Chapter 18 (fin)

Second Chance
Please Subscribe to read the full chapter

Sebenarnya ini mau saya publish kalau nggak besok, lusa, krn setelah dibaca berulang kali, isinya agak aneh. Tp krn 3 hari ke depan bakal banyak kerjaan, mending sekarang aja lah. Semoga nggak pada kecewa. Yg mau kritik saran protes, dipersilakan.

Thanks buat yg suka komen, kasih saran dan masukan. Thanks jg buat yg upvote, buat yg subscribe (kalau yg ini mungkin krn mau nggak mau soalnya kalau nggak disubscribe nggak bisa baca)

Makasih banyak.

Drama terakhir drama yg kebanyakan drama ini. Semoga nggak pada kesel lg ya.

 

“Batalkan pernikahannya.”

Seulgi tertegun mendengar permintaanku. Dia diam beberapa saat sebelum menatapku tepat di bola mata dengan rahang mengeras. “Kenapa?”

Aku berpaling, tak sanggup menerima tatapan tajamnya.

“Kenapa, Joohyun?”

Nada bicaranya terasa menusuk hingga ke jantung, membuat sakit yang kurasakan terasa berlipat ganda. Kugigit bibirku, menahan tangis sekaligus karena tak bisa menjawab pertanyaannya.

“Kenapa diam?” suaranya sedikit meninggi. “Kalau kau tak punya jawaban sebaiknya diam saja dan tak usah meminta yang tidak tidak.” dia berdiri. “Sebaiknya kau tidur.” tukasnya sebelum berjalan ke pintu.

“...Karena aku merasa kotor.” air mataku kembali menetes.

“Lalu? Membatalkan pernikahan bisa membuatmu seketika menjadi orang suci? Bull, Joohyun, dan tak usah menangis!” bentaknya. “Kau begitu berani meminta hal tolol seperti itu dan menangis setelahnya. Very funny.”

Kuseka air mataku. “Kau berhak dapat wanita yang lebih baik.”

“Oh, setelah memintaku membatalkan pernikahan, sekarang kau berpikir kau lebih tahu apa yang terbaik untukku?” suaranya terdengar berat dan sinis. Dia berbalik menatapku. “Terserah aku mau memilih wanita yang seperti apa. Mau aku jatuh cinta pada pelacur pun itu terserahku. Semua itu bukan urusanmu. Aku lebih tahu apa yang membuatku bahagia ketimbang mendengarkan wanita yang memintaku membatalkan pernikahan kami.”

Ucapannya membuatku memutus kontak mata dengannya. Aku menekuk lutut dan memeluknya, menyembunyikan tangisanku di sana walaupun aku tahu itu tak berarti apa apa. Sekujur tubuhku sakit terlebih hatiku. Aku benar benar merasa tak punya harga diri lagi. Semuanya hancur.

“Kubilang tak usah menangis, Bae Joohyun!”

Entah kapan dia mendekat karena kini kurasakan dia menarik kasar tanganku, memaksaku untuk memandangnya, membuat emosiku membubung tinggi. Aku bangkit dan mendorongnya. “Menjauh dariku!” teriakku tak kalah geram. “Kau bisa bicara begitu karena bukan kau yang berada di posisiku! Kau bisa bicara begitu karena bukan kau yang mendapat perlakuan itu!! Karena bukan kau yang kehormatannya jadi bahan permainan seperti yang Jennie lakukan padaku!!!”

Lututku lemas hingga aku jatuh bersimpuh di lantai sambil menyembunyikan wajahku yang sudah banjir air mata di kedua telapak tanganku. Kenapa dia harus datang sekarang. Kenapa dia tak pergi saja dan membiarkanku sendiri. Setidaknya beri aku waktu untuk berpikir jernih dan bukannya meladeni emosiku yang sedang tak stabil seperti ini.

“Dia melihat semuanya.” isakku mengacak frustasi rambutku. “Dia menyentuh semuanya dan itu membuatku merasa jijik pada diriku sendiri.” entah bagaimana aku menghentikan tangisanku karena tak ada tanda tanda air mata ini akan berhenti mengalir. Terlebih saat bayangan Jennie menggerayangiku di bawah sana terlintas kembali.

