Chapter 10

Second Chance
Please Subscribe to read the full chapter

 

“Ini letakkan di mana...” Hyuk memandangku usil. “...Noona?”

Kupukul lengannya dengan penggaris yang kupegang. “Di mejaku, memangnya di mana lagi.”

“Meja Noona yang mana?”

Aku melirik sekitar sebelum menjitak kepalanya yang membuat Hyuk tertawa. Puas sekali sepertinya anak itu mengerjaiku.

“Wae? Noona, kan...”

“Shut up.” potongku sebal. “Kau hanya boleh memanggilku Noona di luar lingkungan sekolah. Di dalam sekolah aku tetap gurumu.”

“Oh, jadi kalau di dalam sekolah Ssaem bukan tunang...”

Kubekap mulutnya. Dia laki laki tapi kenapa menyebalkan begini. “Mulut kalian memang tak punya rem?” sambarku gemas. “Kakak dan adik sama menyebalkannya.” gerutuku melepaskan bekapan tanganku.

“Tapi tetap cinta, kan, Noo... Eh Bu?” cengirnya tanpa dosa.

Sekali lagi kujitak kepalanya namun Hyuk hanya tertawa menyebalkan.

“Apa yang lucu, Hyuk?”

Aku menoleh dan mendapati Wendy berjalan ke arah kami.

“Ini, Bu Joohyun...”

Sebelum Hyuk sempat menyelesaikan kalimatnya, aku merampas buku yang tadi kuminta untuk diletakkan di mejaku. “Tak apa, Wen.” aku tersenyum pada Wendy. “Sana pulang.” usirku pada Hyuk yang hanya menyeringai padaku lalu memutar tubuhnya dan menjauh dari kami.

“Unnie, maaf sepertinya aku hari ini tak pulang bersamamu. Kebetulan Chanyeol pulang dinas lebih awal jadi dia mengajakku kencan.” jelas Wendy sedikit tersipu.

Aku tersenyum geli melihatnya. “Tak apa.” balasku. “Sudah dijemput?”

Dia mengangguk.

“Ya sudah sana. Kasihan Ahjussi menunggu lama.”

Wendy langsung merengut. “Unnie, berhenti memanggil suamiku Ahjussi.” dia sedikit merengek.

“Aish, iya iya. Sana.” usirku setengah bercanda.

“Unnie, maaf.”

“Iya tak apa. Sana. Kasihan Mr. Park menunggu.”

“Ya sudah, aku duluan.” Wendy tersenyum sebelum beranjak.

Aku hanya geleng geleng kepala melihatnya. Sampai kapan anak itu akan merasa tak enak pada semua orang.

Karena tak ada yang kutunggu atau menungguku, aku lebih memilih tak terburu pulang. Setelah membereskan mejaku, aku sengaja pergi ke depan aula sekolah, melihat para siswa pulang. Ada yang dijemput orangtuanya, ada yang naik sepeda, ada yang bergegas pulang, ada juga yang lebih memilih bercanda dengan teman temannya lebih dulu. Melihat hal itu membuatku tersenyum, teringat kembali seperti apa masa sekolahku dulu.

“Menginap di sekolah, Bu?”

Suara itu membuatku telonjak, terkejut bukan main. Aku menoleh dan mendapati Kepala Sekolah berdiri tak jauh dariku. “Astaga, Pak, mengagetkan saja.”

Mr. Choi terkekeh. “Habisnya Bu Joohyun begitu serius memandang mereka, seolah tak berniat pulang.”

“Bilang saja kalau Bapak yang mau menggantikan satpam sekolah.” balasku.

Kami mengobrol sebentar sebelum aku pamit pulang pada Mr. Choi.

 

 

 

 

“Seul?” aku terkejut melihat Seulgi berdiri di depan pintu rumahku.

“Aku lapar.” dia tersenyum sembari memperlihatkan beberapa barang bawaannya.

“Kalau lapar harusnya langsung makan, bukan malah datang ke rumahku.” sahutku membukakan pintu untuknya.

“Aku ingin makan bersamamu.” balasnya santai berjalan melewati pintu. “Kau sudah makan?”

“Sedang diet.”

Seulgi menatapku dengan alis mengernyit, seolah aku mengatakan sesuatu dengan bahasa alien. “Diet untuk?” tanya Seulgi meletakkan belanjaannya di meja makan.

Aku memandang datar padanya, malas menjawab. “Mau minum apa?”

“Air putih saja.”

Kusodorkan segelas air putih padanya sementara Seulgi membuka makanan yang dibelinya. Tanpa menawariku, dia langsung melahap sepotong kimbab dan memasukkan potongan baru setelah beberapa kali kunyahan hingga beberapa potong kimbab lenyap dalam hitungan detik. Apa dia memang selapar itu?

