawakan bukunya.” jelas aku mengusirnya secara tak langsung dan Hyuk mengerti kalau itu artinya aku tak ingin berdebat dengannya lagi sehingga dia memilih beranjak.

“Calon suamimu sakit apa?” tanya Yongsun setelah Hyuk pergi.

“Mana aku tahu.” jawabku menggoyangkan bahu.

“Kalian bertengkar?”

“Memangnya menurutmu apa lagi?” aku memandangnya datar.

Yongsun memutar bola mata lalu mengalihkan pandang pada Wendy. “Wen, mau ke pantry? Aku haus.”

Wendy melirikku sebentar lalu mengangguk dan mereka kompak meninggalkanku sendirian di mejaku.

Aku menghela napas berat. Apa aku keterlaluan?

 

 

 

 

“Hei.” sapaku.

Seulgi yang tengah berbaring di sofa telonjak bangun. “Apa yang kau lakukan di sini?”

“Hyuk bilang kau sakit dan cerewet makanya dia minta tolong padaku.” aku duduk di sampingnya. “Kenapa itu?” tanyaku menunjuk ruam ruam merah di wajah dan tangannya. Setidaknya bagian itu yang terlihat olehku.

“Alergi.” jawabnya refleks ingin menggaruk ruam di tangannya namun aku menahannya.

“Sudah ke dokter?”

Dia mengangguk.

“Diberi resep obat.”

Dia kembali mengangguk.

“Obatnya dimakan?”

Kali ini dia menggeleng. “Pahit.”

Aku menatapnya datar. “Kalau manis namanya permen.” sahutku gemas. “Sudah makan?”

“Tidak lapar.”

Wajar saja Hyuk memintaku datang. Menghadapi orang seperti ini memang tak perlu diberi hati. Dia bukan anak kecil yang harus dibujuk dulu. “Sebentar lagi Hyuk datang membawakan makan malammu. Kuharap kau memghabiskannya sebelum kujejalkan ke mulutmu.”

Seulgi diam dan hanya menatapku dengan mata sendu. Jujur aku tak serius dengan ucapanku beberapa detik yang lalu, tapi kalau memang dia tak menurut, tak menutup kemungkinan aku akan melakukannya.

Kami terus diam hingga Hyuk masuk dengan membawa nampan besar berisi makanan untuk Seulgi. Dia meletakkannya di meja, memandang kakaknya sebentar kemudian beralih padaku sambil menghela napas pelan lantas keluar kamar.

“Habiskan makanannya.” aku memecah kebisuan.

“Tidak lapar.”

“Ya, tentu. Seharian tak makan, cuma tidur, tak melakukan aktifitas apapun, wajar tenagamu masih utuh.” sahutku agak sinis sembari mengambil mangkuk supnya yang masih hangat. “Buka mulutmu.” itu bukan permintaan, tapi perintah.

Seulgi melirik padaku sekejap sebelum membuang muka.

Aku menghela napas pelan, tak tahu kalau mengurusnya yang sedang sakit bisa melelahkan begini. “Seul, please, beberapa sendok saja.” kali ini aku sedikit memohon karena bibi di rumah ini bilang Seulgi belum makan apapun sejak kemarin dan terus mendekam di kamar.

“Kenapa kau ke sini?” dia bertanya tanpa memalingkan wajahnya padaku.

What?

“Seandainya Hyuk tak meminta, kau tak akan ke sini, kan?”

Kuletakkan kembali mangkuk sup di nampan. Aku menyerah. “Seandainya Hyuk tak meminta, aku tak pernah tahu kau sakit.” jawabku. Aku tak tahu kenapa dia suka sekali menyakiti perasaanku. “Seandainya Hyuk diam, aku tak perlu merasa cemas begini.” lanjutku. “Walaupun sepertinya aku tak perlu mencemaskan keadaan seseorang yang memang tak perlu dicemaskan.”

Akhirnya dia memandangku.