Seulgi diam. Hanya isak tangisku yang terdengar saat itu. Rasanya begitu mencekam, membuat tubuhku bergetar hebat karena takut.

“Aku mencintaimu.” tuturnya tiba tiba yang membuat air mataku jatuh semakin tak terhenti dan sakit di hatiku semakin tak tertahankan. “Aku marah karena kau merendahkan apa yang kurasakan untukmu. Kenapa memangnya kalau dia yang lebih dulu mengambilnya darimu?” suaranya bergetar. “Tidak mudah untuk kita sampai ke tahap ini, Hyun. Kau pikir aku berusaha sekeras ini hanya karena ingin tubuhmu? Kau pikir hanya itu yang kuinginkan darimu?” Seulgi bersimpuh di depanku. “Aku menginginkanmu, Joohyun. Semuanya. Semua yang bisa kau berikan. Aku ingin menikah denganmu karena aku ingin menghabiskan sisa umurku bersamamu. Karena aku mencintaimu.”

Ucapannya membuat sekujur tubuhku mati rasa.

Sebesar itu keinginannya untuk bersamaku?

Setulus itu dia mencintaiku?

Sekuat itu tekadnya untuk menikahiku?

Kurasakan usapan tangannya di kepalaku. “Jangan memintaku membatalkan pernikahan kita karena aku tidak akan pernah melakukannya. Aku mencintaimu, Joohyun. Aku sangat mencintaimu. Please... Jangan lakukan ini. Aku tidak ingin kehilanganmu.”

Tanpa sadar tanganku terulur ke wajahnya, menyeka air mata yang jatuh di pipinya. Air mata itu mungkin bukan karena apa yang sudah menimpaku, tapi karena permintaanku, karena kata kata yang tak seharusnya kukatakan. “Maaf.”

Seulgi menyandarkan wajahnya di telapak tanganku dengan kedua mata terpejam. “Jangan batalkan pernikahannya.” mohonnya memegang tanganku yang masih berada di wajahnya.

Aku menggeleng cepat lantas mendekapnya erat.

 

***

 

Hangat sinar matahari membuatku terbangun pagi itu. Perlahan kubuka mataku, mengerjap beberapa kali sebelum mendesah pelan karena sakit di sekujur tubuhku. Kupandangi luka yang terasa begitu perih di pergelangan tanganku dan kembali menarik selimut, meringkuk menahan dingin yang terasa menusuk. Mataku menerawang, teringat kembali kejadian tadi malam yang langsung membuat hatiku berdenyut.

Suara pintu terbuka membuatku menoleh dan kulihat Jaehyun masuk dengan sebuah nampan. Tubuhku masih lemas namun kupaksakan untuk duduk.

“Kalau masih lemas, jangan dipaksakan.” tukasnya meletakkan nampan yang berisi kalau dari wanginya, sepertinya sup labu. “Apa yang sakit?”

“Hanya pergelangan tangan.” jawabku lirih.

Jaehyun memegang tanganku dan mengamati setiap goresan di pergelangan tanganku. Dia menghela napas pelan. “Sepertinya luka yang baru ini tak terlalu sakit dibanding yang sebelumnya.”

“Mungkin.”

“Tadi Wendy Noona menelponku. Aku tak bertanya alasan apa yang diberikannya, tapi kepala sekolah memberimu izin sampai kau benar benar pulih dan siap untuk mengajar lagi.” jelasnya mengusap punggung tanganku. “Sebaiknya makan dulu.”

“Tidak lapar.”

“Noona...” Jaehyun kembali menghela napas. “Setidaknya hargai masakan adikmu.”

Aku menatapnya. “Kau tidak memberitahu Umma tentang ini, kan?”

Jaehyun menggeleng. “Harusnya kita tak merahasiakan ini dari Umma, tapi Umma pasti menangis kalau tahu apa yang menimpamu jadi mungkin memang sebaiknya kita menyembunyikannya.”

Kuusap pergelangan tanganku. “Thanks.”

