Chapter 8

Second Chance
Please Subscribe to read the full chapter

 

“Kau bercanda, Bae Joohyun.” Jeno memandang sangsi padaku.

Aku tahu respon Jeno akan seperti ini sebelum memutuskan untuk menceritakan tentangku yang berhubungan kembali dengan Jennie. Dia mungkin tak setuju dengan keputusanku, sedikit geram, namun lebih banyak khawatir karena aku bisa merasakan itu dari nada bicaranya. “Tidak sama sekali.”

“Apa kau gila? Dia yang membuatmu, membuat keluarga kita jadi begini, dan kau masih ingin berhubungan dengannya? Katakan padaku kalau ini bukan karena kau masih mencintai wanita itu.” napasnya mulai memburu.

“Kalaupun aku masih mencintainya, aku tak akan kembali padanya. Tak akan pernah. Aku tahu itu salah dan aku tak akan melakukannya lagi.”

Jeno memicingkan matanya. “Oh, jadi kau masih sayang padanya?”

“Mungkin bukan sayang seperti yang kau maksud, tapi lebih ke arah peduli.” aku membela diri dari tuduhannya yang sedikit menyudutkan. “Karena bagaimanapun aku yang membuat semuanya jadi begini.”

Jeno menatapku datar. “Dan kau sudah mendapatkan balasannya jadi untuk apa mengulangnya kembali? Kau mau bukan hanya Appa yang membencimu tapi kami semua?”

Harusnya aku memang tak perlu jujur padanya tentang hal ini. Tapi menyesal sekarang juga tak ada gunanya karena aku sudah terlanjur memberitahunya. Kuusap wajahku dengan kedua telapak tangan sambil memijat keningku. Jujur, niatku hanya untuk menjalin hubungan baik dengan Jennie. Walaupun aku juga tak bisa menyalahkan respon yang diberikan Jeno. Dia hanya tak ingin aku jatuh dalam kesalahan yang sama. Dia tak ingin aku hancur untuk yang kedua kalinya karena wanita itu.

“Aku sayang padanya.” ungkapku jujur. “Aku peduli padanya.” tambahku. “Aku tak bisa melupakannya, tapi aku bersumpah tak berniat kembali padanya. Please, percaya padaku.”

Matanya memandangku bosan, seakan mencibir apa yang kulakukan. “Aku tahu ini hidupmu, Hyun. Tapi kau tak hidup sendiri. Jangan terlalu egois. Pikirkan bagaimana perasaan kami, keluargamu, kalau tahu apa yang kau lakukan.”

Benar apa yang dikatakan Jeno. Aku memang bertindak egois dengan membiarkan Jennie masuk dalam kehidupanku lagi. Tapi sebenarnya, bukan aku membiarkan Jennie kembali, aku hanya membiarkan dia terlihat kembali karena pada dasarnya dia tak pernah pergi dari ingatanku. “Kau hanya perlu percaya padaku, tak lebih dari itu.” balasku menutup percakapan dan masuk ke kamar.

Tak ada gunanya membahas semua itu lebih lama dengan Jeno karena rasa bencinya pada Jennie sudah tak terbatas dan aku mengerti hal itu. Tak ada yang salah dari semua ini, mungkin hanya waktunya belum tepat untuk kami menerima kembali seseorang yang sudah menghancurkan kebersamaan kami.

 

***

 

Dalam hidupku, hampir setiap hari aku bisa merasa tak tahu apa yang harus kuperbuat. Terlebih sekarang, setelah bicara dengan Jennie malam itu, setelah pertengkaranku dengan Jeno, aku semakin tak mengerti apa yang harus kulakukan. Kadang aku ragu untuk membalas pesan dari Jennie karena teringat apa yang Jeno katakan, tapi aku juga terlanjur mengatakan pada Jennie kalau aku mau memperbaiki hubungan kami. Dia juga setuju dan mau menerima kalau kami tak bisa seperti dulu.

Rasanya dilema. Disatu sisi aku tak ingin mengecewakan keluargaku kalau suatu hari nanti mereka tahu, tapi di sisi lain, aku lelah berpura pura kalau aku tak merasa kehilangan Jennie. Bagaimanapun dia pernah ada di hidupku dan setelah bertahun tahun mencoba, melupakannya benar benar mustahil. Kupikir biarkan semuanya berjalan seperti ini dulu karena aku sudah lelah bermain dengan hati dan pikiranku. Selain itu, kehadirannya sedikit membantu mengobati kebosananku.