“Silakan sesukamu.” aku berdiri dan siap pergi ketika dia memegang pergelangan tanganku.

“Maaf.”

Yeah, sebenarnya yang kami perlukan hanya kata sesingkat itu. Tapi memintanya dengan tulus mungkin agak rumit. “Kau yakin mengatakan itu tanpa berniat menuduhku yang tidak tidak seperti kemarin?”

Seulgi menggeleng cepat.

Berat untukku melenyapkan rasa kecewa yang diberikannya, namun aku tahu hal itu harus disingkirkan agar hubungan kami tak semakin memburuk. Harus ada yang mau mengalah. Dan kalau orang itu harus aku, kalau memang untuk kebaikan kami, aku akan melakukannya. Semua ini sangat melelahkan.

Aku kembali duduk, mengambil mangkuk sup dan menyendoknya. “Buka mulutmu.”

Kali ini Seulgi tak lagi membantah dan terus diam selama aku menyuapinya. Tak satupun baik aku maupun Seulgi terlihat ingin membuka suara. Mungkin kami juga sudah sama sama lelah bertengkar begini. Mungkin beberapa hari perang dingin cukup membuat kami merasa membutuhkan satu sama lain.

“Sekarang obatnya.”

Kuletakkan mangkuk sup yang sudah kosong ke nampan lalu mengambil obat dan menyerahkannya pada Seulgi. Obat itu memang bukan untuk menghilangkan alerginya, hanya sekedar mengurangi rasa gatal dan mempercepat proses penyembuhan. Kusodorkan segelas air padanya dan Seulgi langsung menenggak obatnya sambil meringis. Sepertinya dia memang tak terbiasa mengkonsumsi obat obatan karena wajahnya persis anak kecil yang dipaksa minum obat.

“Ya sudah, istirahatlah.” aku berusaha membantunya bangun namun Seulgi menarikku kembali ke sofa.

“Hari ini menginap saja. Nanti tidur di kamar tamu.”

Aku mengangguk lalu membuka lebar tanganku dan Seulgi langsung menyusup ke pelukanku. Kusandarkan kepalanya di dadaku, mengusap lembut rambutnya. “Aku sangat merindukanmu.”

“Aku juga.” balasnya memeluk pinggangku. “Sorry.”

“Sudahlah.” kucium pucuk kepalnya. Melihatnya seperti ini, rasanya tak terpikir untuk marah karena dia terlalu menggemaskan. Tapi ya, sebaik apapun manusia pasti punya sisi menyebalkan. “Boleh aku bertanya?” tanyaku dan kurasakan Seulgi mengangguk. “Dulu kau juga pernah marah saat berpikir aku jalan dengan pria lain padahal itu Jaehyun. Kenapa?”

“Hanya takut.”

Alisku meninggi. “Kau takut kehilanganku?”

Seulgi mengangguk. “Kau pernah merasa penasaran kenapa tak pernah bertemu ayahku di rumah ini?”

“Wae?” tanyaku setengah berbisik menyandarkan pipiku di kepalanya.

“Orangtuaku pisah rumah saat aku menyelesaikan semester akhir kuliah.”

What?

“Ayahku selingkuh tapi ibuku yang sudah mencium gelagat aneh suaminya hanya diam. Mau marah, kecewa, ibuku tak pernah menampakkannya. Dia membiarkan ayahku berbuat sesukanya dan memaafkan ayahku dengan mudahnya saat ayahku minta maaf. Dia pikir dengan begitu ayahku akan berubah tapi nyatanya karena hal itulah ayah merasa kalau ibuku tak benar benar mencintainya. Umma tak pernah terlihat cemburu.”

Oh Tuhan... “Tapi mereka masih berhubungan baik?”

“Masih. Sejujurnya mereka belum bercerai dan kalau kulihat, mereka masih saling mencintai. Hanya saja Appa memang sedang sibuk mengurusi bisnisnya. Jadi yeah, belum ada waktu bertemu denganmu.” Seulgi menghela napas. “Karena itulah kupikir aku tak ingin berdiam diri sepertinya. Pasanganku harus tahu apa yang kurasakan.” Seulgi menarik napas dalam. “Tapi sepertinya yang kulakukan padamu memang keterlaluan. Maaf.”