“Ayo makan. Biar kusuapi.”

“Letakkan saja di sana. Nanti kalau lapar, aku akan makan.”

“Ya sudah.” akhirnya dia menyerah membujukku.

“Seulgi... Pulang jam berapa tadi malam?”

“Dia baru pulang tadi pagi.” jawabnya. “Apa yang kau katakan padanya sehingga dia terlihat begitu ketakutan tadi malam?”

Aku bersandar lemah di sandaran ranjang. “Aku memintanya membatalkan pernikahan kami.”

Jaehyun terbelalak. “Kau gila. Apa yang membuatmu berpikir begitu?”

“Mungkin aku hanya takut, entahlah.” aku menggoyangkan bahu. “Aku takut dia tak bisa menerimaku setelah kejadian itu.”

“Noona, dia...” Jaehyun mendesah pelan. “Kalau dia tak bisa menerima apa yang sudah terjadi, dia tak akan datang tadi malam dan tak akan menjagamu sepanjang malam.”

“Jae...”

“Tadi malam kita tahu sebesar apa cintanya untukmu.”

Kepalaku tertunduk, menyesali apa yang sudah kukatakan pada Seulgi tadi malam.

“Noona, jujur padaku, apa Jennie sempat... Kau tahu...” dia terlihat ragu. “Benda sialan itu...”

“Tidak.” jawabku cepat.

Seandainya Chanyeol tidak memecahkan kaca jendela kamarku, mungkin semuanya sudah terenggut dariku karena aku bisa merasakan benda itu bersentuhan denganku. Namun suara pecahan kaca membuat Jennie terkejut sehingga dia menghentikan aksinya. Lagipula saat itu Chanyeol sudah menodongkan pistol padanya. Kalau dia masih nekat, tak menutup kemungkinan saat ini ada bagian tubuhnya yang cedera karena terkena luka tembak.

“Maaf karena aku tidak bisa menemanimu saat itu.”

“Sudahlah.” sahutku.

Setidaknya dia tak sempat merenggut kehormatanku. Yang kuharapkan sekarang adalah melupakan semua kejadian itu yang aku sendiri tak yakin bisa melakukannya.

“Kau benar.” Jaehyun memelukku sebentar. “Chanyeol langsung membawanya ke kantor polisi tadi malam. Apa yang akan kau lakukan padanya?”

Jujur aku tak ingin apapun selain dia menjauh dariku. Aku juga tak berpikir untuk memenjarakannya. Katakan aku bodoh karena terkesan selalu membelanya meskipun dia sudah menyakitiku seperti ini, tapi aku yakin Jennie bukan seorang kriminal dan penjara bukan tempat yang pantas untuknya. Dia perlu psikolog, psikiater, yang bisa membantunya untuk keluar dari obsesi berlebihan terhadapku. Harus ada yang membantunya keluar dari pemikiran gilanya dan memenjarakannya bukan solusi.

“Lihat nanti saja.” jawabku menegakkan punggung. “Sepertinya aku mulai lapar.”

Jaehyun mengambil nampan dan meletakkannya di pangkuanku.

Baru beberapa suapan, seseorang mengetuk pintu kamarku yang sontak membuatku dan Jaehyun menoleh dan detik berikutnya wajah Seulgi menyembul di baliknya. Dia masuk dan kulihat mata lelahnya yang seperti kurang tidur namun tetap menyunggingkan senyum hangat pada kami.

“Jae, kau sudah sarapan?”

“Belum.” jawab Jaehyun.

“Tadi aku membawakan sarapan dan roti. Makan dulu. Biar aku yang menemani kakakmu.”

“Oke. Kebetulan aku juga sangat lapar.” Jaehyun berdiri dan menatapku tajam seolah memperingatkanku agar tak mengatakan hal gila seperti tadi malam sebelum keluar dari kamar.

Setelah Jaehyun menghilang di balik pintu, Seulgi mendekatiku lalu duduk di depanku. Dia memandang mangkuk cream soupku. “Baru sarapan?”

“Baru merasa lapar.”

“Sini, biar kusuapi.” dia mengambil mangkuk dan menepikan nampan sebelum menyuapiku.

