Chapter 3

Second Chance
Please Subscribe to read the full chapter

Kalau ada waktu, nanti typo dkk akan saya coba benerin.

Thank you.

 

Kenapa Tuhan menjadikanku setangguh ini sehingga cobaan terus datang bertubi tubi.

Seharian itu kepalaku dibuat sakit gara gara masalah yang dibuat Lucas. Untungnya Kepala Sekolah mau berbaik hati dan lebih mendengar omonganku ketimbang Mrs. Lee. Kalau tidak, aku yakin Lucas pasti sudah kena skors, yang pastinya membuat rasa bersalahku semakin bertambah mengingat hukuman yang diterimanya karenaku.

Moodku rusak parah dan sepertinya tak ada yang bisa memperbaikinya selain waktu. Tak ku gubris candaan teman temanku dan lebih memilih menyendiri di perpustakaan setelah jam mengajarku usai. Emosiku sedang tak stabil dan aku takut apa yang akan kulakukan atau katakan nanti bisa menyakiti siapapun yang sedang bersamaku.

Wanita murahan.

Wanita jalang.

Dua sebutan itu membuatku teringat kembali seperti apa diriku. Kenapa aku bisa seperti ini, berada di sini, dengan keadaan menyedihkan seperti ini. Meskipun kejadiannya sudah berlalu hampir 8 tahun, tapi semuanya masih membekas jelas diingatanku.

Bagaimana tamparan Ayah jauh lebih menyakiti hati daripada pipiku.

Bagaimana beliau mengusirku dan tak sudi menganggapku sebagai anak. Berkata aku menjijikkan, yang membuatku pernah hancur lebih dari yang bisa kubayangkan.

Aku tahu seperti apa rasanya putus asa. Aku tahu bagaimana ketika keputusasaan itu menang yang membuatku hampir mengakhiri hidup. Beruntung Jaehyun menemukanku saat itu. Kalau tidak, mungkin sekarang aku sudah terkubur jauh di dalam tanah, menyisakan tulang belulang setelah jasadku habis dimakan belatung.

Bisa seperti sekarang benar benar sebuah keajaiban. Seperti sebuah kesempatan kedua yang diberikan Tuhan padaku untuk memperbaiki diri. Meskipun perasaan jijik, merasa kotor, merasa sangat hina itu tak pernah pergi. Tapi ku pikir, itulah yang memotivasiku untuk bisa seperti sekarang dan keinginan untuk lebih baik itu tak pernah surut.

Aku seorang pendosa.

Seseorang yang tahu dan sadar akan sebuah dosa namun masih berani melakukannya hanya karena dibutakan cinta yang semu. Cinta yang sekarang kuyakini bukanlah cinta, tapi obsesi napsu semata. Bahkan seorang pelacur pun akan terlihat lebih mulia jika berhadapan denganku. Setidaknya mereka hanya sosok sosok yang terpaksa mencari uang dengan jalan yang salah dan bukan wanita murahan sepertiku yang berani menjalin cinta dengan sesama wanita tanpa pernah bertemu sebelumnya.

Yeah, aku setolol itu sehingga ayahku lebih memilih menganggapku mati ketika dia mendengarku melakukan phone dengan wanita itu.

Aku kotor.

Aku hina.

Dan aku menyesalinya.

 

***

 

“Entah kenapa kalau melihat tampangmu aku merasa kesal sendiri. Gemas.” gerutu Yongsun menyobek plastik kopi instan dan menuangkannya ke cangkir yang sudah berisi air panas. “Tak masalah kalau belum bisa memoles diri, aku masih bisa terima. Tapi tampang dengan kelakuanmu tidak bisa ditolerir.”

“Kenapa?”

Yongsun mendengus sambil mengaduk kopinya. “Tak aneh kau masih sendiri hingga sekarang.”

“Apa?” tanyaku lagi mulai sebal.

“Sekali sekali cobalah kelihatan lebih seperti wanita sungguhan. Dan stop berlagak angkuh seolah kau tak perlu pendamping.”

Lama lama ibu dua anak ini membuatku ingin menggeplak kepalanya dengan gelas kosong di tanganku. “Wae? Menyuruhku pamer kelemahan di depan laki laki? Over Chorongie dead body, no way, Kim Yongsun! Dasar sinting.”

