Chapter 1

Second Chance
Please Subscribe to read the full chapter

Cuma warning, mungkin tema kali ini agak tabu buat dibahas mengingat banyak yg lebih suka karakter seulrene sesuai aslinya. Jd yah, begitulah ^^"

 

Mataku menghangat melihat wajah yang muncul di layar ponsel. Sudah hampir 2 tahun aku tak pulang, tak bertemu Umma, tidak berkumpul dengan keluargaku, tidak menghabiskan masa liburan sekolah bersama mereka. Bukan karena aku tidak mau atau tak punya kesempatan, tapi karena tidak bisa. Ada masalah yang mungkin sulit untuk diselesaikan antara aku dan Appa, yang membuatku harus hidup terpisah dari mereka selama hampir 7 tahun belakangan. Menyakitkan, tapi mungkin untuk sekarang, seperti ini jauh lebih baik.

“Umma sudah makan?” tanyaku sembari mengunyah makan malamku.

“Sudah. Makan apa?”

“Jajangmyeon.” jawabku menghentikan aksi mengunyah ketika Umma memicingkan mata padaku. “Kenapa?”

“Tidak. Cuma rindu puteri kesayangan Umma.”

Ini yang kadang membuatku malas menelepon apalagi video call seperti ini. Bukan aku tak merindukan beliau, malah bisa ku bilang rinduku sudah menumpuk, tinggal menunggu tanggulnya jebol dan menenggelamkanku dalam tangisan gila yang sering kulakukan di kamar saat aku tak bisa mengontrol emosi. Aku tidak tahu bagaimana harus bersikap, bagaimana harus bicara tanpa suaraku harus bergetar setiap kali Umma mengungkapkan rasa sayangnya padaku. Aku tak ingin menangis di depannya dan membuka suara saat seperti sekarang hanya akan membuat air mataku menyeruak.

Cukup sudah kecewa yang kuberikan padanya.

Cukup sudah air matanya tumpah karenaku.

Aku tak ingin menambah beban hatinya lagi.

“Hyunnie juga.” balasku seadanya. “Sebaiknya Umma istirahat. Sudah malam.”

“Kenapa makannya semalam ini?” Umma mengganti topik begitu saja.

Tak mungkin aku jujur mengatakan aku baru bangun setelah seharian bersemedi di ranjang. Seandainya tak dikunjungi rasa lapar, mungkin aku akan tidur sampai besok. “Tiba tiba lapar. Tadi lagi nonton TV, eh perutnya protes minta diberi makan. Akhirnya delivery dan beginilah jadinya.” jelasku.

“Pasti tidur seharian, iya kan?”

Apa yang lebih tajam dari pisau selain lidah? Naluri seorangi Ibu pastinya. Sangat luar biasa. Jarang sekali meleset. “Umma tega sekali main tuduh begitu. Memang lagi lapar.”

“Jangan malas makan. Jaga kesehatan. Nanti sakit siapa yang rawat? Jangan membuat Umma cemas terus.”

“Iya, Ibu Suri, iya. Jangan suka marah marah, nanti tambah keriput.” anak durhaka memang aku ini.

“Ya sudah, cepat habiskan makannya, terus tidur. Tidak usah begadang nonton yang tidak penting."

“Yang tidak penting itu semacam Nonstop Series begitu ya, Umma?” aku menyeringai melihat wajah dongkol Umma setelah serial kesayangannya itu ku hina secara tak langsung. Habisnya beliau suka sekali menceramahiku setiap aku menonton ulang film film James Franco, jadi kadang aku juga tak segan meledek acara tv kesukaannya.

“Anak ini.” gerutunya pelan. “Cepat habiskan makannya, Umma tunggu. Awas saja pakai alasan sambungan terputus karena sinyal jelek.”

Kalau nada begitu sudah keluar, artinya aku sudah kalah telak. Kalaupun aku benar dan menang, aku harus mengaku salah dan mengalah. Umma tak akan menerima bantahan seperti apapun bentuknya, yang membuat bibirku mengerucut sebagai bentuk protes namun tak bisa berbuat apa apa.

Aku melahap jajangmyeon yang tersisa setengahnya. Makan di bawah pengawasan mata Umma yang luar biasa sadis. Dulu saat kecil hingga beranjak remaja, aku sering protes setiap Umma melakukan hal ini. Aku memang bukan tipe pilih pilih makanan, tapi susah makan. Diomeli dulu baru makan. Bahkan kalau beliau sedang ada acara dan pulang agak malam, aku bisa tidak makan seharian. Mungkin itulah yang membuat badanku dulu persis orang cacingan, kurus, kering kerontang bak tanah yang belum terjamah hujan bertahun tahun.

Namun seiring berjalannya waktu terlebih dengan keadaan yang sekarang, aku justru berharap dia memelototiku seperti itu setiap kali aku sedang makan. Bukan karena aku masih malas makan, tapi karena aku butuh perhatian seperti itu lagi.

Tak terasa jajangmyeonku sudah lenyap, membuat Umma tersenyum puas. “Nanti kalau Hyunnie gemuk, Umma tanggungjawab.”