“Sudah sarapan?” tanyaku.

“Sudah.”

“Makan apa?”

“Roti coklat.” jawabnya menyunggingkan senyum tipis.

“Cuma itu?”

“Itu juga sudah sangat kenyang.”

Aku mengangguk pelan. “Jaehyun bilang kau baru pulang tadi pagi. Kenapa sekarang sudah di sini?”

“Tidak boleh?”

Kusentuh kantung matanya sambil menggeleng. “Harusnya kau istirahat. Tidurnya berapa lama?”

Seulgi menggoyangkan bahu. “Entahlah. Mungkin 2 atau 3 jam. Tapi mungkin juga lebih.”

“Mencemau?”

Dia mengangguk pelan seraya kembali menyuapiku dan kami tak bicara lagi hingga semangkuk cream soup labu buatan Jaehyun tandas tak bersisa. Seulgi membantuku minum kemudian membawa semua peralatan makan kotor itu keluar dari kamarku. Tak lama dia kembali dan duduk di ranjang bersamaku. Dia masih tak bicara, hanya menggenggam tanganku dan mengusapnya.

“Maaf.” gumamku.

“Sudahlah.” Seulgi menangkup wajahku lalu memberiku ciuman hangat di dahi, di kedua kelopak mataku dan terakhir ujung hidungku. “Sebaiknya kau istirahat.” hangat napasnya terasa di bibirku.

“Ngantuk?” tanyaku balas menangkup wajahnya.

“Sedikit.” jawabnya singkat mengecup telapak tanganku.

Aku bergeser pelan untuk memberinya ruang lalu membuka selimut. “Masuklah. Temani aku tidur karena aku juga mengantuk.”

Namun Seulgi tak beranjak sedikitpun dari tempatnya duduk dan hanya diam membisu.

Kuraih tangannya dan kugenggam erat. Kutatap lekat matanya sebelum mengecup punggung dan kedua telapak tangannya. “Please...”

Seulgi akhirnya menurut. Dia masuk ke bawah selimut dan berbaring bersamaku sebelum menarik selimut. Kupegangi sebelah tangannya dan berbalik memunggunginya. Kuletakkan tangannya di perutku lalu memejamkan mata. Sebelah tangannya lagi menyusup di bawah leherku dan melingkar di sana. Dia mengusap pelan bahuku lalu merapatkan tubuh kami.

“Seul.”

“Hm.”

“Thank you.”

Seulgi tak membalas, hanya membungkus tubuhku dalam dekapannya. “Tidurlah.”

Kukecup tangannya yang melingkar di leherku. “Jangan kemana mana sampai aku bangun nanti.”

“Tentu.” bisiknya mengecup kepalaku dan kubiarkan tubuhku hanyut dalam pelukannya. “Tidak akan.”

 

***

 

Sejak kejadian dengan Jennie waktu itu, Seulgi tak pernah lagi membiarkanku sendirian meskipun sekarang Jennie jelas tak akan bisa menggangguku lagi karena kini dia mendekam di tahanan setelah laporan yang diberikan Chanyeol. Dia selalu memastikan Jaehyun atau Jeno menemaniku dan memang kenyataannya aku juga mulai merasa ketakutan kalau harus sendirian di rumah. Seulgi juga sudah memberitahu ayah Jennie dan pria itu tak terlihat akan membela anaknya. Aku yakin, kalau saja dia ingin, Jennie pasti sudah bebas sekarang. Mungkin karena hubungan kerjanya dengan Seulgi membuatnya sungkan untuk melakukan itu.

Kupikir aku baik baik saja tapi ternyata tidak. Sangat sulit bagiku melenyapkan semua ingatan akan kejadian yang sudah dilakukan Jennie. Awalnya mungkin biasa, tapi lama kelamaan aku mulai merasa ketakutan sendiri, merasa melihat bayangannya di mana mana bahkan rasa takut itu mengejarku hingga ke alam mimpi. Tak jarang di tengah malam aku terbangun dengan keringat dingin membasahi sekujur tubuh yang membuatku mulai takut memejamkan mata. Untung saja setiap kali hal itu terjadi, Jaehyun atau Jeno selalu siaga di dekatku. Kalau tidak, mungkin aku sudah menangis histeris seperti orang gila.