“Sudahlah, lupakan.”

Seulgi bangun dari pelukanku. “Mau mendengar cerita lainnya?” dia tersenyum.

“Apa?”

“Tentangku dan Jisoo.” jawabnya.

Kucium bibirnya. “Kau ingin balas dendam dengan membuatku cemburu, huh?” candaku dan dia tertawa renyah.

Seulgi balas menciumku. “Tidak, ini cerita lucu.” jawabnya. “Dulu kupikir Jisoo wanita rumahan yang selalu menurut pada orangtuanya. Jadi saat orangtua kami menjodohkan kami, aku menerimanya tanpa berpikir. Selain karena memang kami sudah saling kenal sejak kecil.” Seulgi mengusap pipiku. “Sepupuku beberapa kali bertanya apa aku yakin menikah dengan Jisoo, seolah ragu. Aku mengabaikannya karena aku terlalu percaya diri dan terlalu percaya pada Jisoo. Tak tahunya, Jisoo sudah punya pacar. Dan hebatnya, di kampus, hanya aku yang tak mengetahuinya.” dia terkekeh.

Astaga, ceritanya tak lucu sama sekali. Kuraih wajahnya dan kukecup singkat bibirnya.

“Sebulan menikah, semuanya masih berjalan mulus. Suatu hari aku melihatnya bersama pria lain. Pria yang juga senior kami sewaktu kuliah. Karena aku percaya padanya, aku membiarkannya. Aku juga tak pernah bertanya. Beberapa kali aku melihat mereka jalan bersama dan aku masih diam meskipun aku mulai merasa curiga dan cemburu. Hingga akhirnya aku melihat pria itu mengantar Jisoo pulang dan mereka berciuman di depan pagar rumah kami.”

Rambut di sekujur tubuhku meremang. “Akhirnya kau marah?”

Seulgi menggeleng. “Aku tetap diam. Kupikir besok saja aku menanyakannya. Tapi sayangnya besok paginya aku terbangun dan mendapati kenyataan Jisoo tengah mengandung. Jujur saja, aku sempat ragu kalau Yerim anakku tapi melihat ekspresinya, aku tahu bayi dalam kandungnnya adalah anakku.” Seulgi tersenyum getir. “Aku benar benar sakit hati saat itu, tapi memilih untuk melupakan apa yang kulihat. Bukan untuk Jisoo, tapi untuk Yerim.” Seulgi kembali menarik napas dalam. “Kupikir setelah Yerim lahir, aku akan melepaskannya kalau memang dia meminta. Tapi Tuhan punya rencana lain. Selama kehamilannya, aku terus memberinya perhatian yang mungkin lebih dari yang biasanya kulakukan. Dan kau tahu apa, dia jatuh cinta padaku.” senyum tersungging di bibirnya. “Selesai. Happy ending.” cengirnya lebar.

Kutarik lehernya, menyatukan kembali bibir kami hingga aku kehabisan napas. “Yeah, happy ending.” bisikku di depan bibirnya.

“Oh kemarin saat aku pulang dari rumahmu, di depan pagar aku bertemu seorang wanita. Cantik, tapi tampangnya agak dingin dan arogan.” Seulgi memeluk pinggangku. “Temanmu?”

Tubuhku langsung membeku. Seorang wanita? Jennie? Tapi kami tak bertemu malam itu. Apa dia langsung pulang?

“Hyun?”

Aku mengangguk. “Jennie, namanya Kim Jennie.” balasku membasahi bibir.

“Kim Jennie?” alisnya mengernyit. “Namanya terasa familiar.” dia terlihat berpikir. “Dan wajahnya juga seperti tak asing.”

