Chapter 12

Second Chance
Please Subscribe to read the full chapter

 

“Hyung bilang beberapa hari yang lalu kau ke rumah.”

Tak kugubris ucapan Jeno yang baru saja lewat di belakang sofa tempatku duduk nonton tv sambil menyantap sepotong pizza. Aku sedang tak ingin membicarakan apapun, dengan siapapun tak terkecuali dia.

“Kenapa tidak bilang? Kan aku bisa ikut untuk membantu Appa memanggangmu hidup hidup di depan Seulgi.”

Kulemparkan bantalan kursi ke wajah Jeno ketika pantat kebanggaannya baru mendarat di sofa yang membuatnya mengerang namun tak melemparku balik. Dia memandangku, kemudian ke box pizza di meja, lalu kembali padaku. Alisnya mengernyit dalam sebelum matanya beralih ke tv di depan kami.

“Seburuk itu?” tanya Jeno tanpa menoleh.

Aku tak menjawab dan memilih menghabiskan potongan pizzaku. “Kata Hyung...”

“Aku ngantuk.” selaku berdiri dari sofa dan berlalu begitu saja menuju kamar. Syukurnya anak itu membiarkanku.

Aku meraih ponsel yang tergeletak di lantai sebelum menghempaskan tubuhku di sofa. Entah sudah berapa kali aku memeriksa ponselku hanya untuk melihat apakah puluhan pesan yang ku kirim untuk Seulgi akhirnya mendapatkan balasan atau tidak. Sayang hasilnya masih sama. Seulgi membacanya namun tak membalasnya satupun. Telponku juga tak pernah diangkatnya yang membuatku semakin frustasi. Padahal aku hanya ingin bicara, menjelaskan seperti apa hubunganku dan Jennie karena sejak aku mengakui rahasiaku di depannya malam itu, kami tak pernah bicara lagi. Seulgi terus diam. Dia benar benar mengabaikanku seolah aku tak pernah ada.

Mataku menghangat saat melihat fotonya di galeri ponselku. Memang tak banyak, hanya beberapa. Itupun foto yang kuambil diam diam. Seulgi bilang dia tak suka difoto karena menurutnya dia terlihat sangat jelek. Pernah suatu ketika dia mendapati aku tengah memgambil fotonya. Seulgi langsung mengambil ponselku dan menghapusnya bahkan tanpa melirik padaku. Tapi itulah yang membuat fotonya terasa sangat berarti untukku.

“Hyun.”

Anak itu lagi. “Kau tak mengerti saat kubilang aku ngantuk artinya aku sedang ingin sendiri?”

Kalau Jaehyun, dia pasti sudah minta maaf dan keluar dari kamarku tapi sayang anak ini bukan Jaehyun.

“Kau bertengkar dengan Seulgi?”

“Apa yang tidak kau mengerti dari kata kata aku sedang ingin sendiri?”

Anak bengal itu malah mendekatiku, berdiri dengan tangan terlipat di dada. “Kalau kau ingin sendiri, sudah dari tadi kau mengusirku.” sahutnya ketus kemudian duduk bersila di lantai. “Kalau bukan saudara, sudah kusiram cuka kepalamu. Barangkali kepala batumu bisa melunak.”

Aku berbaring memunggungi Jeno.

“Joohyun.”

Kuabaikan panggilannya yang membuat Jeno menghela napas panjang dan berat, tak lagi memaksaku untuk bicara.

Hening menyelimuti kami berdua. Rasanya benar benar membosankan. Aku takjub karena Jeno tak beranjak dan masih setia menemaniku meskipun aku sudah bicara ketus padanya.

“Aku mengatakannya.” akhirnya aku membuka suara.

“Apa?”

“Tentang Jennie.”

“Lalu apa tanggapan Seulgi?” tanya Jeno tanpa nada terkejut. Sepertinya dia sudah menduganya.

“Dia mendiamkanku hingga sekarang.” jawabku lirih. “Seandainya kau jadi Seulgi, apa kau juga akan melakukan ini?”

Jeno tak langsung menjawab yang membuatku meliriknya dari sudut mataku.