Yongsun memukulkan sendok kopinya ke dahiku, yang membuatku semakin kesal. “Bukan begitu juga, Baechi.” sahutnya tak kalah gusar. Mungkin mulai putus asa memiliki teman berkepala batu sepertiku.

“Lantas? Kau memintaku berdandan cantik, dengan lipstik merah seperti vampire yang baru selesai menghisap darah kemudian berjalan anggun seperti sedang di atas catwalk sambil menggoyangkan pinggul, obral diri di pinggir jalan, begitu maksudmu?”

Yongsun melotot padaku. “Kalau bukan teman, mungkin kau sudah kutendang ke Alcatraz sana. Kadar menyebalkanmu sudah masuk tahap kriminalitas kelas atas. Itu mulut juga sepertinya perlu dilakban.” semprot Yongsun yang kubalas dengan menendang kakinya di bawah meja. “Apa kau pernah sadar kau itu cantik, Hyun. Hanya tampilan dan kelakuan ajaibmu yang membuat laki laki langsung kabur. Mereka takut jadi pengangguran kalau pacaran denganmu.”

“Maksudnya?”

Yongsun memutar bola mata. Tanda tanda dia mulai bersiap mengibarkan bendera putih. “Setiap didekati laki laki, kau menjauh. Diberi perhatian kau bilang berlebihan. Bagaimana nyali mereka tidak ciut? Yang tidak kabur melihatmu cuma supir bus.” selorohnya mulai mengeluarkan kata kata sadisnya seperti biasa.

Aku terdiam. Kami sudah sering membahas ini namun sisi angkuhku masih belum bisa menerimanya.

Beberapa kali aku dekat dengan laki laki, yang jujur awalnya selalu membuatku tertarik. Tapi entah kenapa semuanya berakhir sama. Aku mulai merasa bosan, mulai malas mengobrol atau membalas chat yang masuk yang membuat mereka pergi dengan sendirinya.

Bisa dikatakan aku menunggu apa yang Yongsun atau temanku yang lain katakan. Kalau suatu saat aku bertemu seseorang yang benar benar ku sukai, benar benar untukku, maka semua perasaan bosan dan malas itu akan sirna. Tak akan ada lagi rasa jengah. Yang kurasakan justru ingin terus bersamanya. Sayangnya selama ini aku tak pernah merasakan itu. Tidak setelah hubungan terlarangku dengannya.

“Ada apa sebenarnya denganmu? Ini ditolak, itu ditolak. Laki laki seperti apa yang kau mau, Hyun? Kau tidak berniat jadi perawan sampai mati, kan?” tanya Yongsun tanpa prikemanusiaan.

“Tentu saja tidak.”

“Lalu masalahnya di mana? Kau bukan... Salah satu dari mereka, kan?” tanya Yongsun lagi. Namun saat aku hendak membuka mulut, dia sudah lebih dulu menyela, membuyarkan pikiranku. “No. Aku muak mendengar alasan tak masuk akal seperti biasa jadi kalau kau hanya ingin menjawab dengan jawaban yang sama, lebih baik tutup saja mulutmu.”

Bibirku kembali terkatup rapat. Syukurlah dia tak melanjutkan pembahasan yang membuatku gugup itu. Kalau Yongsun sudah berkata begitu, artinya aku sudah tak punya alasan untuk bicara lagi.

Aku sudah bosan berbohong.

Bosan menutupi dosaku.

Terdengar helaan napas berat dari hidung Yongsun. Sepertinya dia mulai bisa menerka nerka kenapa aku memilih diam. Ku pikir waktu istirahat akan kami habiskan duduk berhadapan dalam diam, nyatanya aku salah. Hanya beberapa menit setelah aku berpikir dia mengerti, Yongsun kembali membuka suaranya.

“Rasanya sekarang kau sudah jarang bahkan tidak pernah membicarakan tentang mantanmu itu.” Yongsun memberikan penekanan pada kata mantan sekaligus membuat tanda kutip dengan jarinya.

Dulu mungkin aku masih malu dan protes, berontak dengan pemilihan nama yang disebutnya, namin sekarang sudah tak terlalu. Malu mungkin masih ada, tapi aku tak lagi menampik.

