Chapter 16

Second Chance
Please Subscribe to read the full chapter

Semoga belum pada bosan karena updatenya lama ya.

 

Hari ini Seulgi mengajakku pergi ke suatu tempat yang tak pernah terpikirkan olehku sebelumnya. Dan juga aku tak pernah menyangka dia akan mengajakku secepat ini. Tapi memang ini harusnya tak aneh lagi. Dia resmi melamarku di depan kedua orangtua kami. Status kami sudah jelas, wajar dia ingin aku lebih mengenal bagaimana kehidupannya, termasuk masa lalunya.

Mataku sedikit berkaca kaca melihat Yerim berjongkok di pinggir makam ibunya dan meletakkan bunga di bawah ukiran nama Kim Jisoo. Matanya memandang lurus pada bunga yang baru saja diletakkannya. Dia tak bicara, hanya mengusap pusara ibunya dan itu sudah cukup untukku menggigit bibir dan menengadahkan wajahku, menahan agar air mataku tak tumpah. Aku sudah terbiasa dengan wajah cerianya, dan melihatnya seperti ini benar benar menyesakkan.

“Yerim sayang Umma.” ucapnya sebelum berdiri dan berjalan ke arahku.

Kurentangkan kedua tanganku dan Yerim langsung menghambur ke pelukanku. Aku tak bisa membayangkan apa yang anak ini rasakan setiap kali dia harus melihat teman temannya bersama ibu mereka. Ada rasa malu yang kurasakan karena terkadang aku masih menangis setiap ingat ibuku padahal aku masih bisa melihat dan bicara dengannya. Sementara Yerim, dia sudah kehilangan semua kesempatan itu. Aku malu karena masih sering mengeluh padahal masih banyak orang yang jauh lebih tak beruntung dariku.

“Ada yang mau kau katakan pada Jisoo?” tanya Seulgi menoleh padaku. Ada seringai tipis di bibirnya, sengaja meledekku yang tiba tiba berubah jadi sosok melankolis.

Aku menggeleng pelan. Takut air mataku langsung menetes di depan anak kecil di pelukanku ini.

“Appa, habis ini jalan jalan ke taman hiburan, ya?” Yerim mendongak memandang ayahnya.

“Boleh.”

“Sama Bu Joohyun juga.”

“Kalau itu tanya Bu Joohyunnya langsung.” balas Seulgi.

Yerim menatapku yang membuat lututku langsung lemas. Duh, ayah dan anak ini jelas akan menjadi sumber kelemahanku nantinya. “Boleh ya, Bu?” tanya Yerim dengan mata penuh harap.

“Iya.” jawabku mengusap kepalanya dan matanya langsung berbinar.

“Appa, ayo.”

Seulgi tersenyum tipis. “Kalian duluan saja ke mobil.”

Aku memandang Seulgi sejenak sebelum berbalik sementara Yerim sudah telonjak girang dan berlari ke arah mobil Seulgi yang terparkir tak jauh dari pemakaman. Di pertengahan jalan menuju mobil, aku berbalik dan kulihat Seulgi berjongkok di dekat makam Jisoo. Wajahnya tertunduk sambil memegangi batu nisan yang membuatku langsung membuang muka, tak sanggup melihatnya karena mataku kembali berkaca kaca. Kesedihanku tak ada apa apanya jika dibandingkan dengan mereka yang tak punya kesempatan lagi untuk bersama orang yang mereka cintai.

Sementara menunggu Seulgi, aku mengajak Yerim bicara. Aku begitu takjub karena tak terlihat air mata sedikitpun di mata indahnya. “Yerim senang bisa meletakkan bunga di makam Umma?”

“Eum.” anak itu mengangguk mantap.

“Tidak merasa sedih?”

Wajahnya terlihat bingung. “Appa bilang kalau Yerim sedih nanti Umma juga sedih. Lagipula kata Appa Umma sudah bahagia. Kalau Yerim membuat Umma sedih, nanti Umma marah dan melarang Yerim ke sana. Umma juga tidak akan mau bertemu Yerim nanti.”

Ah sial. Harusnya aku tak bertanya karena kini tenggorokanku benar benar perih.

“Appa juga sering bilang jangan sedih apalagi cemburu melihat teman teman Yerim masih punya ibu karena yang harusnya cemburu adalah teman teman Yerim karena mereka tak punya Appa setampan Appa Yerim.”

Tch. Tipikal seorang Kang Seulgi. Seriously, dia mengajarkan hal seperti itu pada anaknya? Dasar laki laki besar kepala. Tapi kuakui apa yang dikatakannya tak salah. Dia hanya mengajarkan agar anaknya tak jadi gadis lemah. Dia mengajarkan Yerim untuk melihat sesuatu dari sisi positif, bukan meratapi keadaan yang memang tak perlu.