“Kenapa Umma? Yang milih makan semalam ini siapa? Jajangmyeon lagi. Umma cuma mengawasi.”

Aku memang tak akan pernah menang berdebat dengan wanita ini sampai kapanpun. “Iya, iya. Sudah selesai. Umma tidur sana.”

“Cuci dulu peralatan makannya. Nanti dibiarkan kotor sampai menumpuk lantas malas mencuci.”

Ya Tuhan, apa memang Umma dan cerewet itu diciptakan kembar siam, khusus satu paket tak terpisah? "Iya, Umma Sayang.” ku biarkan ponselku tergeletak di meja makan lalu mencuci peralatan makan yang baru ku gunakan tadi, sekalian mencuci gelas dan piring bekas sarapan. Jangan sampai Umma tahu yang ini, bisa bisa aku kena omel sampai besok pagi. “Sudah ya, Ibu Suri cantik, Cintaku, Sayangku, sudah beres. Sudah boleh tidur kan?”

“Main tidur saja. Gosok gigi dulu.”

Aku hanya bisa mengurut dada sambil mendesah pelan. Mau marah tapi sayang. Mau dimatikan video callnya tapi rindu. Mau bohong tapi malu. Serba salah. Akhirnya aku menurut saja. Umurku sudah 31 tahun dan masih disuruh gosok gigi oleh Umma. Aku curiga, jangan jangan aku sedang berada di alam mimpi dan umurku sebenarnya baru 5 tahun. Ditambah lagi bagaimana Umma memanggilku dan bagaimana aku memperlakukan diriku di depannya. Sangat kekanakan.

Setelah ritual ajaib di bawah pengawasan Umma selesai, akhirnya aku bisa merebahkan badanku di ranjang. Berbaring telentang, melebarkan tangan dan kaki, menyita hampir seluruh ruang kosong yang ada. “Ngantuk.”

“Ya sudah, matikan saja. Umma juga tau dari tadi Hyunnie sudah mau mematikan video callnya."

Oh My God.

Kalau dipikir pikir, ada bagusnya juga ngobrol dengan Umma begini. Membuatku jadi lebih ingat Sang Pencipta. “Duh, Umma tahu saja. Jadi tambah cinta.”

"Gombal.”

Aku tertawa. “Serius. Hyunnie sayaaaang Umma. Cinta secinta cintanya.”

“Lekas tidur, malah gombal malam malam.”

Berhadapan dengan Umma membuatku mengerti bagaimana frustasinya laki laki saat menghadapi perempuan. Jangankan mereka, makhluk yang cara berpikirnya berbanding terbalik dari kami, aku sendiri sebagai perempuan kadang bingung sendiri menghadapi Umma. “Iya. Ya sudah, Hyunnie matikan video callnya, ya? Hyunnie sayang Umma.”

“Hm. Umma juga.” suara beliau berubah total. Tak lagi judes.

Ku tatap lekat wajah wanita yang sudah melahirkanku. Hatiku sudah seperti diremas dan tenggorokanku tiba tiba sakit. “Umma.”

“Apa?”

“Aku sangat merindukan Umma.” suaraku parau, menahan gumpalan cairan di pelupuk mata. Dadaku sakit.

“Liburan berikutnya pulang, ya? Atau weekend nanti. Jangan pedulikan Appa. 2 tahun Hyunnie tidak ke sini. Umma sudah rindu mau peluk Hyunnie.”

Bibir dan daguku bergetar menahan tangis. “Janji?”

“Iya. Yang penting pulang.”

Dadaku sudah semakin sesak. “Titip salam buat Appa, ya? Titip maaf juga. Sekalian minta maaf pada Umma karena tidak bisa pulang.”

“Iya, nanti Umma sampaikan. Ya sudah, lekas tidur.”

Tak perlu menunggu detik berikutnya, aku langsung memutus video callnya. Dan seiring dengan itu, air mataku ikut mengalir.

Sialan.

 

***

 

“Hei, Bae, bukannya itu anak buahmu?”

Aku dan kedua teman seprofesiku sebagai guru, Wendy dan Chorong sontak menoleh ke arah yang ditunjuk Yongsun. Ku pandangi ketiga sosok tak jauh dari kafe tempat kami ngobrol, begitu serius menajamkan mata sebisaku. Walau penglihatanku tak sejernih Peter Parker setelah terkena gigitan laba laba hasil mutasi DNA, tapi aku masih bisa mengenali mereka. Dan memang benar, itu salah satu muridku.

“Dengan siapa dia?” Yongsun masih memandangi targetnya.

“Jangan jangan ayahnya. Dan gadis kecil itu adiknya.” Chorong menyahut.

“Sepertinya bukan.” Wendy masuk ke obrolan mereka. “Bisa jadi kakaknya.”

Ku biarkan ketiga temanku ini saling lempar tebakan tak penting tentang muridku sembari menghabiskan es krim pesananku yang mulai mencair. Aku sedang tidak punya mood untuk ikut andil dalam tebak tebakan tak berhadiah mereka karena aku sudah disibukkan dengan permasalahan yang ada dihidupku.

