Chapter 4

Second Chance
Please Subscribe to read the full chapter

Silakan anggap benar yang menurutmu benar, tapi tak perlu menyalahkan apa yang saya anggap benar. Jangan dibaca kalau tidak berkenan dg cerita begini dan jangan minta saya buat ganti tema.

Thank you.

 

Di sekolah manapun, aku yakin tak ada suara yang bisa menandingi kemerduan suara bel pulang. Tak hanya bagi siswa, bagi guru pun begitu. Setidaknya buatku. Karena bel pulang artinya aku bisa benar benar terlepas dari tanggungjawab yang kadang membuatku kewalahan. Aku menikmati pekerjaanku, sangat, hanya saja aku bukan manusia super. Adakalanya aku merasa lelah dan jenuh.

“Ada yang mau jalan jalan?” Yongsun membenahi tasnya sambil memandangku dan Wendy bergantian.

Aku menggeleng pelan. “Tidak, terimakasih.”

Yongsun menatapku heran. “Sakit?”

“Hanya lelah. Tidak enak badan. Pusing.” balasku yang membuat Yongsun memicingkan mata, memadangku dengan tampang menyelidik seolah aku pembohong terburuk di dunia.

“Pusing kenapa? tapi tak punya tempat pelampiasan?” cengirnya yang membuat Wendy tersedak tapi kami hanya menatapnya tanpa dosa.

“Duh, kau juga tahu aku punya sesuatu yang berukuran 12 inchi, tebal, besar, yang bisa membuatmu langsung klimaks sedetik setelah kau memasukkannya.” paparku mengangguk angguk kecil, meyakinkan 2 makhluk bernyawa di dekatku.

Wendy kembali tersedak. Kali ini wajahnya merah padam, meringis seolah kakinya baru tertimpa balok kayu sementara aku dan Yongsun malah dengan kurang ajarnya menertawakan wanita baik hati ini. Lama lama aku iba juga pada anak ini. Semoga dia tidak gegar otak gara gara ditimpuk ocehan ocehan vulgar dari kami.

“Dasar sinting.” Yongsun terbahak. “Wajah boleh cantik, tapi mulutmu benar benar menjijikkan.”

Ku ambil handphoneku lalu membuka kamera depan dan membawanya ke depan wajah Yongsun. “Talk to yourself, Baby.” balasku ikut terbahak.

Wendy berdiri untuk melerai candaan tak bermoral kami. Sepertinya sudah terbebas dari kejut jantung yang diterimanya. “Aku juga lagi bosan. Unnie, aku mau banana strawberry milkshake.”

Tatapan Yongsun mengarah padaku, membuatku langsung gondok. Aku mungkin sanggup menolak ajakannya, tapi tidak untuk Wendy. Dia terlalu baik untuk menerima penolakanku. Sambil menghela napas pasrah, aku mengangguk, membuat Yongsun menyeringai gila. Aku bisa menebak ucapan gilanya setelah itu.

“Giliran Wendy langsung iya. Apakah ini yang dinamakan cinta?” ledeknya yang kali ini kuabaikan. Sudah malas berdebat.

Aku pergi bersama Wendy dengan mobilku karena tadi pagi anak ini menumpang sedangkan Yongsun membawa mobil sendiri. Sebenarnya aku malas karena ini sudah malam dan mataku mulai berat. Tapi aku benar benar tak bisa menolak permintaan Wendy. Hanya disaat seperti ini aku bisa membalas kebaikannya.

“Hei, kau?” Yongsun menepuk lenganku.

Aku memandangi daftar menu yang disodorkan Yongsun, lagi lagi menghela napas. Aku sedang tak lapar dan tak ingin apapun. “French fries dan air mineral.” tak kuhiraukan tatapannya yang sarat akan ledekan.

“Wajar hidupmu hambar, minumnya cuma air putih.”

Lagi lagi kuabaikan ledekan itu.

“Aku jadi bertanya tanya, kalau nanti pacarmu suka kopi, apa kau akan melarangnya menciummu?” alis Yongsun mengernyit, sepertinya bingung sungguhan.

“Of course not.” bantahku. Mana ada orang yang menolak dicium orang yang dicintainya, kan? “Tapi semoga saja dapat yang tidak merokok ataupun minum.”