“Ada kalanya aku merasa dia baik dan normal. Tapi ada kalanya dia benar benar terlihat menjijikkan. Bagaimana bisa dia meretweet gambar tak senonoh seperti itu. Seriously, bagaimana kau bisa berteman dengan orang seperti dia?”

Ah ternyata dia masih belum memblokir Jennie. Aku memilih diam, tak ingin berkomentar.

“Aku tak habis pikir dengan orang orang seperti dia.”

Jantungku berdegup sedikit lebih cepat mendengar ucapan Yongsun. Kadang kalimat seperti itulah yang membuat hatiku menciut untuk mengakui yang sebenarnya, untuk berhenti berbohong atau mengelak dari apa yang sebenarnya terjadi.

“Untung saja rumahnya lumayan jauh, kalau tidak, kau sudah jadi boneka penyalur hasrat seksnya.” tukas Yongsun menyeruput kopinya yang mungkin sudah dingin dengan sorot mata tajam.

Aku meringis, tersenyum kaku, jauh lebih gugup dari tebakannya sebelumnya. Mungkin banyak yang sudah ku ceritakan padanya tapi tak sepenuhnya jujur. Masih banyak hal yang belum bisa, atau lebih tepatnya tak bisa, untuk kubagi dengan siapapun. Aku masih belum siap menerima penilaian orang orang atas semua dosa yang sudah ku lakukan. “Hm, syukurnya.” balasku seadanya.

Jujur celotehan Yongsun membuatku bergidik ngeri. Aku tak bisa membayangkan harta yang selama ini ku jaga, kehormatanku, yang bahkan membuatku tensiku mendadak naik setiap mendengar atau membaca berita berita asusila di media, rusak oleh jari seorang wanita. Lebih buruk terenggut oleh toys.

“Serius, Hyun, aku masih bingung bagaimana kalian bisa berteman. Begitu dekat malah. Bahkan pacaran.”

Kata terakhirnya membuatku meremang. Aku tahu dia tak serius mengatakannya tapi tetap saja aku merasa lemas. Itulah dosa yang kusandang hingga sekarang. Yang tak ingin ku ingat walaupun tak akan kesampaian karena dosa itu, penyesalan itu, akan ku bawa seumur hidupku bahkan hingga aku mati. Adakalanya aku ingin menceritakannya, jujur pada seseorang, tapi seperti yang kukatakan sebelumnya, rasa takut akan pandangan orang padaku menggoyahkan nyaliku seketika. Namun aku yakin suatu saat semua orang akan tahu. Kalau bukan dariku, entah dari siapa. Aku hanya menunggu waktu membongkar seburuk apa masa laluku, membiarkan semua orang mencaci, mengumpat, memandang jijik padaku hingga aku hancur dengan sendirinya. Mati oleh kebodohaku sendiri.

Bel tanda istirahat usai berbunyi, membuat sesak di dadaku karena ucapan Yongsun sedikit berkurang. Aku berdiri yang diikuti oleh Yongsun, mencuci gelas dan cangkir yang baru saja kami gunakan kemudian keluar dari pantry. Kulihat Wendy tersenyum dan berjalan ke arahku dan Yongsun.

“Ada kelas?” tanya Wendy.

Aku mengangguk. “Kelasku. Kau?”

“Baru kelar dari sana malah.” jawabnya.

Alisku mengernyit. “Wae?”

“Biasa, kelasmu. Berisiknya mengalahkan supporter sepak bola. Membuatku kesal jadi yeah...” Wendy menggoyangkan bahunya.

“Bagus. Sekalian omeli wali kelasnya.” Yongsun melirikku.

Wendy tertawa sementara aku hanya melengos kemudian berjalan lebih dulu. Tak lupa berterimakasih sekaligus minta maaf pada Wendy atas kelakuan anak muridku.

“Apa kau makan spicy buldak setiap hari?” tanyaku saat teman bermulut sadisku ini berjalan di sampingku menuju ke ruang guru.

“Tidak. Kenapa memangnya?”

“Mulutmu pedas, panas, minta ditampar dengan balok es.” sungutku mengambil beberapa buku di meja lalu berjalan keluar.

Yongsun mendengus seraya mengikuti langkah kakiku. Dia berhenti lebih dulu karena sudah sampai di depan kelas terakhirnya hari itu. “Bye, Hyun.” Yongsun melambai kecil sebelum masuk ke kelasnya.