Dia memutar tubuh dan bersandar di sofa. “Entahlah.”

Aku tersenyum getir. Kalau aku jadi Seulgi juga tentu aku butuh waktu untuk menerima kenyataan kalau ternyata pasanganku berbeda dari orang kebanyakan.

“Mungkin dia hanya butuh waktu.”

“Sampai kapan?”

“Aku tak tahu.” jawab Jeno pelan.

Aku diam sesaat lalu membalik tubuhku ke arahnya. “Apa menurutmu Seulgi akan memaafkanku?”

“Aku tak tahu.”

“Apa menurutmu dia bisa menerimaku?”

“Aku tak tahu.”

“Apa menurutmu... Aku bisa menikah dengan Seulgi?”

“Damn it, Joohyun. Aku tidak tahu, oke? Berhenti bertanya!” sahutnya gusar.

Aku kembali memutar tubuh dan memunggungi Jeno. Bibirku bergetar menahan tangis. “Jeno.”

“Hm.”

“Salah kalau aku masih berharap bisa menikah dengannya?”

Jeno tak menjawab dan hanya memelukku.

 

***

 

“Hei, Bae, kau mau makan apa?”

Jaehyun berdecak. “Terserahmu, Bae. Kau yang mentraktir.”

Giliranku yang berdecak. “Pizza?”

Alisnya mengernyit. “Lagi?”

“Jangan seperti perempuan. Tadi kau bilang terserahku. Kenapa sekarang protes?” tanyaku menatap datar yang dibalas Jaehyun dengan mimik serupa.

“Sorry, tertular saudara perempuanku satu satunya.” balasnya memberi penekanan pada kata perempuan sambil menatapku bosan yang langsung kuhadiahi tinju kecil di lengannya. “Oke, pizza.”

Aku tersenyum penuh kemenangan lalu menarik tangannya dan menyeretnya ke tempat makan yang hanya beberapa meter dari kami. Sebenarnya karena jarak juga yang membuatku menyarankan makanan itu karena aku sudah agak lelah setelah berputar putar beberapa jam di pusat perbelanjaan ini.

“Mau yang mana?” tanyaku mengajaknya melihat menu.

“Terserah saja.”

Aku melirik sadis padanya. “Oke. Tapi protes sekali lagi, kuhajar betulan kau.”

“Kadang aku berpikir Umma keliru antara aku atau kau yang lahir bersama Jeno.”

Kusempatkan menginjak kakinya sebelum memesan, mengabaikam Jaehyun yang tampangnya sedikit meringis karena injakan mautku.

“Astaga, Noona! Kau benar benar brutal!” pekiknya tertahan.

Aku hanya memberinya senyuman manis yang membuat Jaehyun mendengus kesal sebelum mengajaknya bicara sambil menunggu pesanan kami. Tak banyak yang kutanyakan, hanya seputar pekerjaan dan kehidupan sehari harinya bersama Jeno. Kadang aku ingin bertanya tentang urusan pribadi kedua adikku ini, misalnya tentang kehidupan cinta mereka, karena selama ini tak satupun dari mereka yang terdengar tengah menyukai atau setidaknya dekat dengan seseorang. Bukan karena mereka adikku, tapi jujur saja kedua makhluk menyebalkan ini punya wajah yang luar biasa menarik. Apalagi Jeno. Tampang bengalnya biasanya disukai gadis gadis remaja yang tentu akan menaikkan egonya untuk menjadi seorang playboy brengsek. Tapi nyatanya kehidupan cinta mereka sepi.

“Biasanya di Rumah Sakit banyak dokter muda yang cantik.”

Jaehyun hanya berdehem pelan.

“Ada yang kau sukai?” tanyaku dan dia menggeleng. “Kenapa? Tak ada yang menarik?”

“Banyak.” jawabnya.

Kutahan sebentar pertanyaanku berikutnya ketika makanan kami datang dan melanjutkannya setelah pelayan yang mengantarnya menjauh dari sisiku. “Lalu?”

“Yang cantik dan menarik banyak, tapi belum ada yang membuatku merasa tertarik.”

“Kenapa?”