Setelah mengobrol dengan Jaehyun, dia menyarankan agar aku menemui seorang psikolog. Melihat respon emosional dan psikologisku beberapa hari ini, dia bilang aku mengalami trauma. Aku tak menampik kalau memang kejadian itu sudah membuatku mulai menjadi sosok yang berbeda. Aku mengalami Insomnia parah karena takut kalau memejamkan mata maka mimpi buruk itu akan terulang. Waktu istirahatku jadi berantakan sehingga kondisi fisikku mulai menurun ditambah napsu makanku yang juga tak kalah kacaunya.

“Tak apa kalau kau belum bisa mengatakannya. Besok kita ke sini lagi.” Seulgi menggenggam tanganku ketika kami sudah berada di mobil setelah menemui psikolog yang disarankan Jaehyun.

“Seul...”

“Jangan pikirkan apapun, pikirkan saja apa yang bisa membuatmu merasa lebih baik.”

Apa yang bisa membuatku merasa lebih baik?

Untuk sekarang aku belum tahu.

Karena  cara pertama tak memberikan banyak kemajuan, Jaehyun akhirnya mengenalkanku pada seniornya yang seorang psikiater di Rumah Sakit tempatnya bekerja. Awalnya aku tersinggung dengan apa yang dilakukannya dan berpikir dia menganggapku gila, tapi Jeno berhasil meyakinkanku kalau semua yang dilakukan Jaehyun hanya sekedar membantuku meringankan beban yang kurasakan. Belum pernah aku bicara seserius itu dengan Jeno tapi siapa sangka anak bengal itu bisa membuat pikiranku sedikit terbuka dengan membawa bawa topik tentang pernikahanku yang akan terjadi dalam waktu dekat.

“Seulgi sudah berusaha sejauh ini, kalau kau memang mencintainya, jangan hancurkan mimpinya. Kau juga bilang ingin membuat Umma bangga, ingin melihatnya tersenyum, jadi lakukan saja.”

“Tapi aku tidak gila!”

“Siapa yang bilang kau gila?” Jeno menatapku dengan alis meninggi. “Kau hanya sakit, Hyun. Kau perlu dokter untuk menyembuhkannya dan dokter itu tak bisa hanya seperti Jaehyun karena yang sakit bukan tubuhmu, tapi di sini.” dia menunjuk dahiku. “Ada masalah di sini dan kau harus menyembuhkannya untuk bisa mewujudkan mimpi Seulgi dan membuat Umma tersenyum bangga padamu.”

Mataku berkaca kaca. Baru anak ini yang berani mengatakan aku tak gila tapi menunjuk kalau isi kepalaku yang sakit. Apa bedanya dengan dia mengataiku gila secara langsung.

“Aku tahu aku tak pernah mengakui apalagi mengatakan ini. Tapi aku mencintaimu. Aku ingin kau sembuh, Hyun. Waktumu tak banyak.”

Tenggorokanku perih. “Brengsek.” kutinju dadanya. “Sembuh dari gila maksudmu?” candaku dengan air mata yang mulai menetes di pipi.

“Jangan besar kepala. Kau pikir hanya kau yang gila? Aku juga gila karena bilang kalau aku mencintaimu.” Jeno berdecak.

Kujambak rambutnya. “Kau benar benar brengsek.”

Jeno memegangi kedua tanganku. “Aku ingin kakakku yang biasanya. Yang brutal, yang selalu memaki, yang cerewet dan sering mengomeliku seperti Umma. Aku lebih suka kakakku yang seperti itu daripada yang hanya diam dan tenggelam dalam pikirannya sendiri.”

Kutinju pelan pipinya. “Jangan memanfaatkan keadaan untuk menghinaku.” candaku terisak.

“Aku hampir lupa seperti apa rasanya saling hina denganmu.”