Yongsun diam sebentar ketika pesanan kami datang dan melanjutkan interogasinya setelah waitress menyelesaikan tugasnya. “Serius, Hyun. Kau satu satunya wanita cantik yang kukenal yang aneh begini.”

Aku setengah tersipu setengah sebal mendengar ucapan Yongsun. Harus dia memuji sekaligus menghinaku dalam satu kalimat? “Sakit gigi, Wen? Dari tadi diam terus.” aku mengalihkan topik.

“Lapar.” balas Wendy singkat menghabiskan chicken filletnya lantas tersenyum. “Unnie, yang beberapa waktu lalu menjemput malam malam itu siapa?”

Duh, bisa bocor juga mulut anak ini. Niat hati kabur dari Yongsun, malah masuk perangkap sendiri. Belum sempat aku membuka mulut, Yongsun sudah menyambar, mewawancarai Wendy tentang si Penjemput itu.

Sebenarnya aku tidak berniat menyembunyikan tentang Seulgi. Kami berkencan, ya, tapi kupikir hubungan itu belum pantas untuk kubagi dengan kedua orang ini. Kami tak sedekat itu untukku membeberkan semua yang terjadi antara aku dan laki laki itu. Aku juga belum tahu banyak tentang Seulgi, belum tahu apa yang Seulgi pikirkan tentangku sehingga aku tak terlalu berharap.

Apa kubilang tadi? Tak terlalu berharap?

Tunggu dulu, sejak kapan aku berharap? Kami baru kenal, bagaimana aku bisa berpikir seperti itu? Kalau berharap artinya aku tertarik padanya?

Apa aku menyukai Seulgi? Tapi kami baru kenal sebulan ini. Apa rasa suka bisa datang secepat itu? Aku masih tenggelam dalam pikiran yang tak jelas arahnya ketika Yongsun menyentil punggung tanganku.

“Apa?” tanyaku dan Yongsun hanya menunjuk ke sampingku. Aku menoleh dan hampir telonjak saat melihat Seulgi sudah berdiri di sampingku dengan senyum hangatnya, menyapaku dan kedua temanku dengan ramah.

“Hai.”

Aku menggigit bibir. Seketika malu dan salah tingkah. “Hei.” sapaku balik. “Sendirian?”

“Tidak. Dia kan tamu kita.” Yongsun dan seringai the series nya menyela. “Silakan duduk, Ahjussi. Kursi di samping Joohyun kosong.”

Sekarang aku mengerti perasaan Wendy saat suaminya kupanggil Ahjussi. Benar benar tak enak didengar.

Seulgi tersenyum lantas duduk di sampingku. Aku sedikit bingung. Bukannya tadi Wendy yang duduk di sampingku? Tapi kenapa dia sekarang di samping Yongsun?

Ah sialan. Sepertinya mereka mengerjaiku.

“Baru datang atau sudah mau pulang?”

“Baru datang.” jawab Seulgi. “Sebenarnya ada urusan sebentar di sini. Tapi sepertinya ditunda beberapa menit tak masalah.” dia tersenyum yang membuatku ikut tersenyum. “Pesan apa? Enak?”

“Cuma french fries. Masih kenyang.” jawabku. “Kenapa?”

“Tak apa.” Seulgi memutar pandangannya. “Kalian sering ke sini? Bagaimana tempat dan menunya?”

Keningku langsung naik mendengar pertanyaannya. Untuk apa dia menanyakan hal itu? “Tidak juga. Tapi tempatnya nyaman.”

“Steaknya luar biasa.” Yongsun menimpali, yang membuatku sadar kalau aku sedang bersama kedua sahabatku ini.

“Chicken filletnya juga enak.” Wendy menambahkan yang membuat senyum Seulgi semakin lebar.

“Ahjussi, tidak ingin pesan sesuatu?” tanya Yongsun mencondongkan dirinya ke meja.

Seulgi menggeleng. “Belum lapar.”

“Lantas buat apa ke sini kalau tidak makan? Jadi tukang cuci piring?”

Senyum Seulgi langsung berubah menjadi tawa. “Boleh juga idenya.”

Melihat kedua sahabatku berinteraksi dengan Seulgi membuatku sedikit lega. Ada rasa haru juga karena ini pertama kalinya aku dekat dengan laki laki dan mereka seperti menerima orang itu dengan tangan terbuka.