Kami mulai mengobrol lagi seperti dulu, setiap hari. Bahkan intensitasnya jauh lebih sering ketimbang Seulgi menghubungiku. Ditambah lagi Seulgi semakin disibukkan dengan pekerjaannya. Bahkan sampai hari ini, sudah 2 minggu penuh kami tak bertemu, tak bicara, obrolan pesanpun hanya sekedar ucapan selamat pagi.

Aku merindukannya.

Sangat merindukannya.

Dan Jennie sangat membantu dalam hal ini. Dia membuat kerinduanku pada Seulgi sedikit teralihkan. Walaupun pada akhirnya aku justru merasa seperti memanfaatkannya.

Ada beberapa perubahan yang kurasakan dari Jennie sekarang. Dia jauh menghargai pesan yang kukirim untuknya. Caranya membalas pesanku juga sedikit berbeda. Sekarang balasannya tak terlihat terburu buru untuk menyudahi obrolan lagi karena ingin melanjutkan hobinya dan aku sangat menghargai itu. Dia jauh lebih aktif bicara. Dia juga mengirimiku beberapa foto sesuatu yang menarik perhatiannya. Sesuatu yang tak pernah dilakukannya selama kami bersama dulu. Jujur, aku menyukai perubahannya sekarang. Tapi tak terlalu yakin dia akan bertahan seperti ini lebih lama karena aku tahu dia mudah bosan.

Ponselku bergetar beberapa kali namun kuabaikan. Film yang sedang tayang di tv masih lebih menarik ketimbang harus menggerakkan tubuhku untuk mengambil ponsel di meja. Namun beberapa detik kemudian getarnya tak berhenti yang menandakan kali ini bukan pesan obrolan yang masuk, tapi panggilan. Sambil menghela napas pasrah, mau tak mau aku bangkit. Mataku menyipit melihat foto yang tertera di layar.

“Seul?” sapaku memandang jam di dinding. Sudah hampir jam 12 malam.

“Hei.” balasnya terdengar lelah. “Belum tidur?”

“Masih nonton tv. Ada apa?” tanyaku sedikit khawatir. Tak biasanya dia menelpon semalam ini. Selain itu, ini panggilan pertamanya setelah berhari hari membuat telingaku menganggur dari celotehannya yang menyebalkan namun bisa membuatku rindu.

“Bisa buka pintu sebentar?”

Seketika gugup dan cemas menyerangku bersamaan. Tak mungkin dia datang selarut ini, kan? Meski sedikit ragu, aku tetap berjalan ke depan, mengintip sebentar dari celah tirai dan terkesiap melihatnya berdiri di depan pintu. Dia benar benar datang.

Perlahan ku buka pintu yang langsung disambut oleh senyumannya. Dia terlihat begitu lelah. Entah sesibuk apa dia selama 2 minggu ini. Mungkin nanti aku memang harus bertanya padanya.

“Hai.” sapanya.

Aku menatapnya dengan napas sedikit memburu. Takjub, cemas, dan tak percaya membaur di dalam diriku. Rasanya begitu lega bisa melihatnya lagi.

“Maaf karena datang selarut ini. Tadinya kupikir biar besok...”

Tanpa menunggunya menyelesaikan kalimat, aku langsung memeluknya. Ya Tuhan, aku benar benar merindukannya. Semua cemas dan gelisah itu lenyap tanpa bekas ketika dia balas memelukku. Artinya semua ini memang nyata. “Menyetir sendiri?” tanyaku melepas pelukan kami.

Seulgi mengangguk pelan. “Baru hari ini.” jawabnya seolah mengerti aku sedang mengkhawatirkan keadaannya. “Sebenarnya aku berniat kesini tadi sore tapi aku lupa memasang alarm dan tak ada yang membangunkanku. Aku tidur seharian penuh.” dia terkekeh.

Aku menghembuskan napas lega. “Mau masuk sebentar?” tawarku. “Orange juicenya masih ada.” candaku yang membuatnya tertawa lantas mengangguk dan mengiringiku menuju dapur.