“Lapar, Mr. Kang?” tanyaku agak geli.

“Sangat.” jawabnya. “Hari ini kerjaanku banyak, tenagaku terkuras.”

“Sudah kubilang sediakan setidaknya roti di mobil atau ruanganmu.”

“Sudah, tapi aku malas.”

Jawabannya membuatku memutar bola mata. Sulit sekali menasihatinya. Mungkin memang pria ini hanya menurut pada ibunya. Kuambil gelas yang sudah kosong dan mengisinya kembali lalu menyerahkannya pada Seulgi.

Aku duduk, memperhatikan Seulgi yang kini mulai melahap sepotong ayam goreng setelah menghabiskan seporsi kimbab. Teringat kembali saat awal pertama kami berkenalan, ketika aku dan Jeno bertemu dengannya dan Yerim di sebuah restoran cepat saji. Mereka menghabiskan banyak makanan saat itu yang membuatku takjub. Bahkan hingga sekarang aku masih takjub meskipun aku sudah sering melihat hal ini.

“Kau benar benar lapar?” tanyaku membersihkan remahan fried chicken di sudut bibirnya. Makannya sangat lahap.

Seulgi mengangguk kecil yang membuatku berhenti bertanya dan memilih memperhatikan bagaimana dia menghabiskan semua makanan yang dibelinya. Aku terus memperhatikannya, terus menatap wajahnya yang tak membuat bosan sama sekali. Dia punya sepasang mata yang tajam namun hangat dan teduh dengan alis mata yang bisa membuat tatapannya mematikan. Garis rahangnya yang kokoh memberi kesan maskulin dan penuh kharisma. Ditambah bentuk hidung dan bibirnya yang membuatnya terlihat lebih menggemaskan.

Aku mulai merutuk karena kini mataku tertuju pada bibirnya. Bibir yang kucium dan menciumku malam itu, yang membuat sensasi aneh pada tubuhku saat bibir kami bersentuhan, dan membuatku ingin merasakannya kembali. Oh Tuhan, aku harus berhenti memikirkan itu.

“Hari Minggu nanti mau ke rumahku lagi?”

“Tidak, terimakasih.” sahutku mencuci gelas dan sumpit yang baru digunakan Seulgi. “Aku sedang malas mendengar ocehan ibumu.” jujur aku tak serius mengatakannya. Aku hanya merasa sungkan kalau terlalu sering ke rumahnya.

Seulgi terkekeh lalu berdiri di sampingku. “Apa wanita memang punya ego yang lebih tinggi dari tubuhnya?”

Aku melirik sadis padanya yang hanya ditanggapi Seulgi dengan tawa. “Egoku malah melebihi lapisan atmosfer.” balasku meletakkan peralatan yang baru kucuci di tempatnya masing masing.

Tawa Seulgi makin menjadi. Dia merangkulku dari samping lalu mengecup pipiku. “Kau luar biasa, Hyun.” tukasnya menarikku lalu memelukku dari belakang.

Kusandarkan punggungku di dadanya, menikmati pelukan hangatnya yang begitu nyaman. Mataku terpejam merasakan sentuhan bibirnya di bahuku. Sangat menyenangkan dan menenangkan hingga aku ingin terus dipeluk olehnya. Setelah bahu, ciumannya berpindah ke leherku, yang membuat rambut di sekujur tubuhku meremang ketika dia menyentuh kulit di bawah daun telingaku. Kugigit bibirku, menahan sensasi aneh yang sangat memabukkan. Tangannya meraba jemariku, menyentuh cincin yang diberikannya.

“Syukurlah kau masih memakainya.”

Aku menoleh, menatap langsung ke bola matanya. “Aku tak punya alasan melepasnya.” balasku dengan napas sedikit memburu.

Seulgi memutar tubuhku menghadap ke arahnya, memberikan beberapa kecupan di wajahku sebelum menyatukan bibir kami. Ciumannya bagai candu, membuatku mabuk dan ketagihan. Terlebih saat bibirnya menyesapku lembut, melumatku dalam hingga membuatku hanyut dalam pelukannya. Kupeluk lehernya, menautkan bibir kami lebih dalam hingga kebutuhan akan oksigen membuatku harus melepaskannya. Kutarik wajahku darinya sebelum aku benar benar kehabisan napas.

“Wow.” Seulgi terkekeh pelan.

“Yeah, wow.” balasku sembari mengatur napas, membiarkan Seulgi mendekap erat pinggangku.

“Kau membuatku gila kalau terus begini, Joohyun.” bisiknya menempelkan dahi kami. “Please, jangan membuatku menunggu terlalu lama sebelum aku memaksamu.”

Kutinju perutnya. “Kalau begitu sebaiknya kau pulang.”