“Bye.” balasku berjalan pelan, melewati 3 ruangan setelah kelas Yongsun. Kelas yang tadi dihukum Wendy. Kelas yang paling ribut menurutnya.

Kelasku.

Anak anak muridku.

Yang sialnya begitu ku sayangi.

Sebelum masuk kelas, ku pandangi mereka semua dengan seksama dari depan pintu. Memang tidak satu satu. Tapi cukup untuk membuat mereka mengerti kalau aku ingin mereka yang belum rapi, merapikan diri terlebih dulu dan kembali ke mejanya masing masing sebelum aku masuk kelas. “Sanghyuk.”

Mengerti kenapa aku memanggilnya, Hyuk berdiri tegap, memberikan aba aba pada yang lain untuk ikut berdiri dan mengucapkan salam padaku. Setelah memberikan salam balasan, mereka duduk kembali. Ku akui kelasku ini memang tak serapi kelas yang lain, tak setenang kelas kelas di sebelahnya, namun dibalik kekurangan itu mereka mengajarkan banyak hal padaku tentang tanggung jawab.

Awalnya mungkin aku kesal karena Kepala Sekolah kami yang tercinta itu, Mr. Choi Siwon Yang Terhormat, memilihku untuk menjadi wali kelas mereka. Namun setelah 4 bulan menjadi wali kelas mereka, mendengarkan keluh kesah mereka, penilaianku berubah. Dan seandainya diberi kesemptan untuk memilih ulang, kupastikan aku tetap akan memilih menjadi wali kelas mereka.

Mereka suka membangkang? Ya.

Susah diatur? Sangat.

Ribut? Jangan tanya. Ucapan Wendy tak meleset sedikitpun.

Usil? Jahil? Semua guru di sekolah ini pasti akan menjawab ya, termasuk aku, terlebih Mrs. Lee, walaupun mereka anak anak muridku.

Kesan pertamaku melihat mereka adalah anak anak nakal. Bebal. Tapi aku percaya bagaimanapun sifat dan sikap manusia, semua ada alasan yang mendasari kenapa mereka seperti itu. Dan sejujurnya, bukan karena aku wali kelas mereka, aku yakin tak ada yang akan menyangkal kalau kebanyakan dari mereka ini adalah anak anak de

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
hi_uuji
#1
Chapter 18: Smile from ear to ear 😭💖😬 GEMASSSS bakal gamon sih sama kekacauan Jeno Jaehyun 😖😖😖 thanks a lot for this heart warning work!
hi_uuji
#2
Chapter 15: AAAAAAAAA GUXHFJDUGGSTSGUC
hi_uuji
#3
Chapter 9: Sumpah ini udah kacau sih 😬😬
ephemeral24_ #4
Chapter 18: mantap ini cerita kedua yg aku baca👍🏻🤩
Boywithluv_ #5
Chapter 18: Gila ini keren bget ?
jasonds #6
Chapter 18: Nice Store banget
Jiyeonnie13
#7
Chapter 18: lanjut ke berumah tangga, maybe? :D
need sequel authornim
Brewingthebear
#8
Chapter 18: Huwaaaa~ udahan story nya... akirnya mereka bersatu di pelaminan xD ada lanjutanya lg ga nih thor???
royalfamily31 #9
Chapter 18: Akhirnyaaaaa happy ever after.. uwuuuu
Thx banget author nim udah nulis cerita serealistis ini. Semua karya author cucok semua, mantuull..

Aku suka banget karakter seulrene disini, terutama irene. Karakter irene buat aku karakter yg realistis banget, agak drama memang, tp ya itulah hidup. Kita cuma bisa melihat dari sudut pandang kita dgn berbagai kerumitan dan konflik batin.

Thx u authornim, ku selalu menunggu update terbarumu hehe.. *genben seulrene lg pleaaseee
JungHi0225 #10
Chapter 18: Ohmygod gw bahagia bgt bacanya. Rasanya nano2 chap trakhir ini. Sedih, seneng, bangga jd satu. Thx u thor udh bikin cerita indah yg selalu gw tunggu. Mdh2n ada sequel stlh menikah. Ngelunjak bgt gw wkwkwk