Kusodorkan segelas jus jeruk padanya yang langsung diterima Seulgi sembari mengucapkan terimakasih. Dia meminumnya beberapa teguk lalu meletakkan gelas itu di meja sementara aku berdiri di depan kulkas setelah mengembalikan botol orange juice, menatap nanar padanya.

“Apa yang kau lakukan selama 2 minggu ini?” tanyaku membuka obrolan.

Seulgi menarik napas dalam dan menghembuskannya cepat. “Terlalu panjang kalau harus dijelaskan. Intinya ada tawaran kerja sama. Awalnya kami sudah sepakat, tapi pihak sana sedikit melanggar kesepakatan, membuatku rugi dalam beberapa hal. Jadi aku membatalkan kontrak dan ya, akhirnya ada masalah.” jawabnya bersandar di kursi. “Tapi mungkin ada baiknya juga batal sekarang daripada nanti karena akan lebih merepotkan.” dia tertawa kecil. “Selain itu, aku bisa punya waktu lebih banyak untuk hal lain yang lebih berharga.”

Aku mendekat dan berdiri di depannya. Kusentuh wajahnya dengan kedua tanganku. Kuusap kantung matanya dengan ibu jariku dan membiarkan mata kami beradu. Dia memegang tanganku yang masih berada di wajahnya lalu memejamkan mata, yang membuatku tersenyum.

“Apa kau merindukanku?” tanya Seulgi setengah berbisik, menyandarkan wajahnya di telapak tanganku.

Aku bahkan tak punya keinginan untuk mengelak seperti biasa. “Hm.”

Matanya terbuka lalu tersenyum. “Tumben langsung mengaku.” dia tertawa renyah.

“Kenapa? Tak suka?” tanyaku membelai rahangnya.

Seulgi menggenggam satu tanganku dan mengecupnya. “Aku rela menghilang selama 2 minggu berikutnya kalau bisa mendapatkan semua ini.”

Aku merunduk, melingkarkan lenganku di lehernya dan mendekapnya erat. Dia tak perlu melakukan itu karena ketidakhadirannya selama 2 minggu ini sudah cukup memberiku pelajaran kalau aku tak ingin hal seperti ini terjadi lagi. Dia tak perlu menghilang selama itu hanya demi sebuah pelukan karena aku akan memeluknya kapanpun dia mau. “Setidaknya kabari aku. Jangan membuatku cemas.” balasku melepaskan pelukan kami.

Kami tak punya status yang jelas tapi aku sudah merasa kami memiliki satu sama lain. Kalau saja dia memintaku menjadi pacarnya sekarang, ku pastikan tak akan menolaknya. Tapi aku tak bisa memintanya, aku ingin dia sendiri yang tergerak untuk melakukannya karena kupikir semua yang perlu dilihatnya dariku, bagaimana perasaanku padanya, sudah kuperlihatkan dengan sangat jelas akhir akhir ini. Kalau dia saja bisa sabar menghadapi keras kepalaku, kenapa aku tak bisa? Aku akan menunggunya sampai dia merasa yakin.

“Hei, bagaimana kalau minggu depan kita ke rumahku? Aku akan membawa Umma biar kalian bisa lebih dekat.”

Aku mengerang lalu duduk di sampingnya. “No.” tolakku cepat. “Aku tak suka ibumu.”

Seulgi tertawa. “Kau tahu, beberapa wanita yang pernah dekat denganku justru berusaha mendekati ibuku dulu, mencari simpatinya, mengatakan yang baik baik tentangnya untuk meluluhkanku. Tapi kau ini, dari awal sudah begini jujur kalau tak suka dengan ibuku. Kau tak takut aku mundur? Aku sangat mencintai ibuku.” Seulgi menyenggol bahuku.

Aku mendengus. “Ibumu yang lebih dulu tak menyukaiku dan selalu sinis padaku.” aku membela diri. “Dan juga kenapa aku harus pura pura menyukai ibumu untuk menarik perhatianmu? Aku bukan wanita wanita cantik itu.” gerutuku sedikit sebal. “Sana balik pada mereka yang lebih pintar merayu ibumu.” Kenapa dia harus membahas tentang mereka di hadapanku? Menyebalkan sekali.

Bukannya membujukku, dia malah tergelak. “Kau ini.” Seulgi menarik hidungku lantas menghabiskan jus jeruknya.