Ketukan di kaca jendela mobil mengagetkanku. Aku menoleh dan melihat Seulgi berdiri di samping pintu kursi penumpang. “Apa?” tanyaku setelah menurunkan kaca.

“Siap jalan jalan?” cengirnya.

“Tentu.” balasku.

“Oke.”

“Seul.”

“Hm?”

Kukecup singkat bibirnya. “Thank you.”

Seulgi menatapku datar. “Jangan berlebihan.” dia menjepit hidungku sebelum berputar ke kursi kemudi dan membawa kami bertiga ke taman hiburan.

 

***

 

Dengan sangat perlahan dan hati hati aku berjalan mendekati Seulgi yang tengah duduk di lantai, sibuk menatap laptopnya. Seandainya saja dia membawa benda itu ke rumahku untuk mengurus pekerjaannya, kupastikan aku akan mengusirnya. Tapi karena dia membawanya untuk merancang desain undangan pernikahan kami, jadi kumaklumi saja. Bukan aku terlalu memaksakan kehendakku padanya, tapi kalau memang dia ingin mengurusi pekerjaannya, untuk apa dia menemuiku. Minta bantuan padaku? Aku bahkan tak mengerti sama sekali dunia bisnis. Kalau urusan support, tentu aku selalu melakukannya. Tapi bukan berarti dia harus membawa pekerjaannya ke rumahku. Memangnya kami sedang belajar kelompok. Bagiku, kalau dia datang ke rumahku, artinya dia ingin menghabiskan waktunya bersamaku dan aku tak akan membagi waktu itu dengan apapun.

Aku berjongkok di belakangnya lalu melingkarkan lenganku di lehernya. “Belum selesai?” tanyaku menggelayut manja di punggungnya.

“Bagaimana mau selesai dari tadi aku kerja sendiri.”

“Memangnya kau mau yang seperti apa?” kuciumi bahunya.

“Harusnya aku yang bertanya, kau mau yang seperti apa. Dari kemarin kan kau yang selalu menolak desain yang kuberikan.” gerutunya pelan.

“Lanjut besok saja. Sudah hampir 2 jam kau di rumahku tapi yang kau lakukan cuma memandangi laptop ini. Jangan membuatku cemburu pada benda ini.”

“Salahmu sendiri. Sudah beberapa kali aku memperlihatkan desain undangan pernikahan kita dan kau bilang semuanya aneh. Bukannya memuji kerja keras calon suami malah dibilang aneh. Sementara tanggal pernikahan makin dekat. Undangan saja belum jadi.”

Aku suka saat dia mengerutu begini karena membuatnya terlihat seperti anak kecil. “Sorry, then.” sahutku membenamkan wajahku di lehernya. “Seriously, Seul, lanjutkan nanti. Aku merindukanmu.”

“Tanggung.”

Kuayunkan tubuh kami ke kiri dan ke kanan. “Seul.”

“Hm.”

Aku menarik napas panjang. “Beberapa minggu lagi kita menikah, tak ada yang ingin kau tanyakan padaku? Mungkin ada hal yang ingin kau tahu tapi kau tidak enak menanyakannya.”

“Tidak.” jawabnya menghentikan pekerjaannya.

Mungkin harusnya aku membiarkan hal ini berlalu begitu saja namun aku tak ingin merahasiakan apapun darinya. “Kau tak ingin bertanya tentang aku dan Jennie?”

Seulgi menoleh, menatap mataku sebentar lalu menyambar bibirku. Ciumannya tak terlalu lama namun cukup membuatku merasa terbang dengan lumatan manisnya di bibirku. “Aku tak ingin tahu. Tapi kalau memang menurutmu kau perlu mengatakannya padaku, katakan.”

Kulepaskan pelukanku lalu memintanya berbalik sehingga kami duduk berhadapan di lantai. Kutarik dalam napasku sebelum mulai bercerita. “Aku mengenalnya lewat media sosial. Kami punya kegemaran yang sama, idola yang sama, dan ada beberapa kemiripan yang lain.”

Wajah tanpa ekspresinya membuatku sedikit takut namun aku tak ingin mundur dan tetap melanjutkan cerita dari bagaimana aku yang ingin menyapanya namun sungkan hingga akhirnya Jennie menyapaku lebih dulu dan sejak itu kami mulai mengobrol.