“Karena kebanyakan dari mereka terlalu baik dan terlalu ramah. Tak ada yang mengerikan sepertimu.”

Tingkat kurang ajar anak ini sudah mulai menyamai Jeno rupanya. “Thank you.” sahutku masam.

“Aku perlu sesuatu yang membuatku tertarik. Jadi ada keinginan untuk lebih mengenal orang itu.”

Aku mengangguk pelan sambil menikmati potongan pizza ubiku. Jaehyun tak salah. Terkadang kita menyukai seseorang bukan karena orang itu menarik, tapi karena membuat kita tertarik. Dan alasan ketertarikan itu tentunya berbeda untuk setiap orang.

“Perempuan seperti apa yang membuatmu tertarik?” tanyaku penasaran.

Jaehyun tersenyum tipis. “Yang tak terlalu baik.”

“Huh?”

“Seimbang antara baik pada orang lain dan baik pada dirinya sendiri. Aku tak suka perempuan yang hanya menurut dengan apa yang kukatakan. Dia harus berani melawan kalau memang aku salah, bisa berdiri sendiri tanpa harus menunggu bantuanku setiap saat.”

Sepertinya aku bisa membayangkan seperti apa wanita pujaannya. “Kalau terlalu mandiri, kau justru akan jadi pengangguran pacaran dengannya.”

“Kan kubilang seimbang.” sahutnya cepat. “Ada saatnya dia mampu melakukannya sendiri tapi tetap meminta bantuanku.”

Aku mengangguk kecil. “Susah juga mencari wanita begitu.”

“Noona benar. Kadang orang orang seperti itu memang tak menyadari sehebat apa mereka. Sama seperti wanita yang ku kenal ini, yang membuatku begitu kagum hingga aku juga ingin bisa mendapatkan yang sama sepertinya.” dia tersenyum seraya mengunyah pizzanya.

“Kalau begitu kenapa tidak kau dekati saja dia?”

“Tak bisa.”

“Kenapa?”

“Ya karena tak bisa.” jawabnya menggoyangkan bahu.

Aku berdecak. “Jeno bagaimana?”

Jaehyun menghela napas pelan. “Jangankan mengurusi wanita, mengurus dirinya sendiri saja dia sudah kerepotan. Kadang dia jauh lebih tak punya waktu daripada aku.”

“Untunglah kalian tinggal bersama. Setidaknya bisa menjaga satu sama lain.”

“Hm. Untung saja.” sahutnya menggigit potongan kedua pizzanya. Baru beberapa kunyahan, alisnya terangkat lalu memperhatikan pizza besar yang kupesan. Sepertinya baru menyadari apa yang dimakannya sejak tadi. “Ini pizza ubi?!”

Senyumku langsung melebar. Bisa lambat juga anak ini. Dari tadi tak menyadari yang dimakannya sesuatu yang manis.

Tampangnya berubah datar. “Percuma kau mengajakku makan pizza kalau ujung ujungnya tetap makan dari labu dan ubi.”

“Mau bagaimana lagi. Aku suka.” cengirku tanpa dosa. “Dan jangan protes karena kau bilang terserah.”

“Whatever.” balasnya memutar bola mata.

Aku hanya tertawa sambil menikmati pesanan kami. Namun kesenanganku tak berlangsung lama ketika suara teriakan anak kecil yang sangat ku kenal menggema di telingaku.

“Bu Joohyun!”

Sontak aku dan Jaehyun menoleh. Darah berdesir di sekujur tubuhku ketika melihat seseorang yang datang bersama gadis itu. Setelah tak ada kontak dan tak bertemu selama beberapa hari, bisa melihatnya rasanya seperti mendapatkan piala meskipun kalah dalam permainan.

Aku dan Jaehyun bangun, menyapa ayah dan anak itu ramah meskipun Seulgi hanya tersenyum seadanya. Tanpa meminta persetujuan ayahnya, Yerim langsung duduk di dekatku dan meminta Seulgi juga ikut duduk di meja kami. Sesak rasanya karena sepertinya Seulgi tak senang berada di dekatku namun kami tak bisa berbuat banyak. Tak mungkin aku atau Seulgi menolak permintaan anak itu.