Ku biarkan mereka mengobrol, saling lempar candaan, dan hanya menimpali sesekali. Entah kenapa aku merasa seperti mengenalkan pacarku pada kedua wanita ini sekaligus meminta restu mereka. Aku jadi geli sendiri membayangkannya.

“Maaf mengganggu Mr. Kang. Anda sudah ditunggu Mr. Park.”

Seorang waitress mendatangi dan bicara pelan pada Seulgi, yang membuatku, Yongsun dan Wendy terdiam. Baru ku sadari, hanya perasaanku atau memang para pekerja di sini selalu tersenyum ramah setiap melewati meja kami.

“Oh, oke.” balas Seulgi dan waitress itu mengangguk sebelum beranjak. “Terimakasih sudah diajak bergabung.” dia memandang Yongsun dan Wendy bergantian sebelum padaku. “Kutinggal dulu tak apa?”

Wajahku terbakar malu karena Seulgi seperti minta izin padaku untuk pergi. Juga karena dia menggenggam tanganku dan mengusapnya di bawah meja. Aku menunduk sekilas dan mendapati tangannya yang menyelimuti tanganku, membuat jantungku memompa lebih cepat. Dan adegan malam itu kembali beterbangan di kepalaku.

 

“Kau... Belum punya seseorang yang spesial di hatimu, kan?”

“Kenapa memangnya?” tanyaku bergaya angkuh memberanikan diri menatapnya balik dengan jantung berdetak liar.

Seulgi berdiri di hadapanku, meraih kedua tanganku, menggenggamnya hangat sambil mengusap punggung tanganku. Matanya mengarah ke mataku, menatapku tepat di bola mata. Aku sempat melihat seringai tipis di sudut bibirnya sebelum dia membungkuk dan membisikkan sesuatu di telingaku. “Karena aku berniat masuk dan tinggal di sana, dengan atau tanpa persetujuanmu.”

Mataku terbelalak. Dan seolah hal itu tak berarti sama sekali, dia mengangkat tanganku dan mengecup kedua punggung tanganku yang membuat sekujur tubuhku seolah berhenti berfungsi.

 

Kecupannya masih terasa membakar punggung tanganku dan sekarang dia kembali membuatku tak bisa melupakan kejadian itu. Membuatku berat untuk melepaskannya. Sebenarnya perasaan apa ini?

“Joohyun?” panggil Seulgi dan aku kembali memandangnya.

Panggilannya membuatku tersadar kalau aku belum melepaskan tangannya. Malu kembali menyeruak dari dalam diriku. Langsung ku lepaskan tangannya dan membuang muka. “Silakan.” balasku yang membuat Seulgi tertawa sekaligus mendapatkan tatapan curiga dengan cengiran penuh arti dari kedua makhluk di depanku. Benar benar memalukan.

“Bukannya dia kakak anak muridmu yang waktu itu?” Yongsun berbisik pelan setelah Seulgi pergi dan aku mengangguk acuh tak acuh.

Seperti yang kuduga, dia pasti akan meledekku atas perilaku kekanakanku yang kabur begitu saja beberapa waktu lalu ketika kami membahas masalah pasangan. Yang membuatku salah tingkah karena Wendy juga ikut menggodaku seolah aku tak ada di depan mereka, meledekku habis habisan. Biasanya aku akan balas menyerang, namun kali ini aku hanya diam karena jelas aku sudah kalah telak. Tak ada gunanya menyangkal karena mereka pasti melihat seperti apa bodohnya aku di depan Seulgi.

“Kau lihat bagaimana tampang anak ini ketika Seulgi mau pamit?” Yongsun menyenggol Wendy sambil tertawa, membuatku ingin menyumpal mulutnya dengan tisu. “Persis orang jatuh cinta.”

Cinta? Kata suka saja masih membuatku ragu, apalagi cinta. Bukan maksudku menampik apa yang kurasakan untuk Seulgi, bahkan aku tak keberatan kalau memang pilihanku jatuh padanya, tapi aku masih belum yakin. Pada diriku. Pada Seulgi. Aku hanya takut, bagaimana kalau ternyata ini hanya sekedar kekaguman semata dan akan terkikis seiring berjalannya waktu. Atau bagaimana kalau aku memang mencintai Seulgi tapi laki laki itu tak merasakan hal yang sama? Mungkin itulah yang membuatku sedikit bermain aman. Aku takut kecewa. Takut sakit hati.