Seulgi memajukan bibirnya yang membuatku ingin menciumnya kembali. “Kau mengusirku?”

“Ya.” jawabku mantap.

Dia tertawa. “Ya sudah, aku pulang dulu. Besok ku jemput.” dia meraih tangan kiriku dan mengecup cincin di jari manisku. “Jangan merindukanku.” dia mengedip usil.

“Tidak, tenang saja.” kutinju sekali lagi perutnya sebelum mengantarnya hingga ke mobil. “Hati hati. Kabari kalau sudah sampai.”

“Tanpa kau minta juga aku pasti akan menghubungimu.” sahutnya sebelum menjalankan mobil.

 

***

 

“Apa yang kau lakukan di sini?” tanyaku datar melihat Jennie berada di teras rumahku.

Setelah kejadian pagi itu, aku tak berpikir dia akan akan datang lagi, setidaknya tak secepat ini.

“Aku ingin minta maaf atas kejadian kemarin.”

“Yang mana?” tanyaku lagi. Aku hanya ingin tahu dia merasa bersalah atas apa. Karena kalimatnya sebelum dia angkat kaki dari rumahku, atau ciuman itu.

“Karena menciummu waktu itu.” jawabnya, memang nampak merasa bersalah.

Bisa dikatakan hal itu terjadi bukan murni kesalahannya, aku juga salah karena terlalu terbawa suasana. Kalau aku bisa lebih mengontrol diri, aku yakin semua itu tak akan terjadi. Aku menghela napas panjang. Entah sampai kapan aku terus menyalahkan diriku atas apa yang terjadi di antara kami.

“Sudahlah, aku tak ingin membahasnya. Sebaiknya sekarang kau pulang.”

“Beberapa waktu lalu kau tak sedingin ini. Kau juga bilang tidak membenciku. Tapi kenapa sekarang aku merasa kau begitu membenciku? Kenapa? Apa karena laki laki itu?”

Dadaku langsung berdegup cepat. What? Laki laki? Apa dia tahu tentang Seulgi? Kalau iya, dari mana?

Jennie mendekat. “Kenapa diam? Aku yakin kau mengerti siapa yang kumaksud. Laki laki itu, yang sering mengantar dan menjemputmu.”

Dia gila. Aku tak penah tahu dia bisa segila ini.

“Kang Seulgi, benarkan?” dia tersenyum yang membuatku sedikit takut. “Pantas saja kau meninggalkanku dan lebih memilih bersamanya.” ucapannya terdengar sinis. “Siapa yang tak mau dengan pria kaya, masih muda, tampan pula.”

Sinting.

Dari mana dia tahu Seulgi? Dan dari mana dia tahu tentangnya?

Kata katanya membuat kupingku panas. Jadi dia pikir aku cuma melihat harta? Sialan. Aku bahkan baru tahu hal itu dari mulutnya. Aku hanya tahu Seulgi punya bisnis kafe dan restoran, selebihnya aku tak mengurusi jumlah hartanya. Memangnya aku petugas pajak.

“Sebaiknya kau pulang.”

“Kenapa? Jangan bilang kau belum jujur padanya tentang kita.”

Brengsek. Apa apaan wanita ini. “Kubilang sebaiknya kau pulang.”

Jennie menyeringai. “Oh ternyata benar kau belum memberitahunya tentang...”

“Shut up, Kim Jennie!” selaku geram. “Kita putus bukan karena siapa siapa tapi karena memang itu salah. Jadi berhentilah mengulang cerita itu karena apapun yang terjadi aku tak akan pernah kembali padamu.”

“Dulu kata katamu tak seperti ini. Dulu kau justru ingin menikah denganku dan hidup bersamaku.”

Wanita ini benar benar harus segera pergi sebelum aku lepas kendali dan semakin menyakitinya. “Itu dulu, oke? Itu dulu saat aku masih tolol dan lebih mementingkan egoku daripada orang orang yang kucintai.” suaraku bergetar menahan emosi.

Air muka Jennie berubah. Dia terlihat syok sekaligus terluka. “Jadi maksudmu kau hanya mempermainkan perasaanku, begitu?”

Inilah yang tak kusuka berurusan dengan orang. Kadang mereka dengan sengaja menyudutkanku dan membuatku tak punya pilihan lain selain melawan. Tapi saat aku melawan, mereka selalu mengembalikannya padaku, seolah akulah orang yang paling bersalah, orang yang paling jahat. Itulah kenapa aku sering menghidari perdebatan. Bukan karena aku takut, tapi karena aku malas. Berdebat dengan kepala yang masih panas hanya akan menambah masalah. Dan inilah salah satunya.