Tak seperti ketika aku bertemu mereka dulu, kali ini ayah dan anak itu tak banyak memesan. Atau bisa kubilang, Seulgi yang kehilangan selera makan karena Yerim tetap makan seperti biasa dia makan, sangat lahap. Sebenarnya aku ingin mengajak Seulgi bicara tapi takut diabaikan sehingga aku memilih mendengarkan celotehan Yerim.

“Telan dulu makanannya.” tegurku mengusap sudut bibirnya.

Yerim hanya mengangguk pelan sambil cengengesan lalu berceloteh kembali yang membuatku tersenyum. Setidaknya anak ini bisa menghibur hatiku setelah dipatahkan oleh ayahnya.

Kuusap kepalanya, masih mendengarkan dia bercerita panjang lebar sementara Jaehyun menatapku khawatir. Kubalas tatapannya sambil menggeleng kecil, memberi adikku isyarat kalau aku baik baik saja.

Kami masih duduk dalam suasana canggung sambil mendengarkan cerita Yerim ketika anak itu menoleh dan berteriak riang.

“Auntie Soo!”

Aku menoleh ke arah pandangan Yerim dan melihat sesosok wanita bertubuh semampai berjalan ke meja kami dengan senyum lebar. Rambut hitamnya terlihat kontras dengan kulitnya yang putih bersih. Lipstik merah dan ekspresinya wajahnya membuatnya terlihat begitu seksi. Benar benar sosok wanita sempurna.

“Oh halo, Yerimie.”

Yerim bergegas turun dari kursi untuk memeluk wanita itu. “Auntie mau ikut makan?”

Wanita itu tersenyum padaku dan Jaehyun kemudian memandang Seulgi yang langsung berdiri memegang tangannya dan membawanya duduk bersama kami.

Aku langsung membuang muka. Tak kupungkiri, gesture itu membuatku cemburu. Terlebih melihat mereka mengobrol. Bagaimana tidak, setelah berhari hari tak ada kontak, aku harus melihat pria yang kucintai bersikap seramah itu pada perempuan cantik. Jelas hatiku tak terima.

“Auntie, Auntie, ini Bu Joohyun. Itu...”

Yerim terlihat bingung. Dia menatapku dengan mata polosnya. Mungkin baru menyadari aura Jaehyun berbeda dengan pria yang dulu mengajaknya bicara. Wajar saja dia bingung karena aku belum mengenalkannya pada Jaehyun. Dia belum tahu kalau yang dulu datang ke pesta ulang tahunnya bukan Jeno.

“Jaehyun.” sahut Jaehyun tersenyum pada wanita yang bernama Park Sooyoung itu kemudian memandang Yerim. “Aku saudara kembarnya Jeno.”

Mulut Yerim membulat.

Aku tak tahu bagaimana harus bersikap saat itu dan memilih diam sambil memandang pizzaku yang sudah terbengkalai. Napsu makanku sudah lenyap. Entah bagaimana aku harus melewati situasi seperti ini. Yang pasti setelah kejadian ini, aku tahu sesuatu yang lain akan terjadi.

 

***

 

Sudah berhari hari sejak kejadian di tempat pizza kemarin dan aku berhenti menghubungi Seulgi. Lagipula toh semua percuma karena Seulgi juga tak pernah membalas puluhan pesanku. Panggilanku juga selalu diabaikannya. Sayangnya meskipun aku masih merasa cemburu dengan kejadian waktu itu, tapi tetap saja rinduku padanya tak pernah surut. Malah kupikir semakin aku kesal, semakin aku berusaha marah, rasa rindu itu justru terus bertambah. Dasar sial.

Kepalaku sakit memikirkan hubungan kami yang tak jelas kemana arahnya. Aku merasa digantung. Dikatakan kami masih punya status namun rasanya janggal karena Seulgi jelas jelas menolak kehadiranku meskipun cincin ini masih menghias jariku. Tapi dikatakan hubungan ini sudah berakhir juga tidak karena tak pernah ada kata putus darinya. Walaupun sebenarnya tak ada bedanya putus atau tidak karena Seulgi bersikap seolah aku tak terlihat dan kami tak pernah kenal. Sakit memang, tapi aku sadar ini risiko yang harus kuterima.