“Jangan pegang pegang.” kupukul tangannya.

“Oh begitu.” dari nadanya aku tahu dia sedang menggodaku. “Tadi siapa yang memelukku duluan, hm?” dia menyeringai.

Dasar menyebalkan. “Kau mau pulang sendiri atau kuusir?” aku melotot sadis padanya.

Pria itu malah tertawa seakan meremehkan ucapanku yang membuatku semakin sebal. Aku berdiri, tak lupa menarik tangannya dan menyeretnya ke pintu depan. Bukannya berhenti tertawa dia malah semakin menggodaku. Mengatakan kalau aku sengaja menarik tangannya hanya agar aku bisa menyentuhnya. Sialan. Pria ini pasti akan menjadi sumber kelemahanku suatu hari nanti.

“Sana pulang.” ucapku ketus.

“Kalau kau seperti ini aku malah tak ingin pulang.” cengirnya lebar.

Dasar sinting. “Silakan. Karena aku mau tidur.” gerutuku menyentuh daun pintu dan siap membantingnya di depan wajah laki laki menyebalkan itu. Walaupun akhirnya gagal kerena Seulgi menahan dengan tangannya dan menarikku mendekat.

Padahal tadi aku yang memeluknya tapi kenapa sekarang rasanya begitu malu ditatap nanar olehnya. Dia berdiri terlalu dekat hingga aku bisa merasakan hembusan napasnya di wajahku. Wajahku sudah pasti merah, terlihat dari seringai kurang ajarnya. Terlebih ketika dia meraih tanganku dan menggenggamnya seraya terus menatapku, yang membuatku tak bisa berpaling meskipun wajahku sudah terbakar malu.

“Aku pulang dulu.” ucapnya pelan mengusap punggung tanganku. Seringainya lenyap, berganti senyum tipis yang membuat kesalku pudar.

“Kabari aku kalau sudah sampai di rumah.”

Seulgi mengangguk, mengecup punggung tanganku lalu beranjak menuju mobilnya. Dia melambai padaku sebelum sosoknya menghilang, meninggalkanku termenung seperti orang bodoh di depan pintu.

 

***

 

Seulgi benar benar serius ketika dia mengatakan ingin membuatku dan ibunya lebih dekat. Karena baru saja aku menginjak teras rumahnya, sepasang mata sudah tertuju padaku. Memandang dengan mata siap menghunus sekaligus menguburku hidup hidup. Really, ada apa dengan wanita itu? Memangnya apa salahku jadi dia bersikap seolah aku ingin mencuri sesuatu darinya. Jangan katakan dia takut aku mengambil Seulgi dan cucunya darinya. Menggelikan sekali.

“Kau tahu masakan apa yang disukai Seulgi?” tanya wanita itu menatapku sinis.

Of course not. Kami belum sampai pada tahap aku tahu semua tentangnya. “Tidak.” balasku sedikit sebal namun tentu saja tak kuperlihatkan. Takut dia melemparkan pisau yang sedang dipegangnya.

Wanita itu tersenyum mengejek yang membuatku memandangnya datar. “Samgyetang.”

Oh. Bukan ide buruk juga karena mungkin aku bisa dapat beberapa informasi darinya. “Bersihkan ayamnya.” dia meletakkan wadah berisi seekor ayam di dekat wastafel, juga beberapa sendok garam di mangkuk kecil.

What?

“Jangan hanya berdiri di sana, cepat bersihkan.” perintahnya.

Aku beranjak dengan malas lalu mencuci tangan sebelum mengeluarkan ayam tersebut dan melumurinya dengan garam dan memastikan semua bagian terkena garam sebelum mencucinya bersih. Aku tak tahu apa yang ada dipikiran wanita itu tapi sepertinya dia ingin menjadikanku pembantunya. Dan yang lebih membuatku sebal karena Seulgi meninggalkan kami berdua di dapur. Sialan.

Sementara aku membersihkan ayam, ibu Seulgi menyiapkan beberapa bahan lain dan mencucinya untuk membuat masakan yang katanya kesukaan anaknya yang menyebalkan itu. Selama menyiapkan semua bahan itu, dia sesekali melihat ke arahku. Entah apa yang dilihatnya.

