Chapter 14

Second Chance
Please Subscribe to read the full chapter

Padahal awalnya mau dikelarin nggak lebih dari 15 chapter. Tapi sampai chapter kemarin sepertinya saya salah perkiraan. Mohon dimaklumi. Yg nulis suka lupaan.

Semoga yg chapter sebelumnya penasaran sekarang sudah nggak lagi.

 

Suara teriakan membangunkanku pagi itu. Entah teriakan siapa. Kepalaku masih berat untuk dibawa bangun sehingga aku memilih menenangkan diri sejenak sebelum membuka mata. Kupijat keningku yang terasa pening sambil menarik selimut. Namun beberapa detik kemudian mataku sontak terbuka lebar. Wangi ini terlalu maskulin untuk kamarku. Selain itu bau parfum kedua adikku juga tak seperti ini. Bergegas aku bangun dan termangu melihat wajah seseorang di depanku.

“Hei.” sapanya tersenyum.

Otakku masih mencerna dengan semua keganjilan yang kurasakan pagi ini. Dari terbangun bukan di kamarku sendiri sampai mendapati Seulgi yang kini menatapku dengan senyum hangat dan mata teduhnya.

Apa yang terjadi?

“Kau di kamarku.” ucap Seulgi seolah mengerti kebingunganku dan mengusap tanganku.

Oh pantas saja. Tunggu dulu... What?

“Tenang saja, aku dan Umma sudah menghubungi kedua adikmu, jadi tak perlu cemas.”

“Bagaimana... Aku bisa di sini?” tanyaku masih bingung sembari memandangi diriku sendiri dan kembali menyadari sesuatu. “Ba-bajuku?” tanyaku sedikit gugup.

Seulgi tersenyum geli, sepertinya mengerti kenapa aku terbata. “Bibi yang menggantikan bajumu.” jawabnya. “Kau menangis sampai kelelahan dan tertidur.”

Oh. Wajahku sedikit panas karena berpikir yang bukan bukan tentangnya.

“Hyun.” Seulgi menggenggam tanganku dan mengecupnya lantas tersenyum.

Rasanya aku ingin memaki diriku. Setelah dia membuatku menangis berhari hari, hanya melihat senyum tulusnya membuat semua sakit yang kurasakan lenyap tak berbekas dan dadaku menghangat. Ya Tuhan, kenapa ketidakadilan ini harus menimpaku?

“Aku juga mencintaimu.”

Sialan. Tak cukup dia membuatku luluh dengan perlakuan lembutnya jadi harus membuatku olahraga jantung juga sepagi ini?

“Maaf karena marah.” kata katanya terdengar begitu tulus. “Maaf karena mendiamkanmu.” Seulgi menghela napas pelan. “Maaf karena menyakitimu. Maaf karena membuatmu berpikir kalau cinta ini hanya sepihak.” Seulgi kembali mengecup tanganku. “Maaf.”

Rasa haru menyeruak hingga membuat mataku berkaca kaca. Aku bisa merasakan kejujuran dari ucapannya, ketulusan maafnya, dan yang membuatku semakin luluh karena tak ada sedikitpun dari kata katanya yang berusaha untuk membela diri.

Aku menunduk, memandang genggaman tangan kami dan mulai berpikir apa yang sebenarnya terjadi selama beberapa hari ini. Dari pertengkaran yang berujung argumen, juga bagaimana dia menuduhku bahkan mendiamkanku. Semuanya mulai jelas sekarang. Mungkin memang aku harus memikirkannya dengan kepala dingin, dengan logika yang waras bukan dengan perasaan yang merasa tersakiti.

“Hei... Jangan cuma diam.” Seulgi mengangkat wajahku.

Kutatap lekat matanya. Dengan kondisiku yang sekarang, aku bisa mengerti kenapa dia bersikap seperti kemarin. Respon yang diberikannya sebenarnya sangat wajar. Dia pasti bingung bagaimana menghadapiku, bagaimana menghadapi kenyataan kalau wanita yang dicintainya berbeda dari wanita kebanyakan. Tak salah kalau sulit baginya untuk percaya karena bukan hanya harus meyakinkan diri kalau aku memang tak punya rasa lagi untuk Jennie, tapi juga harus meyakinkan hati kalau aku memang tulus menginginkannya, bukan sekedar pelarian atau berpindah haluan karena khalayak tak menerima siapa aku sebenarnya. Kalau aku yang berada di posisinya, tak menutup kemungkinan aku juga akan melakukan hal sama. Bahkan mungkin penolakanku jauh lebih parah darinya. Hanya membayangkan kami berganti peran saja membuat perutku mual.