Lagi lagi aku melayangkan tinju sebelum memeluknya. Jeno benar, aku perlu dokter yang bukan seperti Jaehyun. Yang tak hanya bisa mengobati sakit di tubuh namun sakit di dalam kepalaku.

Pertama kali datang ke psikiater, rasanya hampir mirip namun juga berbeda dari tempat yang kudatangi sebelumnya walaupun kali ini aku tetap datang bersama Seulgi. Pertanyaan pertanyaan yang diberikan pun cukup berbeda. Kali ini pertanyaannya begitu banyak. Awalnya aku bisa menjawabnya hingga keringat dingin mulai membasahi punggung dan telapak tanganku dan aku mulai pening bahkan mual. Akhirnya Seulgi membantuku menceritakan beberapa hal tentang kejadian yang membuatku seperti sekarang. Aku juga menjalani beberapa tes medis yang begitu panjang. Tubuhku sedikit menggigil karena terlalu lama berada di ruangan itu namun ternyata pemeriksaannya belum selesai. Namun karena aku sudah kelelahan dan semakin gelisah, bahkan merasa mual, akhirnya aku diperbolehkan pulang untuk istirahat dan kembali dua hari kemudian.

“Sekarang obatnya.” Seulgi meletakkan sebutir obat di telapak tanganku.

Seandainya tak mengingat apa yang sudah dilakukan Seulgi untukku dan untuk apa obat itu, mungkin aku akan melemparnya ke luar jendela karena aku benci minum obat. Kutenggak obat itu dengan wajah meringis.

“Ayo, kuantar ke kamar.”

Aku menahan tangan Seulgi yang sudah siap untuk berdiri. “Nanti setelah ngantuknya datang.”

Seulgi kembali duduk di sampingku. Matanya benar benar teduh hingga membuatku merasa begitu nyaman dan terlindungi. “Oke.” sahutnya tersenyum tipis sambil mengusap pipiku.

“Seul.”

“Apa?”

Aku menggeleng kecil. “Hanya ingin bilang terimakasih.”

Seulgi terkekeh. “Sebenarnya tak perlu tapi yeah, sama sama.”

“Boleh minta sesuatu?”

Dan senyumnya langsung lenyap.

“Tidak, tidak, bukan itu.” kupegangi tangannya ketika dia menariknya dari wajahku. Rasanya menyakitkan karena tahu apa yang pernah kukatakan padanya waktu itu membekas di ingatannya. “Maaf...” bisikku pelan. “Aku minta maaf.” kali ini aku tertunduk. Benar benar merasa bersalah dengan apa yang sudah kulakukan terhadapnya.

Seulgi mengangkat wajahku dan mengecup dahiku. “Apa?” tanyanya menatap dalam tepat di bola mataku.

Aku menelan ludah, gugup karena tatapan matanya. “Cium lagi. Tapi di sini.” aku menunjuk bibir.

Seulgi terlihat ragu karena aku pernah mendorongnya ketika dia ingin menciumku beberapa hari yang lalu.

“Please...”

Ada senyum tipis di bibirnya yang membuat hatiku rasanya jauh lebih ringan. Matanya masih menatap nanar mataku, membuatku tertunduk malu. Dia terkekeh pelan, kembali meraih wajahku dengan kedua tangannya dan memaksa mata kami untuk tetap bertemu. Wajahku rasanya terbakar ketika dia mendekat perlahan, menempelkan dahi kami hingga hembusan napasnya menerpa bibirku. Kupejamkan mataku menikmati hangat napasnya dan sentuhan ibu jarinya di bibirku. Dadaku berdebar kencang, rasanya seperti baru pertama kali kami melakukan ini. Aku menghela napas pelan ketika kurasakan bibirnya bersentuhan denganku. Hanya sekedar menempel dan selesai.

“Aku ingin ciuman, bukan salam tempel.” candaku.

Wajahnya kembali mendekat dan kurasakan bibirnya mengecupku. Kutarik lehernya, tak kubiarkan dia mengerjaiku kali ini. Seulgi tersenyum dan aku bisa merasakan itu sebelum menyesap pelan bibir bawahku. Ciumannya tak tergesa, lembut dan manis seperti yang biasa kuingat. Hanya saja kali ini terkesan lebih berhati hati.