“Ya.” jawabku lantang. “Sudah senang? Sekarang bisa kau pergi dari rumahku karena aku tak ingin melihatmu.” tambahku dengan suara meninggi.

Aku bersumpah tak pernah terpikirkan untuk menyakiti siapapun apalagi mereka yang kucintai. Tapi keadaan memaksaku melakukannya. Mereka selalu berhasil membuatku terlihat seolah aku tak punya hati dan tak pernah tahu bagaimana sakitnya aku menanggung perasaan bersalah.

Jennie sudah akan membuka suara ketika terdengar suara lain yang menyela obrolan kami.

“Unnie, ada masalah?” Aku menoleh dan mendapati Wendy bersama suaminya berdiri di depan pagar rumahku.

“Tidak, Wen, tak apa. Kami hanya berdebat hal tak penting.”

Wendy tak terlihat percaya dengan alasanku namun dia tetap mengangguk kecil. Matanya mengarah pada Jennie dan itu membuatku khawatir karena aku tahu bagaimana jelinya anak itu dalam membaca situasi.

“Apa Ahjussi baru pulang?” tanyaku mengalihkan topik pada Chanyeol dan laki laki berseragam polisi itu tersenyum ramah sebagai balasan. “Yang sabar, Ahjussi, sepertinya istrimu lebih suka mengurusku ketimbang mengurus suaminya.”

“Unnie, kubilang berhenti memanggil suamiku Ahjussi. Kau mau pacarmu kupanggil kakek?” Wendy merengut yang membuat Chanyeol tertawa lantas menyeret istrinya pulang.

“Kau juga sebaiknya pulang. Aku sedang tak ingin berdebat denganmu.”

“Terserah.” balas Jennie berlalu.

 

***

 

Seriously, aku tak mengerti dengan ibu Seulgi.

Apa wanita itu punya kepribadian ganda atau semacamnya? Kupikir sudah jelas waktu itu, dimalam ketika Seulgi melamarku, wanita itu begitu ramah. Dia bahkan mengucapkan terimakasih padaku yang membuatku takjub tak hanya karena ucapan tapi karena suara keibuannya. Dan hari ini Seulgi mengajakku makan malam di rumah mereka, wanita itu kembali bersikap sinis. Dia bukan seorang psikopat, kan?

Selesai makan malam, Seulgi mengajakku bersantai di ruang keluarga mereka namun kubilang aku ingin membantu asisten rumah tangganya membersihkan dapur dulu yang langsung diiyakan olehnya. Rasanya tak enak juga hanya datang untuk makan dan tak membantu apa apa.

“Apa Seulgi gugup saat menyerahkan cincin itu?”

Aku menoleh lantas tersenyum sambil mengangguk kecil.

“Sebelum melamarmu, beberapa hari dia mondar mandir tak jelas di rumah. Meracau sendiri. Bingung sendiri. Bolak balik bertanya padaku bagaimana caranya

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
hi_uuji
#1
Chapter 18: Smile from ear to ear 😭💖😬 GEMASSSS bakal gamon sih sama kekacauan Jeno Jaehyun 😖😖😖 thanks a lot for this heart warning work!
hi_uuji
#2
Chapter 15: AAAAAAAAA GUXHFJDUGGSTSGUC
hi_uuji
#3
Chapter 9: Sumpah ini udah kacau sih 😬😬
ephemeral24_ #4
Chapter 18: mantap ini cerita kedua yg aku baca👍🏻🤩
Boywithluv_ #5
Chapter 18: Gila ini keren bget ?
jasonds #6
Chapter 18: Nice Store banget
Jiyeonnie13
#7
Chapter 18: lanjut ke berumah tangga, maybe? :D
need sequel authornim
Brewingthebear
#8
Chapter 18: Huwaaaa~ udahan story nya... akirnya mereka bersatu di pelaminan xD ada lanjutanya lg ga nih thor???
royalfamily31 #9
Chapter 18: Akhirnyaaaaa happy ever after.. uwuuuu
Thx banget author nim udah nulis cerita serealistis ini. Semua karya author cucok semua, mantuull..

Aku suka banget karakter seulrene disini, terutama irene. Karakter irene buat aku karakter yg realistis banget, agak drama memang, tp ya itulah hidup. Kita cuma bisa melihat dari sudut pandang kita dgn berbagai kerumitan dan konflik batin.

Thx u authornim, ku selalu menunggu update terbarumu hehe.. *genben seulrene lg pleaaseee
JungHi0225 #10
Chapter 18: Ohmygod gw bahagia bgt bacanya. Rasanya nano2 chap trakhir ini. Sedih, seneng, bangga jd satu. Thx u thor udh bikin cerita indah yg selalu gw tunggu. Mdh2n ada sequel stlh menikah. Ngelunjak bgt gw wkwkwk