Dan juga, dia sudah tahu tentang rekaman itu tapi tak langsung melontarkan amarah padaku dan lebih memilih menahan diri dengan bungkam dan mendiamkanku. Mungkin begitulah caranya menghindari keributan denganku. Walaupun pada akhirnya kalimat menyakitkan itu tetap terlontar darinya.

Sama sepertiku yang kecewa dengan sikapnya, dia juga berhak merasakan hal itu. Bukan hanya dia, semua orang juga butuh waktu untuk menerima kenyataan yang tak sesuai dengan yang diharapkan. Aku jadi berpikir mungkin Seulgi memang berniat menerima dan memaafkan, hanya saja, yeah, dia perlu waktu sementara aku hanya memikirkan rasa sakitku dan malah terkesan memaksa hingga dia tersudut yang membuat pertengkaran kami tak menemukan titik terang.

Lagipula, kalau dipikir lagi, justru dengan kediamannya, aku tak perlu merasa sakit hati atas ucapan yang mungkin bisa saja tak ingin kudengar darinya. Dia menghindariku karena ingin memberi kami waktu untuk berpikir, sama sama mendinginkan kepala karena bicara saat sedang emosi hanya akan memperkeruh masalah.

“Hyun?”

Lamunanku buyar merasakan belaian lembut tangannya di pipiku. “Siapa wanita itu?”

Kedua alisnya meninggi. Dia terlihat bingung. “Wanita yang mana?”

“Wanita cantik dan super seksi sewaktu makan pizza.”

“Oh.” Seulgi tersenyum. “Namanya Park Sooyoung. Temanku sewaktu SMA. Kami juga satu fakultas saat kuliah.”

Oh.

“Kenapa?”

“Bukan apa apa.” jawabku sedikit tak senang dengan jawabannya.

Seulgi kembali tersenyum. “Dan sebagai informasi tambahan, dia sudah menikah. Suaminya juga temanku.” senyumnya melebar lantas mendekat, bersandar pada sebelah tangannya sambil menatap lekat mataku yang membuatku begitu malu. Seulgi terus bergeser hingga wajah kami berdekatan. “Cemburu?”

Aku melengos, malu karena wajahnya begitu dekat dengan wajahku.

“Love.”

Tubuhku meremang. “Apa?”

“Hei, lihat sini.”

“Apa memangnya?” tanyaku menolak memandangnya.

“Lihat dulu sebentar.”

“Apa dulu?”

“Makanya lihat dulu.”

“Tidak mau.”

“Ayolah sebentar saja.”

“Apa memangnya?”

“Makanya lihat dulu biar tahu, Sayang.”

Mau tak mau aku menoleh dan tepat saat itu, bibirnya mendarat sempurna di bibirku. Kubiarkan dia menyesap bibirku sebentar sebelum memejamkan mata dan membalas ciumannya. Ini lebih baik daripada yang tadi malam. Yeah, tentu saja. Karena kali ini aku mencium manusia, bukan patung.

Kuletakkan ibu jariku di antara bibir kami. “Belum sikat gigi.”

“Tapi kau wangi.” Seulgi kembali mengecupku dan melumat bibir bawahku.

“Seul.” lagi lagi kuhentikan ciumannya.

“Hm?”

“Jangan membual sepagi ini. Mana ada orang yang baru bangun tidur napasnya wangi. Kalau ingin merayu lihat keadaan juga.” gerutuku.

Seulgi terkekeh dan kembali menciumku. “Tapi aku menyukainya. Dan jujur saja aku masih ingin menciummu.” Seulgi memajukan wajahnya, berusaha menciumku kembali namun aku menghentikannya.

“Nanti ada yang masuk.” tahanku mengusap bibirnya.

Dia tersenyum, kembali menatap lekat padaku sebelum menyingkirkan tanganku dan kembali menyatukan bibir kami. Kali ini aku tak lagi berusaha menahannya atau pura pura menolak padahal aku juga menginginkannya. Kubiarkan bibirnya menari di bibirku, menyesapku dalam yang membuatku mendesis, menggigitku hingga aku mendesah tertahan, juga sentuhan lidahnya yang membuatku terbuai dalam pelukannya. Sayangnya saat kami sudah mulai hanyut dalam cumbuan, seseorang masuk tanpa permisi yang membuatku mau tak mau mendorongnya.

“Astaga, Bu, untung aku yang masuk. Coba kalau Yerim.” Hyuk menyeringai kurang ajar. “Sabar, Bu. Ratu Inggris sudah mengeluarkan maklumat, sarapan sudah siap. Makan dulu baru lanjutkan kalau kalian tak mau dikawinkan paksa.”