“Sekarang tidur.” dia tersenyum seraya mengusap bibirku.

Aku menggeleng. “Sekali lagi.”

“Nanti adikmu datang dan memergoki kita seperti yang waktu itu.” candanya mengecup ujung hidungku. “Aku masih ingin hidup.” dia tertawa renyah.

Kucubit lengannya lalu menarik lehernya dan menyambar bibirnya sebelum Seulgi sempat menjahiliku lagi. Aku menghela napas lega, seolah sudah begitu lama aku tak merasakan ini, tak merasakan sensasi aneh di tubuhku saat bibir kami saling melumat dan menyesap, saat tangan kami saling memeluk satu sama lain. Rasanya begitu nyaman dan hangat. Baru kusadari aku begitu merindukannya. Beberapa hari belakangan yang kupikirkan hanya tentang diriku, apa aku bisa keluar dari mimpi buruk ini, apa aku masih bisa seperti dulu sebelum insiden itu terjadi, apa aku bisa hidup normal seperti biasa lagi, yang akhirnya membuatku tenggelam dalam pikiranku sendiri dan sedikit melupakan sekitarku.

“Aku merindukanmu.”

Seulgi tersenyum tipis. “Ini pertama kalinya aku mendengar ini darimu meskipun kita bertemu setiap hari.”

Kukecup singkat bibirnya. “Oh, jadi kau tidak merindukanku?” kuusap rambut halus di atas tengkuknya.

Seulgi balas mengecup dahiku. “Kau tidak akan mengerti bagaimana aku merindukanmu. Aku merindukan Joohyunku yang biasanya sinis, ketus, yang selalu mengomel kalau aku melakukan hal yang tak disukainya, bahkan bisa brutal kalau dia marah. Aku bahkan siap mengajukan diri menjadi samsak hidup hanya untuk merasakan itu kembali.”

Mataku menghangat. “Seperti ini?” kutinju pelan dadanya.

Seulgi menggeleng. “Tak terasa sama sekali.”

Aku terkekeh dengan bibir bergetar menahan tangis. “Begini?” kembali kutinju dadanya sedikit lebih keras.

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
hi_uuji
#1
Chapter 18: Smile from ear to ear 😭💖😬 GEMASSSS bakal gamon sih sama kekacauan Jeno Jaehyun 😖😖😖 thanks a lot for this heart warning work!
hi_uuji
#2
Chapter 15: AAAAAAAAA GUXHFJDUGGSTSGUC
hi_uuji
#3
Chapter 9: Sumpah ini udah kacau sih 😬😬
ephemeral24_ #4
Chapter 18: mantap ini cerita kedua yg aku baca👍🏻🤩
Boywithluv_ #5
Chapter 18: Gila ini keren bget ?
jasonds #6
Chapter 18: Nice Store banget
Jiyeonnie13
#7
Chapter 18: lanjut ke berumah tangga, maybe? :D
need sequel authornim
Brewingthebear
#8
Chapter 18: Huwaaaa~ udahan story nya... akirnya mereka bersatu di pelaminan xD ada lanjutanya lg ga nih thor???
royalfamily31 #9
Chapter 18: Akhirnyaaaaa happy ever after.. uwuuuu
Thx banget author nim udah nulis cerita serealistis ini. Semua karya author cucok semua, mantuull..

Aku suka banget karakter seulrene disini, terutama irene. Karakter irene buat aku karakter yg realistis banget, agak drama memang, tp ya itulah hidup. Kita cuma bisa melihat dari sudut pandang kita dgn berbagai kerumitan dan konflik batin.

Thx u authornim, ku selalu menunggu update terbarumu hehe.. *genben seulrene lg pleaaseee
JungHi0225 #10
Chapter 18: Ohmygod gw bahagia bgt bacanya. Rasanya nano2 chap trakhir ini. Sedih, seneng, bangga jd satu. Thx u thor udh bikin cerita indah yg selalu gw tunggu. Mdh2n ada sequel stlh menikah. Ngelunjak bgt gw wkwkwk