Chapter 5

Second Chance
Please Subscribe to read the full chapter

 

Seulgi benar benar seorang gentleman. Dia berkata akan memberiku waktu selama yang ku mau. Dia berkata akan berhenti menemuiku untuk sementara waktu. Dia berkata tak akan menggangguku karena tak ingin aku merasa bosan, tak ingin aku takut padanya. Dan dia menepati semua itu. Dia benar benar melakukannya.

Seminggu berlalu sejak dia mengatakan hal itu dan tak sekalipun aku menerima pesan atau telpon darinya, tak sedetikpun aku melihat batang hidungnya. Aku bahkan tak melihat mobilnya yang biasanya terparkir di pinggir jalan ketika dia menjemput Hyuk. Dia benar benar tak terlihat, seakan lenyap ditelan bumi, meninggalkanku dengan penyesalan yang menyesakkan dada setiap harinya.

“Mark, tolong pindahkan kanvas ini ke dekat jendela sana.” perintahku menunjuk tempat yang kumaksud.

Mark mengangguk pelan.

“Thank you.” ucapku setelah dia selesai melakukan perintahku.

Aku mengamati sekeliling ruang kesenian yang mulai terlihat berantakan. Ada yang membuat ukiran ukiran lucu dari kayu, ada yang membuat patung dari tanah liat, ada yang melukis, bahkan ada yang sekreatif Jaemin, melukis sepatunya sendiri dengan cat lukis yang masih tersisa. Jujur aku lebih suka melihat mereka bebas melakukan apa yang mereka suka. Itulah kenapa aku tak membuat banyak peraturan. Yang penting saat jam pelajaran selesai, ruang kesenian ini sudah rapi dan bersih kembali seperti sebelum kami berkreasi di sini.

Dari beberapa hasil karya yang ada, aku tertarik dengan apa yang dibuat Jaemin dan Seungjae. Lukisan di sepatu Jaemin benar benar tak membuat benda itu seperti sebuah sepatu lukis biasa, tapi lebih ke hasil cetak sepatu yang memiliki brand ternama. Lukisannya terlihat hidup dan sangat detail. Bahkan setiap garisnya terlihat sangat tegas, seolah dia sudah melakukan pekerjaan itu bertahun tahun. Sementara Seungjae, dia membuat pahatan unik dari kayu. Dia bisa membuat sebuah bola kayu menjadi sebuah bunga dan kembali menjadikannya bola kayu. Duh, bagaimana aku harus menjelaskannya. Bayangkan saja robot robot transformer. Kurang lebih seperti itu.

Mereka cerdas dan berbakat di bidangnya masing masing. Itulah kenapa aku tak ingin mengekang mereka selama itu dalam batas peraturan.

Beberapa anak sudah terlihat membersihkan sisa kerajinan mereka. Beberapa malah sudah bercanda dengan yang lain. Beberapa lagi masih sibuk dengan pekerjaannya, salah satunya termasuk Hyuk. Dia terlihat begitu serius memandangi kanvas di depannya. Karena penasaran, aku pun mendekat dan mataku melebar melihat apa yang dilukisnya. Selama ini aku hanya melihatnya membuat benda benda lucu dari tanah liat. Tak sekalipun aku melihatnya melukis. Tapi ini benar benar luar biasa. Dia melukis sebuah kuil. Aku tidak tahu kuil apa dan di mana tapi dia menuliskan Kyoto di samping lukisannya.

“Aku tidak tahu kalau punya murid seorang pelukis.” tukasku mendekatinya.

Hyuk menoleh sambil tersenyum malu. “Hanya iseng, Bu.”

What? Iseng dia bilang? “Hasil iseng saja begini.” aku tertawa.

“Hasil belajar dari Seulgi Hyung, Bu.” Hyuk tersenyum malu sambil memandangi lukisannya.

Dan senyumku pun lenyap setelah mendengar nama itu. Kenapa aku bisa berpikir bisa terbebas darinya sementara adiknya adalah anak muridku?

“Oh, minggu depan Yerim ulangtahun. Apa Hyung sudah memberikan undangan untuk Ssaem?”

Aku menggeleng pelan.

“Sepertinya Hyung lupa lagi. Padahal Yerim sudah mengingatkannya setiap hari.”

“Yerim?”

“Eum. Yerim juga mengundang Ssaem.”

Oh God... Apa lagi ini? “Apa lukisanmu sudah selesai?”

“Sudah.”

Aku memutar tubuh. “Masih ada yang belum selesai? Kalau tidak, bereskan semuanya. Kelas bubar.”