Wajahku panas karena malu dan kedua kakak beradik itu malah terbahak. Sialan. Puas sekali sepertinya mereka.

“Yah, cepat keluar. Mengganggu saja.” usir Seulgi.

“Oke, tapi jangan lama lama, Hyung. Cukup pemanasan karena aku yakin Yerim belum ingin punya adik.” Hyuk mengedip sebelum keluar kamar yang membuatku melotot padanya.

“Aku membencimu.” dengusku melempar selimut ke wajah Seulgi yang tak berhenti tertawa sebelum bangkit dari ranjang.

Oh Tuhan, aku benar benar malu.

 

***

 

“Kenapa wajahmu? Dari tadi kusut. Perlu kubantu laundry?” tanya Yongsun duduk di sampingku.

“Mual.” jawabku meringis.

Mata Yongsun melebar. “Kenapa? Hamil?” dia menyeringai.

Aku berdecak. Perempuan gila. Dia yang selalu menggodaku dengan topik seperti itu, tapi dia juga yang pernah memarahiku saat melihat hickey di leherku. “Dimasuki saja tak pernah, bagaimana mau hamil.” sahutku gemas bukan main yang membuat Yongsun terbelalak dan Wendy tersedak.

“Dasar sinting.” Yongsun mengumpat pelan seraya tertawa.

“Memang. Kebanyakan bergaul denganmu.” sambarku cepat.

Yongsun masih terkikik geli saat dia mengalihkan perhatian pada Wendy yang memandang kami dengan wajah datar. “Kenapa Wen? Itu muka habis terbentur dinding? Sudah sama persis soalnya. Rata dan datar.”

Kujejalkan potongan coklat almondku ke mulut Yongsun. “Mulutmu, Yong, astaga. Minta ditampar.”

“Hanya belum bisa terbiasa dengan obrolan jorok kalian.” sahut Wendy sedatar ekspresinya.

“Nanti setelah 10 tahun menikah, kau akan mengerti kenapa aku begini.” balas Yongsun santai sambil meneguk tehnya.

“Kau pikir Chanyeol seperti Byulyi? Jauh, Yong, jauh. Bagai langit dan bumi.” aku mengejek.

“Aku tak bilang Chanyeol yang mengajari Wendy, kan?” Yongsun memainkan alisnya.

Baru saja aku ingin menyahut, ponselku bergetar. Aku melirik sekilas dan melihat wajah Seulgi di layar. Yongsun sudah memandang jahil padaku ketika aku mengambil ponsel di meja dan berdiri menjauh dari mereka.

“Kenapa Seul?”

“Aku merindukanmu.” sahutnya tertawa renyah.

Aku memutar bola mata. “Bercanda lagi langsung kututup telponnya.”

“Heeeiii, jangan marah, Baby.” dia masih tertawa. “Cuma mau bilang hari ini aku tidak bisa mengantarmu pulang. Tapi aku sudah menyuruh supir untuk menjemput kalian.”

“Aku bisa pulang dengan Wendy, tak perlu mengantarku.”

“Kau yakin?”

Aku mengangguk seolah Seulgi bisa melihatnya. “Hm.”

“Ya sudah, nanti tolong beritahu Hyuk. Handphonenya tak bisa dihubungi. Sepertinya mati.”

“Oke.”

“Kau sedang apa?”

“Ngobrol dengan Yongsun dan Wendy di pantry. Kenapa?”

“Tak mengawas ujian?”

“Sudah selesai. Hari ini terakhir. Bukannya aku sudah bilang padamu?”

“Ah.” Seulgi terkekeh. “Lupa.” balasnya. “Kira kira nilai Hyuk akan bagus tidak?”

“Aku tidak tahu karena bukan aku yang menilai dan aku juga sudah mengatakan ini padamu. Lupa juga?” tanyaku. Entah kenapa aku merasa curiga padanya. Dia sedikit aneh. “Hon, kau baik baik saja?”

“Sangat baik. Kenapa?”

“Kau aneh.”

“Apanya yang aneh?”

“Entahlah.” jawabku menggoyangkan bahu.

“Duh, kau ini.” dia berdecak. “Mulai minggu depan mungkin aku akan sedikit lebih sibuk, tak apa kalau sering kutinggal?”

“Jangan bilang kalau kau juga lupa umurku. Aku bukan anak kecil, Kang Seulgi.”

Seulgi tertawa. “Oke, Baby, oke. Jangan marah marah terus. Nanti hipertensi.” candanya. “Ya sudah, aku harus kembali bekerja. Jangan merindukanku.”

“Jangan khawatir, tidak akan. Banyak yang ada di kepalaku selain kau.”

“Duh kau ini.” Seulgi berdecak. “Love?”