“Kalian pacaran?” tanya Wendy.

Mataku sontak melebar. Kenapa mereka bisa berpikir seperti itu? “Tidak. Kenapa?”

“Karena kelakuan kalian persis pasangan yang baru jadian. Cintanya masih fresh from the oven.” sahut Yongsun cepat. “Kalau kau merasa ragu karena berpikir kalian baru kenal, aku mengerti, Hyun. Tapi ini masalah hati. Cara kerjanya beda dengan logika. Seandainya pun baru kenal sehari, kalau merasa nyaman, kenapa tidak?”

Wendy mengiyakan. “Kalian terlihat serasi.”

Detak jantungku semakin tak beraturan.

“Tak ada salahnya mencoba. Belajar membuka diri, membuka hati. Karena tak ada orang yang bisa naik sepeda tanpa pernah merasakan luka di tangan dan kaki, kan?” Yongsun menambahkan. “Lagipula, Seulgi kelihatannya menyukaimu.”

Oh God, kalau saja mereka tahu apa yang pernah dikatakan laki laki itu padaku.

Wendy mengangguk meyakinkanku. “Dia terlihat sangat menyukai Unnie. Terlihat dari gesture tubuhnya.”

Aku menarik napas dalam. “Kita lihat nanti.”

Ya, lihat bagaimana nanti. Karena otakku tiba tiba beku, tak bisa berpikir lagi. Untung saja Yongsun sudah dicari anak dan suaminya jadi topik ini pun selesai. Aku memanggil pelayan, meminta bill, tapi anehnya mereka bilang tak perlu. Merasa ada kesalahan, aku memastikan sekali lagi, dan pelayan itu tetap mengatakan sudah kalau kami tak perlu bayar. Kalau misal dia bilang sudah dibayar, bisa saja aku berpikir itu ulah Seulgi. Tapi dia bilang tak perlu bayar.

“Apa laki laki yang tadi duduk di sini tadi yang membayarnya?” tebak Yongsun.

Pelayan wanita itu tersenyum ramah. “Beliau bilang khusus meja ini gratis.”

Huh? Aku, Yongsun, dan Wendy saling berpandangan.

Ya Tuhan, siapa sebenarnya Kang Seulgi ini.

 

***

 

Please Subscribe to read the full chapter

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
hi_uuji
#1
Chapter 18: Smile from ear to ear 😭💖😬 GEMASSSS bakal gamon sih sama kekacauan Jeno Jaehyun 😖😖😖 thanks a lot for this heart warning work!
hi_uuji
#2
Chapter 15: AAAAAAAAA GUXHFJDUGGSTSGUC
hi_uuji
#3
Chapter 9: Sumpah ini udah kacau sih 😬😬
ephemeral24_ #4
Chapter 18: mantap ini cerita kedua yg aku baca👍🏻🤩
Boywithluv_ #5
Chapter 18: Gila ini keren bget ?
jasonds #6
Chapter 18: Nice Store banget
Jiyeonnie13
#7
Chapter 18: lanjut ke berumah tangga, maybe? :D
need sequel authornim
Brewingthebear
#8
Chapter 18: Huwaaaa~ udahan story nya... akirnya mereka bersatu di pelaminan xD ada lanjutanya lg ga nih thor???
royalfamily31 #9
Chapter 18: Akhirnyaaaaa happy ever after.. uwuuuu
Thx banget author nim udah nulis cerita serealistis ini. Semua karya author cucok semua, mantuull..

Aku suka banget karakter seulrene disini, terutama irene. Karakter irene buat aku karakter yg realistis banget, agak drama memang, tp ya itulah hidup. Kita cuma bisa melihat dari sudut pandang kita dgn berbagai kerumitan dan konflik batin.

Thx u authornim, ku selalu menunggu update terbarumu hehe.. *genben seulrene lg pleaaseee
JungHi0225 #10
Chapter 18: Ohmygod gw bahagia bgt bacanya. Rasanya nano2 chap trakhir ini. Sedih, seneng, bangga jd satu. Thx u thor udh bikin cerita indah yg selalu gw tunggu. Mdh2n ada sequel stlh menikah. Ngelunjak bgt gw wkwkwk