Hyuk memandang curiga padaku namun seperti biasa, aku mengabaikannya. Aku yakin sedikit banyak dia tahu apa yang sedang terjadi padaku dan kakaknya karena aku bisa merasakan tatapannya tak seperti biasanya.

 

 

 

 

“Thanks, Wen.” tukasku menutup pintu mobil dan berjalan menuju rumahku. Aku benar benar lelah malam itu. Bukan tubuh, tapi hati dan pikiranku. Karena ulah Hyuk di ruang kesenian, seharian ini aku terus teringat akan Seulgi. Aku sudah berusaha menyingkirkannya namun tak bisa. Sama seperti aku berusaha menjauhkannya dariku namun setelah dia menjauh, justru aku yang merindukannya.

Yeah, aku merindukannya.

Aku merindukan kehadirannya.

Merindukan canda tawanya.

Seperti yang dikatakan Yongsun hati bekerja dengan caranya sendiri. Karena aku bisa merasakan bagaimana hatiku menginginkannya meskipun mulutku terus berkata sebaliknya.

“Noona.”

Aku menoleh. Alisku mengernyit melihat sosok yang sedang menunggangi motor dengan kaca helm terbuka di depan pagar rumahku. Seingatku aku bisa membedakan adik kembarku dengan baik, tapi kenapa sekarang aku agak ragu. Motor itu milik Jeno, tapi anak kurang ajar itu tak mungkin memanggilku Noona kecuali seseorang baru saja menghipnotisnya. “Jaehyun?” tukasku berbalik kembali membuka pintu pagar.

“Mobilku rusak, jadi aku meminjam motor Jeno.”

Ah, kebingunganku terjawab. “Apa yang kau lakukan semalam ini?”

“Ada penyuluhan kesehatan dan aku menjadi pembicaranya.” jawab Jaehyun membawa motornya ke halaman rumah.

“Aish kau ini. Kenapa tidak bilang dari tadi pagi.” omelku menyadari rumahku sedang berantakan dan hanya kamarku yang terlihat layak huni. “Apa kau lapar? Biar aku pesan sekarang.”

Jaehyun malah tertawa lantas memasukkan motornya ke garasi. “Di tempat penyuluhan banyak makanan, Noona tenang saja. Sekarang aku cuma mau tidur, ngantuk.”

“Kau ini.” ku tinju pelan pipinya sebelum membuka pintu rumah. “Akhir akhir ini aku benar benar malas. Jadi malam ini tidur di kamarku saja.”

Jaehyun mengangguk seraya meletakkan tasnya di sofa.

Sebenarnya aku masih ingin bicara dengannya, tapi Jaehyun terlihat begitu lelah sehingga kusuruh dia langsung istirahat sementara aku mandi. Tak baik memang mandi malam, tapi aku tak bisa tidur dengan kepala seberat ini. Paling tidak, mandi selalu berhasil membuat badanku lebih rileks.

Selesai mandi aku sudah mendapati Jaehyun tertidur pulas. Bahkan sesekali terdengar dengkuran kecil yang menandakan anak itu sangat kelelahan. Aku mendekat ke ranjang lalu duduk di dekatnya. Kutatap lekat wajahnya dan menghela napas berat setelahnya. Jaehyun masih menyelesaikan title dokternya ketika aku dipaksa angkat kaki dari rumah oleh ayah kami. Dari kedua saudaraku yang lain, Jaehyun yang tak mau menampakkan diri ketika aku pamit. Dia tak mau bicara padaku selama berminggu minggu. Bahkan laki laki bengal seperti Jeno saja masih sering menelponku, menghiburku, tapi anak ini berbeda. Dia hanya diam. Bahkan pertama kalinya bertemu kembali, dia menolak menatapku. Jujur itu membuat hatiku sakit. Tapi siapa yang menyangka dibalik sikapnya, dia hanya tak ingin memperlihatkan air matanya di depanku. Dia yang mengejar studinya habis habisan agar bisa cepat lulus dan mendapatkan gelarnya. Supaya dia bisa bebas bertemu denganku. Umma bilang, anak ini juga yang sering berdebat dengan Appa untuk membelaku, bahkan memohon pada Appa untuk membawaku kembali ke rumah. Sayangnya, ayah kami lebih keras darinya.

Jaehyun punya cara yang aneh untuk menunjukkan rasa pedulinya padaku.

Kuusap rambutnya dan ku kecup pelan keningnya sebelum beranjak dari kamar. Aku punya saudara yang sedikit aneh, namun aku tahu begitulah cara mereka menyayangiku.