Dari yang kulihat dari media sosialnya, aku tahu Jennie anak yang pintar bicara dan mudah bergaul karena dia bisa membuatku yang pada dasarnya makhluk rumahan dan sulit beradaptasi dengan lingkungan baru ini langsung merasa nyaman dengan kehadirannya. Aku benar benar merasa terhibur karenanya. Sampai suatu hari, Jennie meminta kontakku dan obrolan kami menjadi lebih intens. Setiap hari, dari bangun tidur hingga tidur lagi, pesan darinya selalu menemaniku. Aku yang tak pernah melakukan hal itu sebelumnya langsung merasa ketergantungan padanya. Bukan aku tak pernah dekat dengan seseorang, oke, bisa dibilang aku lumayan sering dekat dengan seseorang, namun tak satupun yang bisa membuatku merasakan seperti apa yang Jennie berikan padaku. Biasanya setiap dekat dengan seseorang, awalnya mungkin aku suka dengan bentuk perhatian yang diberikan, tapi lama lama aku bosan sendiri dan mulai berpikir semua itu mengganggu, tapi tidak dengan Jennie. Kebosananku tak berlaku padanya.

Seperti yang kubilang sebelumnya, aku merasa kergantungan padanya. Sehari tanpa membaca pesan darinya rasanya ada yang kurang. Semakin lama, obrolan kami yang tak lagi hanya sekedar pesan tertulis mulai semakin jauh hingga ke urusan pribadi masing masing. Sampai akhirnya Jennie memberiku sebuah panggilan sayang yang membuatku merasakan sesuatu yang aneh di dalam diriku. Ada rasa menggelitik ketika panggilan itu meluncur dari bibirnya dan aku sangat menyukainya. Katakan aku haus dengan bentuk perhatian semacam itu karena memang aku belum pernah melakukannya. Dia yang pertama buatku dan aku tak sanggup mengendalikan perasaan berbunga yang terus menghiasi hatiku karenanya. Meski begitu, aku tak sampai berpikir untuk dekat dengannya lebih dari teman karena aku tak ingin membuatnya takut padaku lantas meninggalkanku.

Bisa dibilang, kami lebih dari teman, tapi juga bukan kekasih.

Kuakui, ada sebongkah cemburu kurasakan setiap melihat interaksinya dengan teman temannya di media sosial. Aku mulai merasa tak terima dia bersikap manis pada semua orang terlebih pada orang orang tertentu yang sering membuat dadaku terbakar cemburu.

Sebenarnya aku tak ingin membalasnya, namun pada saat yang sama aku bertemu dengan salah satu temannya yang juga bisa membuatku cukup nyaman. Kami sering mengobrol namun tentu saja perasaan itu berbeda dengan apa yang kudapat dari Jennie. Karena seringnya kami mengobrol, Jennie akhirnya menghujaniku dengan berbagai macam pertanyaan yang menuduhku ada hubungan lebih dengan orang itu. Tentu saja aku menampiknya habis habisan karena memang aku tak punya perasaan seperti itu. Kami bertengkar dan Jennie mendiamkanku berhari hari.

Sejak saat itu aku menyadari ada yang lain darinya.

Dia juga merasakan apa yang kurasakan.

Cemburu.

Sesuatu yang tak seharusnya ada dalam hubungan yang tak lebih dari teman ini. Tapi aku juga sadar, hubungan kami memang jauh di atas kata teman. Aku tahu apa yang kurasakan dan apa yang kami jalani ini salah, aku sadar dengan dosa yang kuperbuat, namun napsu dan obsesi itu membutakan mataku, mendorongku untuk menelponnya dan meminta kami bertemu. Kupikir Jennie masih marah, tapi siapa sangka dia yang lebih dulu mengusulkan tempat pertemuan kami yang hebatnya tak terlalu jauh dari rumahku namun perlu waktu 2 jam dari tempat tinggalnya.

Pertama kali aku melihat wajahnya, aku suka, namun bukan wajah yang sanggup membuatku tergila gila. Tapi rasa ketertarikan ini, rasa ketergantungan ini, membuat semua tampilan terlihat itu tak berarti apa apa.

Kami mengobrol, agak canggung dari biasanya, mungkin karena itu pertemuan pertama kami secara langsung. Namun kecanggungan itu tak berlangsung lama karena pribadi Jennie yang memang menyenangkan hingga akhirnya obrolan sampai pada sumber masalah yang membuat kami bertengkar.

Saat itu, bermodal rasa percaya diri seadanya aku mengatakan padanya tak ingin lagi berhubungan dengannya seperti yang sedang kami jalani. Jennie diam dan itu kugunakan untuk mencari tahu seperti apa perasaannya padaku. Setelah merasa yakin, akhirnya aku mengatakannya. Sesuatu yang tak seharusnya kukatakan namun mata dan hatiku sudah dibutakan sehingga aku berani memintanya menjadi pacarku.

Dan dari sanalah semuanya berawal.

Yang akhirnya memberikan kami segala hal menyakitkan seperti yang kami alami sekarang.

“Seul...” kugenggam tangannya.

“Sepertinya kisah kalian jauh lebih mendebarkan dari kisah kita.” ucap Seulgi menatap genggaman tangan kami.