Bisa jadi mereka memang pernah berpapasan di jalan. “Seul, ada yang ingin kukatakan tentang pertanyaanmu malam itu.” ini lebih sulit dari perkiraanku. Aku baru akan membuka mulut ketika Seulgi menyela.

“Aku sedang sakit, Hyun, nanti saja.” dia sedikit merengek.

Aku termangu mendengarnya. Bukannya dia yang ingin jawaban dariku sebelum ini hingga membuat kami bertengkar? Tapi saat aku ingin jujur, kenapa dia juga yang mengulur waktu? “Seul...”

“Lagipula harusnya aku percaya padamu, bukannya malah bersikap kekanakan seperti ini.”

Ucapannya membuatku langsung kehabisan kata kata. Tapi mungkin memang sekarang bukan waktu yang tepat. Dia sedang sakit dan aku bisa saja membuatnya lebih parah dengan penuturanku. Kuraih tangannya dan kukecup telapak tangannya. “Kenapa bisa begini?” tanyaku memperhatikan ruam merah itu.

“Kemarin makan malam dengan beberapa karyawan. Mereka memesan mandu. Biasanya aku bertanya tapi kemarin tidak. Tak tahunya mandu seafood. Beginilah jadinya.” jelasnya dengan suara agak parau. “Gatal.”

Bisa kubayangkan seperti apa rasanya karena aku juga pernah mengalaminya walau tak separah Seulgi. “Nanti juga sembuh. Makanya makan obatmu, setidaknya itu bisa membuat rasa gatalnya berkurang.”

“Hm.”

“Sebaiknya kau istirahat sekarang.”

Kutarik tangannya untuk bangun dan kali ini Seulgi tak membantah. Aku membantunya berbaring di ranjang dan menutupi tubuhnya dengan selimut kemudian duduk di sampingnya. Kuusap dahinya dan memberinya kecupan kecil di sana.

“Ini juga.” Seulgi menunjuk bibirnya.

Gemas, ku cubit hidungnya sebelum menekuk kedua siku di sisi tubuhnya. Kukecup singkat bibirnya sambil mengusap rahangnya. Mata kami bertemu beberapa detik sebelum aku menyatukan bibir kami, menciumnya sedikit lebih lama.

Seulgi tersenyum.

Aku terus mengusap rambutnya hingga perlahan matanya tertutup karena pengaruh obat. “Goodnight, Honey.” bisikku lalu bangkit untuk mematikan lampu lalu keluar dari kamarnya.

 

***

 

Aku tengah mencuci bekas peralatan makan malam kami ketika Seulgi menghampiri sambil memegang ponselku yang berdering. Dia memperlihatkan layar ponsel padaku yang tertera nama ‘Ppabo’ sambil mengernyitkan kening. Aku hanya menggoyangkan bahu lalu memintanya menerima panggilan itu.

“Wae?” tanyaku sedikit ketus mengingat anak itu sudah membocorkan tentang hubunganku dan Seulgi pada Umma tanpa seizinku.

“Hyun? Ini Umma.”

Huh? Aku kembali melihat layar ponsel dan memang itu nama kontak Jeno. “Oh Umma, wae?”

“Soal yang kemarin, bisa Umma bertemu Seulgi?”

Sontak aku terbatuk dengan wajah merona mendengar permintaan Umma karena panggilan ini dalam mode loudspeaker dan Seulgi bisa mendengarnya. Aku malu karena membuat Seulgi tahu aku sudah menceritakan tentangnya pada ibuku. “Uuhh, mungkin belum, Umma. Seulgi masih sib...”

“Selamat malam, Joohyun Umma. Aku Seulgi. Maaf mendengarkan dan terpaksa menyela obrolan kalian. Kalau Omoni mau, kita bisa bertemu minggu depan.” cengirnya tanpa dosa seraya memandangku.

Dengan segenap hati aku menyikut perutnya yang membuat cengirannya semakin lebar. “Umma sebenarnya...”