 

***

 

Alunan musik menyadarkanku dari dunia mimpi. Aku menggeliat sambil menggerutu pelan, kenapa hari sudah berganti sementara hasrat tidurku belum terpuaskan. Aku masih ingin tidur dan bermalas malasan di ranjang. Tapi suara alarm itu tak akan berhenti kecuali aku mematikannya atau menunggu selama lagu tersebut habis dengan sendirinya.

Tapi belum sempat aku membuka mata, suara alarm itu berhenti. Aku menoleh dan mendapati Jaehyun sudah berdiri di dekat sofa sambil memegang handphoneku. “Kau terbangun karena alarmku atau memang sudah bangun sebelum itu?” tanyaku kembali meringkuk di bawah selimut.

“Karena alarm.” jawab Jaehyun lantas masuk ke kamar mandi.

Aku masih memejamkan mata ketika mendengar Jaehyun keluar dari kamar mandi. Tak lama kembali terdengar suara pintu dibuka dan ditutup. Kubiarkan saja dia dan memilih untuk bermalas malasan sebentar sebelum bangun dan memulai rutinitas pagiku yang terkadang benar benar terasa membosankan.

Bangun pagi. Mandi. Sarapan. Mengajar.

Pulang malam. Mandi atau cuma cuci muka. Tidur.

Polanya terus seperti itu, tak pernah berubah selama bertahun tahun.

“Nanti pulang jam berapa?”

“Jam 8.” jawabku melahap pancake buatan Jaehyun. Anak ini sering membuatku malu karena dia lebih pintar urusan dapur ketimbang aku. Harga diriku sebagai wanita benar benar terinjak karenanya.

“Kalau begitu biar aku yang antar jemput hari ini. Sudah lama tidak jalan jalan.” cengirnya lebar.

Aku hanya mengangguk sembari menghabiskan sarapanku lantas berangkat ke sekolah dibonceng oleh Jaehyun. Rasanya lucu, agak aneh juga, karena aku terbiasa naik mobil. Baru Jaehyun yang melakukan ini meskipun motor ini milik Jeno. Bukan Jeno tak pernah mengantarku ke sekolah, tapi aku akan menolak mentah mentah dibonceng olehnya. Dia pernah membuatku stress berat dengan caranya membawa motor. Anak itu sepertinya lupa kalau motornya punya rem. Wajah mereka boleh sama, tapi yang lainnya benar benar jauh berbeda.

“Thank you.” aku segera turun dari motor. “Hati hati pulangnya. Jangan keluyuran.”

Jaehyun tertawa. “Aku bukan anak kecil.”

“Tch.” kujitak kepalanya. “Sana pulang.” usirku.

“Jangan lupa nanti malam aku yang jemput.”

“Iya, cerewet.”

Mungkin itulah gunanya saudara. Meskipun sering ribut tak jelas, tapi mereka bisa membuat perasaanku lebih baik. Bisa dibilang aku bukan sosok kakak idaman. Aku bossy, moody, cerewet, suka cari ribut, terlebih dengan Jeno, tapi kehadiran mereka sangat membantu. Kadang saat suntuk, ada saja yang tiba tiba muncul di depan pintu rumahku, atau menelponku, entah apa yang kami bicarakan. Bahkan kadang obrolan kami benar benar tak bermutu. Mana ada orang yang meributkan bentuk wajah Squidward di telpon. Atau beradu argumen kenapa Spongebob berbentuk kotak dan bukannya bintang seperti Patrick. Tapi seperti itulah segelintir percakapanku dengan Jeno. Kalau dengan Junmyeon beda lagi. Dia menelponku, tapi lantas memberikan telponnya pada anak tertuanya, Eunwoo. Dia sibuk, aku tahu itu. Tapi dia berusaha untuk mengatakan padaku kalau mereka semua ada untukku. Mereka berusaha meluangkan waktu agar aku tak perlu merasa tersisih dari kehidupan keluargaku. Walaupun ya, mereka sama sama menyebalkan.

 

 

 

Aku tengah memperhatikan beberapa murid yang sedang menyelesaikan hasil karya mereka ketika ponselku bergetar di meja. Kulihat ada beberapa pesan masuk dari Jaehyun, mengatakan kalau dia sudah menunggu di depan gerbang sekolah. Kulihat jam di ponselku dan langsung merasa takjub.