Selesai mencuci ayam, aku mengambil beras yang diletakkannya di depanku dan mencucinya beberapa saat hingga aku merasa itu sudah cukup. Ibu Seulgi mengambilkan sebuah panci berukuran besar juga nampan lalu memberikannya padaku. Aku hanya menghela napas dan menuruti kemauannya, tak lagi berpikir untuk kabur. Barangkali beliau memang sedang lelah namun ingin menyajikan sesuatu untuk anak dan cucunya.

Jujur aku tak pernah membuat samgyetang sendiri. Tak salah kalau sekarang aku merasa lumayan gugup. Terlebih di hadapan ibu Seulgi. Walau begitu, aku tahu cara membuatnya. Dulu ayahku sangat menyukainya sehingga aku sering melihat dan membantu ibuku membuatnya. Aku juga sangat menyukainya dulu tapi setelah kejadian terlalu banyak makan ayam yang membuat perutku bergejolak, aku tak lagi berani memakannya. Mungkin semacam trauma yang lama lama menjadi kebiasaan hingga sekarang.

“Kau sering membuat ini?”

“Dulu.” jawabku memasukkan beras yang tadi kucuci ke rongga ayam, menambahkan beberapa siung bawang putih, sebutir jujube dan ginseng yang disediakan ibu Seulgi. “Kenapa?”

Wanita itu menggoyangkan bahu dengan sombongnya, membuatku ingin menyumpal mulutnya dengan ginseng. “Jangan sampai anak dan cucuku keracunan karena masakanmu.”

What? Kalau begitu kenapa menyuruhku? Kenapa tak dia saja yang membuatnya sendiri? Ibu dan anak sama saja. Sama sama menyebalkan. Rasanya aku jadi ingin memasukkan racun sungguhan ke dalam sup ini. “Tenang saja, paling hanya perlu membawa mereka ke rumah sakit untuk menguras lambung mereka.” sahutku asal yang membuat wanita itu mendengus sebal.

“Kau tak takut aku memberitahu Seulgi tentang sikapmu padaku?”

Oh, mulai mengancam rupanya. “Tidak.” jawabku cepat walaupun sebenarnya agak cemas juga.

“Kau tahu, semua wanita yang pernah dikenalkan Seulgi selalu sopan padaku. Baru kau yang seperti ini.”

Tak kugubris ucapannya dan memilih menuangkan air ke dalam panci hingga sosok ayam yang kini terlihat obesitas isi itu tenggelam di dalam sana, menutupnya rapat lalu meny

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
hi_uuji
#1
Chapter 18: Smile from ear to ear 😭💖😬 GEMASSSS bakal gamon sih sama kekacauan Jeno Jaehyun 😖😖😖 thanks a lot for this heart warning work!
hi_uuji
#2
Chapter 15: AAAAAAAAA GUXHFJDUGGSTSGUC
hi_uuji
#3
Chapter 9: Sumpah ini udah kacau sih 😬😬
ephemeral24_ #4
Chapter 18: mantap ini cerita kedua yg aku baca👍🏻🤩
Boywithluv_ #5
Chapter 18: Gila ini keren bget ?
jasonds #6
Chapter 18: Nice Store banget
Jiyeonnie13
#7
Chapter 18: lanjut ke berumah tangga, maybe? :D
need sequel authornim
Brewingthebear
#8
Chapter 18: Huwaaaa~ udahan story nya... akirnya mereka bersatu di pelaminan xD ada lanjutanya lg ga nih thor???
royalfamily31 #9
Chapter 18: Akhirnyaaaaa happy ever after.. uwuuuu
Thx banget author nim udah nulis cerita serealistis ini. Semua karya author cucok semua, mantuull..

Aku suka banget karakter seulrene disini, terutama irene. Karakter irene buat aku karakter yg realistis banget, agak drama memang, tp ya itulah hidup. Kita cuma bisa melihat dari sudut pandang kita dgn berbagai kerumitan dan konflik batin.

Thx u authornim, ku selalu menunggu update terbarumu hehe.. *genben seulrene lg pleaaseee
JungHi0225 #10
Chapter 18: Ohmygod gw bahagia bgt bacanya. Rasanya nano2 chap trakhir ini. Sedih, seneng, bangga jd satu. Thx u thor udh bikin cerita indah yg selalu gw tunggu. Mdh2n ada sequel stlh menikah. Ngelunjak bgt gw wkwkwk