“Hm.”

“I love you.”

“Aku tahu.”

“Astaga, dasar pelit. Harusnya ‘I love you, too’, bukannya aku tahu.” protesnya.

“Berisik.” aku hanya malu membalasnya karena di dekatku ada Yongsun. Dia pasti akan meledek dan menggodaku habis habisan dan aku malas mendengar itu semua.

“Kau ini benar benar...”

“Apa?” sambarku cepat.

“Kikir.”

Aku ingin tertawa mendengar celetukannya. Dia tak hanya mengataiku pelit, tapi kikir, yang berarti aku memang pelit luar biasa di matanya. “Ya ya ya, terimakasih. Bye.”

“Yah, tunggu dulu!” cegahnya.

“Kau menyebalkan, Bae Joohyun. Ya Tuhan, semoga setelah jadi istri nanti kau tidak begini. Sudah jutek, judes, galak lagi.”

Wajahku sedikit merona. “Siapa suruh mau.” aku menggigit bibir menahan senyum.

Seulgi menghela napas dramatis. “Sudah nasibku memang jatuh cinta pada wanita yang PMS hampir tiap hari.”

Geli juga mendengarnya seperti itu. “Tadi katanya mau ada yang dikerjakan. Sana.”

“Sudah ucapan cintaku tak dibalas, diusir pula. Ya sudah aku lanjut kerja dulu.”

Senyumku merekah mendengar nada merajuknya. “Cari uang yang banyak biar bisa membelikanku kapal pesiar.”

“Astaga Tuhan. Sudah jutek, judes, galak, materialistis pula.”

Akhirnya aku tergelak dan kudengar dia mengerang kesal. Rasanya benar benar puas bisa mengerjainya. “Bye.”

“Hm.” sahutnya merajuk.

“Love you, too, Honey.” balasku dan bisa kurasakan dia tersenyum di seberang sana. “So much.” tambahku setengah berbisik sebelum mematikan panggilan dan berbalik. “Astaga, apa yang kau lakukan?!” aku melotot pada Yongsun yang berdiri hampir menempel padaku sambil mengurut dada.

“Menguping.” cengirnya kurang ajar yang membuatku ingin memukul wajahnya.

“Maniak.” gerutuku mendorong dahinya dengan telunjuk lantas beranjak menjauh.

“I love so much, Honey!” pekiknya meledek sambil tertawa.

Benar, kan, yang kubilang?

Aku mengerang. Dasar Yongsun gila.

 

***

 

Sehabis menemani Seulgi makan siang, kami bersantai sejenak di ruang tengah rumahku sambil menonton tv, mengomentari beberapa acara dan juga iklan yang berseliweran. Kadang Seulgi tertawa mendengar komentar kurang ajarku tentang iklan yang kami lihat, k

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
hi_uuji
#1
Chapter 18: Smile from ear to ear 😭💖😬 GEMASSSS bakal gamon sih sama kekacauan Jeno Jaehyun 😖😖😖 thanks a lot for this heart warning work!
hi_uuji
#2
Chapter 15: AAAAAAAAA GUXHFJDUGGSTSGUC
hi_uuji
#3
Chapter 9: Sumpah ini udah kacau sih 😬😬
ephemeral24_ #4
Chapter 18: mantap ini cerita kedua yg aku baca👍🏻🤩
Boywithluv_ #5
Chapter 18: Gila ini keren bget ?
jasonds #6
Chapter 18: Nice Store banget
Jiyeonnie13
#7
Chapter 18: lanjut ke berumah tangga, maybe? :D
need sequel authornim
Brewingthebear
#8
Chapter 18: Huwaaaa~ udahan story nya... akirnya mereka bersatu di pelaminan xD ada lanjutanya lg ga nih thor???
royalfamily31 #9
Chapter 18: Akhirnyaaaaa happy ever after.. uwuuuu
Thx banget author nim udah nulis cerita serealistis ini. Semua karya author cucok semua, mantuull..

Aku suka banget karakter seulrene disini, terutama irene. Karakter irene buat aku karakter yg realistis banget, agak drama memang, tp ya itulah hidup. Kita cuma bisa melihat dari sudut pandang kita dgn berbagai kerumitan dan konflik batin.

Thx u authornim, ku selalu menunggu update terbarumu hehe.. *genben seulrene lg pleaaseee
JungHi0225 #10
Chapter 18: Ohmygod gw bahagia bgt bacanya. Rasanya nano2 chap trakhir ini. Sedih, seneng, bangga jd satu. Thx u thor udh bikin cerita indah yg selalu gw tunggu. Mdh2n ada sequel stlh menikah. Ngelunjak bgt gw wkwkwk