“Oh ada Seulgi juga?” tanya Umma, jelas sekali mengabaikanku. “Kalian di mana?”

“Tadi aku mengantar Joohyun pulang dan sekarang kami baru selesai makan malam.” jawab Seulgi begitu ceria.

“Oh begitu. Ya sudah, nanti Umma telpon lagi. Dan Seulgi, jangan pulang terlalu malam.”

“Siap, Omoni.” balas Seulgi mematikan panggilan.

Aku melirik sadis pada Seulgi yang masih tersenyum sumringah sembari mengeringkan tanganku. Kenapa dia bisa sebahagia itu akan bertemu ibuku sementara aku begitu gugup sewaktu bertemu ibunya. Apa dia tak berpikir kalau ibuku juga bisa sinis seperti ibunya? Apa karena dia pernah melakukan ini sebelumnya saat bertemu orangtua Jisoo? Atau memang pada dasarnya dia memang bermuka tembok dan berkulit badak. “Apa senyum senyum?”

“Kenapa memangnya?” dia mendekat lalu memelukku dari belakang. “Salah kalau aku senang karena kau sudah cerita tentang kita pada ibumu?”

Kalau saja dia tahu itu karena ulah Jeno, apa senyumnya tetap akan selebar ini? “Kau tak merasa takut pada ibuku?” tanyaku mengusap tangannya. “Atau gugup misalnya?”

“Gugup, tentu. Tapi jujur aku memang menunggu bisa bertemu orangtuamu. Siapa tahu, kan, mereka bisa membuatmu lebih cepat mengatakan ya atas lamaranku.”

Dari suaranya, aku tahu dia sangat gembira dan aku tak tega menghancurkan apa yang sedang dirasakannya dengan mengatakan seperti apa ayahku.

Aku menoleh sembari tersenyum kaku. Kuusap tengkuknya lantas mengecup singkat bibirnya namun Seulgi menahanku saat aku akan menarik wajahku. Dia menunduk, menyatukan kembali bibir kami yang jelas tak sekedar kecupan kecil lagi karena dia mulai mengulum, menghisap dan melumat bibirku. Lumatannya sedikit kasar namun tak tergesa. Juga tak berusaha memaksa atau mendominasi. Memberiku kesempatan untuk menikmati ciumannya. Kuputar tubuhku ke arahnya, memisahkan bibir kami dengan ibu jariku.

“Umma bilang jangan pulang terlalu malam.” ucapku tersengal. Ciumannya membuatku kehabisan napas.

Seulgi terkekeh. “Ibumu punya cara halus untuk mengusirku. Beda sekali denganmu.”

Kuusap bibirnya. “Kalau suka yang lembut, pacaran saja dengan ibuku.”

Dia berlagak sedang berpikir. “Tapi terkadang aku lebih suka yang kasar.”

Kutinju perutnya. “Seul, aku cuma ingin bilang, hubunganku dengan ayahku tak baik. Bisa dibilang sangat buruk.” aku menarik napas gugup sebelum melanjutkan kalimatku. “Kami punya masalah dan...” mataku terpejam, tiba tiba merasa takut. “Kau tahu, aku di sini bukan murni karena keinginanku tapi karena Appa murka padaku dan mengusirku. Aku melakukan hal yang tak bisa diterimanya.”

Saat aku membuka mata, senyum Seulgi sudah lenyap dan ketakutanku semakin menjadi. Dia hanya menatapku tanpa ekspresi namun dekapan tangannya tetap erat, tak berubah sedikitpun. Aku sudah akan mengatakan alasan pengusiran yang dilakukan ayahku ketika Seulgi mengecup keningku, lama, membuat hatiku berdenyut perih. Semakin lama aku menyembunyikan ini, akan semakin sakit saat dia mengetahuinya nanti.

“Seul...”

“Nanti saja kalau kau belum siap mengatakannya.” dia menyela dan senyumnya kembali lagi. Tak selebar sebelumnya tapi cukup membuatku merasa lebih tenang.