Bermodal keberanian setipis helaian kertas seraya menebalkan muka, aku mendatangi rumah Seulgi. Aku tahu ini tak benar, tapi aku tak sanggup lagi menghadapi diam yang diberikannya. Aku perlu tahu kejelasan hubungan ini. Aku tak ingin terus mengharap sesuatu yang memang sudah tak lagi ada.

“Bu Joohyun!”

Senyum tipis tersungging di bibirku melihat gadis kecil itu berlari ke arahku lalu memeluk erat pinggangku. Kubalas pelukannya sambil mengecup ujung kepalanya dan dia tersenyum sumringah padaku. “Hai.”

“Bu Joohyun kenapa tidak pernah datang lagi? Yerim rindu Bu Joohyun.”

“Sorry, Baby. Ibu sibuk akhir akhir ini.” agak sedih juga karena aku harus membohongi anak ini. “Mana Appa?”

“Di ruang kerjanya.” jawab Yerim merengut.

Kucubit pipinya. “Ibu ada urusan dengan Appa. Tak apa ibu tinggal dulu?”

Anak itu mengangguk tapi wajahnya masih merengut.

“Nanti setelah selesai dengan Appa, ibu temani Yerim, bagaimana?”

Wajahnya kembali sumringah sambil mengangguk cepat.

“Ya sudah, sana lanjut nontonnya.” kucium pipinya dan bergegas ke ruang kerja Seulgi.

Dadaku berdetak begitu cepat bahkan telapak tanganku sedikit basah karena gugup. Kuketuk pintu hingga terdengar suara Seulgi mengizinkan untuk masuk. Perlahan kuputar gagang pintu dan jantungku seakan mau meledak karena gugup bercampur takut.

“Seul.” panggilku menutup pintu.

Seulgi yang tadinya masih serius menatap dokumen di tangannya langsung mendongak. Dia memandangku sebentar sebelum meletakkan dokumen itu ke meja dan memutar kursinya. Sepertinya dia benar benar jijik padaku.

“Bisa kita bicara?”

“Tidak.”

“Sebentar saja.” mohonku.

“Tidak.”

“Seulgi, please...”

“Pula

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
hi_uuji
#1
Chapter 18: Smile from ear to ear 😭💖😬 GEMASSSS bakal gamon sih sama kekacauan Jeno Jaehyun 😖😖😖 thanks a lot for this heart warning work!
hi_uuji
#2
Chapter 15: AAAAAAAAA GUXHFJDUGGSTSGUC
hi_uuji
#3
Chapter 9: Sumpah ini udah kacau sih 😬😬
ephemeral24_ #4
Chapter 18: mantap ini cerita kedua yg aku baca👍🏻🤩
Boywithluv_ #5
Chapter 18: Gila ini keren bget ?
jasonds #6
Chapter 18: Nice Store banget
Jiyeonnie13
#7
Chapter 18: lanjut ke berumah tangga, maybe? :D
need sequel authornim
Brewingthebear
#8
Chapter 18: Huwaaaa~ udahan story nya... akirnya mereka bersatu di pelaminan xD ada lanjutanya lg ga nih thor???
royalfamily31 #9
Chapter 18: Akhirnyaaaaa happy ever after.. uwuuuu
Thx banget author nim udah nulis cerita serealistis ini. Semua karya author cucok semua, mantuull..

Aku suka banget karakter seulrene disini, terutama irene. Karakter irene buat aku karakter yg realistis banget, agak drama memang, tp ya itulah hidup. Kita cuma bisa melihat dari sudut pandang kita dgn berbagai kerumitan dan konflik batin.

Thx u authornim, ku selalu menunggu update terbarumu hehe.. *genben seulrene lg pleaaseee
JungHi0225 #10
Chapter 18: Ohmygod gw bahagia bgt bacanya. Rasanya nano2 chap trakhir ini. Sedih, seneng, bangga jd satu. Thx u thor udh bikin cerita indah yg selalu gw tunggu. Mdh2n ada sequel stlh menikah. Ngelunjak bgt gw wkwkwk