Aku dan ketiga temanku ini adalah guru di salah satu sekolah negeri ternama di kota kami. Tak bisa dibilang junior, namun juga tak terlalu senior. 8 tahun yang lalu aku dan Yongsun, yang juga teman seangkatan kuliah, mencoba ikut penerimaan pegawai program pemerintah. Bisa dibilang kami tak terlalu berharap lulus karena sadar diri masih amatir. Pengalaman kami hanya sebatas percobaan mengajar singkat selama hampir setahun pasca kuliah. Namun siapa sangka keberuntungan sedang berbaik hati pada makhluk minim pengalaman seperti aku dan Yongsun. Kami dinyatakan lulus dan ditempatkan di sekolah ini hingga sekarang. Bersama Chorong yang dulu senior satu tingkat di atas kami dan Wendy bergabung setahun berikutnya.

Siapapun yang berkata guru adalah pekerjaan yang 'enak' mungkin mulutnya perlu ditatar ulang. Memang benar kapanpun sekolah libur artinya kerjaan kami pun libur. Tapi itu hanya sekedar bonus tambahan dari usaha yang kami lakukan untuk mendidik setiap kepala yang ada. Bukan mengajar yang sulit, meski ini juga sebuah tantangan untukku karena harus mengerti materi sebelum menyampaikannya, tapi mendidik mereka menjadi manusia bermoral yang rumit. Sama seperti profesi yang lain, tak ada yang mudah. Selalu ada kendala di setiap langkah.

Aku masih ingat perkataan Ibuku dulu sewaktu masih SMP, saat ku katakan padanya aku ingin menjadi sepertinya, seorang guru, Ibu bilang, jangan jadikan guru hanya sebagai titel, hanya sebagai pekerjaan untuk mendapatkan materi, karena tugasnya berat. Dulu aku tak terlalu mengerti kenapa beliau begitu bersemangat mendatangi setiap rumah anak muridnya yang malas sekolah, yang suka bolos, bahkan rela menggunakan gajinya untuk membantu setiap anak muridnya yang sedikit kurang mampu. Tapi setelah aku menjalani pekerjaan ini, perlahan lahan aku mengerti apa yang dilakukannya. Semua orang mungkin bisa menjadi guru, tapi tak semuanya memiliki jiwa sebagai seorang guru, yang mau merelakan dirinya untuk mendidik setiap murid yang diajarnya.

“Hyun!”

Aku terperanjat mendengar teriakan Yongsun.

“Pasti melamun lagi.” dia menunjuk tepat di depan hidungku.

“Apa?”

“Ahjussi tampan itu siapa?”

Aku berdecak. Tentu saja pertanyaan itu, memangnya apa lagi. “Kakaknya.” jawabku singkat dan menyesalinya seketika melihat tiga pasang mata itu membelalak lebar padaku, membuatku takut biji mata mereka akan loncat dan meracuni es krimku yang kini sukses berganti rupa menjadi susu full cream. Aku memutar bola mata karena ekspresi mereka yang menurutku terlalu berlebihan.

“Muridmu pu

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
hi_uuji
#1
Chapter 18: Smile from ear to ear 😭💖😬 GEMASSSS bakal gamon sih sama kekacauan Jeno Jaehyun 😖😖😖 thanks a lot for this heart warning work!
hi_uuji
#2
Chapter 15: AAAAAAAAA GUXHFJDUGGSTSGUC
hi_uuji
#3
Chapter 9: Sumpah ini udah kacau sih 😬😬
ephemeral24_ #4
Chapter 18: mantap ini cerita kedua yg aku baca👍🏻🤩
Boywithluv_ #5
Chapter 18: Gila ini keren bget ?
jasonds #6
Chapter 18: Nice Store banget
Jiyeonnie13
#7
Chapter 18: lanjut ke berumah tangga, maybe? :D
need sequel authornim
Brewingthebear
#8
Chapter 18: Huwaaaa~ udahan story nya... akirnya mereka bersatu di pelaminan xD ada lanjutanya lg ga nih thor???
royalfamily31 #9
Chapter 18: Akhirnyaaaaa happy ever after.. uwuuuu
Thx banget author nim udah nulis cerita serealistis ini. Semua karya author cucok semua, mantuull..

Aku suka banget karakter seulrene disini, terutama irene. Karakter irene buat aku karakter yg realistis banget, agak drama memang, tp ya itulah hidup. Kita cuma bisa melihat dari sudut pandang kita dgn berbagai kerumitan dan konflik batin.

Thx u authornim, ku selalu menunggu update terbarumu hehe.. *genben seulrene lg pleaaseee
JungHi0225 #10
Chapter 18: Ohmygod gw bahagia bgt bacanya. Rasanya nano2 chap trakhir ini. Sedih, seneng, bangga jd satu. Thx u thor udh bikin cerita indah yg selalu gw tunggu. Mdh2n ada sequel stlh menikah. Ngelunjak bgt gw wkwkwk