Aku memeluknya, menyandarkan wajahku di ceruk lehernya sebentar sebelum kembali memandangnya dengan senyum tulus kali ini. “Sepertinya kau benar benar harus pulang, Mr. Kang.”

Seulgi terkekeh. “Bisa kau berhenti memanggilku Seulgi atau Mr. Kang?” dia mengecup hidungku. “Aku lebih suka panggilan Honey seperti malam itu.”

Dan wajahku langsung terasa panas. Bukannya saat itu dia sudah tidur? Bagaimana dia bisa tahu?

“Atau bisa juga panggilan sayang yang lain. Atau panggil yeobo sekalian juga boleh.” godanya menaikturunkan alis.

“Maumu.” dengusku.

Dia tertawa lalu mengangkatku ke meja. “Kenapa memangnya? Toh sekarang kau memang calon istriku.”

Kutarik hidungnya. “Sebaiknya kau pulang karena sepertinya kau mulai melantur tak jelas.”

“Siapa bilang aku melantur? Aku sangat sadar sekarang.” dia mengecup pipiku lalu beralih ke rahangku. “Aku menciummu sekarang dan aku sadar dengan apa yang kulakukan.”

Bibirnya bergerak menyentuh telingaku dan mengecup kulit di bawah cuping telingaku, membuat rambut di sekujur tubuhku meremang. Tak lama kurasakan dia menyentuh leherku, memberiku beberapa kecupan sebelum turun menuju bahu. Kupegangi kedua lengannya, sebagian diriku ingin menghentikannya namun sebagian yang lain tidak dan memilih menikmati sentuhan bibirnya di kulitku.

Karena merasa aku tak menghentikannya, Seulgi kembali bermain di leherku. Kedua tangannya memang masih berada di bibir meja, namun bibirnya mulai berani. Dia menciumi semua bagian leherku hingga akhirnya aku tak sanggup menahan desahanku. Kami harusnya tak melakukan ini, tapi aku juga tak kuasa menghentikannya. Lebih buruk aku sangat menikmatinya.

“Hyun.”

“Hm

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
hi_uuji
#1
Chapter 18: Smile from ear to ear 😭💖😬 GEMASSSS bakal gamon sih sama kekacauan Jeno Jaehyun 😖😖😖 thanks a lot for this heart warning work!
hi_uuji
#2
Chapter 15: AAAAAAAAA GUXHFJDUGGSTSGUC
hi_uuji
#3
Chapter 9: Sumpah ini udah kacau sih 😬😬
ephemeral24_ #4
Chapter 18: mantap ini cerita kedua yg aku baca👍🏻🤩
Boywithluv_ #5
Chapter 18: Gila ini keren bget ?
jasonds #6
Chapter 18: Nice Store banget
Jiyeonnie13
#7
Chapter 18: lanjut ke berumah tangga, maybe? :D
need sequel authornim
Brewingthebear
#8
Chapter 18: Huwaaaa~ udahan story nya... akirnya mereka bersatu di pelaminan xD ada lanjutanya lg ga nih thor???
royalfamily31 #9
Chapter 18: Akhirnyaaaaa happy ever after.. uwuuuu
Thx banget author nim udah nulis cerita serealistis ini. Semua karya author cucok semua, mantuull..

Aku suka banget karakter seulrene disini, terutama irene. Karakter irene buat aku karakter yg realistis banget, agak drama memang, tp ya itulah hidup. Kita cuma bisa melihat dari sudut pandang kita dgn berbagai kerumitan dan konflik batin.

Thx u authornim, ku selalu menunggu update terbarumu hehe.. *genben seulrene lg pleaaseee
JungHi0225 #10
Chapter 18: Ohmygod gw bahagia bgt bacanya. Rasanya nano2 chap trakhir ini. Sedih, seneng, bangga jd satu. Thx u thor udh bikin cerita indah yg selalu gw tunggu. Mdh2n ada sequel stlh menikah. Ngelunjak bgt gw wkwkwk