Hari berlalu secepat itu? Rasanya baru beberapa jam yang lalu aku mengajar dan sekarang sudah hampir pukul 8 malam. Karena sudah terlanjur memegangnya, akupun membuka kamera dan mengambil beberapa foto juga video kegiatan mengajarku hari itu. Sebenarnya aku tak terlalu suka fotograpi, tapi untuk hal ini pengecualian. Aku suka melihat anak anak itu melakukan apa yang mereka suka. Aku senang melihat ekspresi ekspresi bahagia di wajah mereka, tawa yang tulus, candaan yang kadang berlebihan namun tak menyakiti hati. Mungkin terlihat sepele, tapi sangat berarti untukku.

Tak lama bel pulang berbunyi. Rasanya lega. Aku yakin isi kepalaku dan semua anak di ruangan ini sama.

Akhirnya kami bebas!!!

Setelah membereskan semua barang barangku dan pamit pada yang lain, aku segera menuju ke tempat Jaehyun menunggu. Aku tersenyum melihatnya duduk dengan santai di atas motor dengan helm masih bertengger di kepalanya. “Maaf lama.”

Jaehyun menoleh lalu membuka kaca helmnya dan tersenyum. “Tidak.” sahutnya menyodorkan helm padaku yang langsung kuterima. “Aku lapar.”

“Memangnya belum makan?”

Dia menggeleng. “Mau makan malam dengan Pacar Semalam.” jawabnya cengengesan.

Kupukul belakang helmnya. “Gombal.” sungutku. “Aku tahu tempat makan yang enak.”

Dan malam itu sedikit berbeda dari malam malamku biasanya. Jaehyun mengajakku jalan jalan, makan jajanan malam hingga perutku tak sanggup lagi menampung, dan pulang tengah malam. Kalau Umma tahu, kuping kami mungkin sudah meleleh terkena omelan membara Umma. Tapi satu hal yang pasti, aku merasa bahagia malam itu. Semua beban di hatiku jauh lebih ringan setelah aku membaginya dengan Jaehyun. Anak itu ternyata tahu apa yang sedang terjadi padaku dan Seulgi. Terimakasih pada mulut bocor kembarannya, Si Kurang Ajar Jeno. Dia tak bertanya, hanya saja dia pintar menggiringku untuk membuka hati, mengutarakan segala yang mengganjal. Dan ya, semuanya terbuka begitu saja. Sama seperti saat dia tahu tentang hubunganku dan Jennie.

 

***

 

Sebisa mungkin aku berusaha menghindari acara ini, namun siapa sangka kini aku berdiri di sini, dikumpulan anak anak kecil, kumpulan wajah wajah yang tak kukenal selain sang bintang malam itu yang berdiri dengan wajah sumringah d

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
hi_uuji
#1
Chapter 18: Smile from ear to ear 😭💖😬 GEMASSSS bakal gamon sih sama kekacauan Jeno Jaehyun 😖😖😖 thanks a lot for this heart warning work!
hi_uuji
#2
Chapter 15: AAAAAAAAA GUXHFJDUGGSTSGUC
hi_uuji
#3
Chapter 9: Sumpah ini udah kacau sih 😬😬
ephemeral24_ #4
Chapter 18: mantap ini cerita kedua yg aku baca👍🏻🤩
Boywithluv_ #5
Chapter 18: Gila ini keren bget ?
jasonds #6
Chapter 18: Nice Store banget
Jiyeonnie13
#7
Chapter 18: lanjut ke berumah tangga, maybe? :D
need sequel authornim
Brewingthebear
#8
Chapter 18: Huwaaaa~ udahan story nya... akirnya mereka bersatu di pelaminan xD ada lanjutanya lg ga nih thor???
royalfamily31 #9
Chapter 18: Akhirnyaaaaa happy ever after.. uwuuuu
Thx banget author nim udah nulis cerita serealistis ini. Semua karya author cucok semua, mantuull..

Aku suka banget karakter seulrene disini, terutama irene. Karakter irene buat aku karakter yg realistis banget, agak drama memang, tp ya itulah hidup. Kita cuma bisa melihat dari sudut pandang kita dgn berbagai kerumitan dan konflik batin.

Thx u authornim, ku selalu menunggu update terbarumu hehe.. *genben seulrene lg pleaaseee
JungHi0225 #10
Chapter 18: Ohmygod gw bahagia bgt bacanya. Rasanya nano2 chap trakhir ini. Sedih, seneng, bangga jd satu. Thx u thor udh bikin cerita indah yg selalu gw tunggu. Mdh2n ada sequel stlh menikah. Ngelunjak bgt gw wkwkwk