“Kau salah.” kukecup tangannya. “Kau salah kalau membandingkan kisahku bersamanya dengan apa yang sudah kita lewati karena tak sebanding sama sekali. Apa yang kujalani denganmu, apa yang kurasakan untukmu jauh dari semua itu.”

“Katakan kalau kau mencintaiku. Katakan kalau kau hanya mencintaiku.”

Kugigit bibirku yang sedikit bergetar lantas menangkup wajahnya. “Aku mencintaimu.” ucapku setengah berbisik sembari mengusap rahangnya. “Aku sangat mencintaimu.” kuusap bibirnya dengan ibu jariku dan menempelkan dahi kami. “Sangat, Kang Seulgi, sangat.” mataku berair karena melihat matanya yang juga berkaca kaca. “Aku tidak ingin dimiliki siapapun selain kau. Kau mengerti?”

“Hm.” sahutnya pelan. “Sudah merasa lega?”

Aku mengangguk. “Sangat.”

“Thank you, Hyun. Terimakasih karena sudah mengatakannya padaku.”

Kupeluk erat lehernya. “Dan terimakasih karena mau menerimaku dan memberiku kesempatan merasakan cinta seperti ini.”

Jujur aku tak pernah terbayang hidupku akan seperti ini. Kupikir aku tak akan bisa mendapatkan cinta lagi sampai aku mati sebagai bentuk hukuman yang kuterima. Tapi semenjak bertemu dengan Seulgi, tak mudah memang apa yang kami jalani, tapi perlahan lahan hidupku membaik. Dia seperti harapan yang selama ini kubutuhkan. Harapan yang berbeda dari sebelum dia masuk di kehidupanku.

Mungkin saat jatuh, aku masih bisa bangun sendiri tanpa bantuan siapapun. Tapi dengannya di sisiku, membuat semua itu jauh terasa lebih ringan.

 

***

 

Baru saja aku selesai menyiapkan makan malam, Jaehyun menghampiriku dengan ponselku yang berdering di tangannya. Setelah melihat wajah Jennie terpampang di layar, aku memandang Jaehyun yang hanya menggoyangkan bahu. Kuambil ponselku dari tangannya lalu berbalik, memintanya melepas apron di badanku.

“Halo?”

“Apa aku mengganggu?”

“Ada apa lagi?” tanyaku tanpa basa basi. Aku tahu ada yang diinginkannya dariku makanya dia menelpon.

“Bisa kita bertemu Minggu depan?”

“Memangnya tak bisa dibicarakan lewat telpon?” aku sudah malas bertemu dengannya.

“Hanya untuk kali ini. Karena bisa jadi setelah ini aku tidak bisa bertemu denganmu lagi.”

Brengsek. Bicara apa dia. Apa apaan mengatakan hal seperti itu. “Oke. Jam berapa dan di mana?”

“Mungkin sore. Biar aku yang ke rumahmu nanti.”

“Oke.”

“Hyun.”

“Hm.”

“Selamat atas rencana pernikahan kalian.”

What? Dari mana

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
hi_uuji
#1
Chapter 18: Smile from ear to ear 😭💖😬 GEMASSSS bakal gamon sih sama kekacauan Jeno Jaehyun 😖😖😖 thanks a lot for this heart warning work!
hi_uuji
#2
Chapter 15: AAAAAAAAA GUXHFJDUGGSTSGUC
hi_uuji
#3
Chapter 9: Sumpah ini udah kacau sih 😬😬
ephemeral24_ #4
Chapter 18: mantap ini cerita kedua yg aku baca👍🏻🤩
Boywithluv_ #5
Chapter 18: Gila ini keren bget ?
jasonds #6
Chapter 18: Nice Store banget
Jiyeonnie13
#7
Chapter 18: lanjut ke berumah tangga, maybe? :D
need sequel authornim
Brewingthebear
#8
Chapter 18: Huwaaaa~ udahan story nya... akirnya mereka bersatu di pelaminan xD ada lanjutanya lg ga nih thor???
royalfamily31 #9
Chapter 18: Akhirnyaaaaa happy ever after.. uwuuuu
Thx banget author nim udah nulis cerita serealistis ini. Semua karya author cucok semua, mantuull..

Aku suka banget karakter seulrene disini, terutama irene. Karakter irene buat aku karakter yg realistis banget, agak drama memang, tp ya itulah hidup. Kita cuma bisa melihat dari sudut pandang kita dgn berbagai kerumitan dan konflik batin.

Thx u authornim, ku selalu menunggu update terbarumu hehe.. *genben seulrene lg pleaaseee
JungHi0225 #10
Chapter 18: Ohmygod gw bahagia bgt bacanya. Rasanya nano2 chap trakhir ini. Sedih, seneng, bangga jd satu. Thx u thor udh bikin cerita indah yg selalu gw tunggu. Mdh2n ada sequel stlh menikah. Ngelunjak bgt gw wkwkwk