Chapter 22 - A Farewell?

Princess Hours
Please Subscribe to read the full chapter

###

"Apa kau akan terus seperti ini?" itulah apa yang dikatakan Ratu saat menemui anak mantunya di Rumah Sakit.

"Aku tak mengerti maksud Yang Mulia." Sora menjawab. Kini mereka tengah berjalan berdampingan di taman Rumah Sakit. Dengan Sora yang masih membawa selang infus di sampingnya.

Ratu tak membalas lagi. Ia tahu semua ini adalah Sora. Ia hanya diam berharap wanita itu akan berhenti dengan sendirinya. Berharap dia melupakan kejadian di masa lalu.

"Tak bisakah kau melupakan semua kebencianmu terhadapku?" Ratu memegang lengan menantunya lemah. Sorot matanya meredup.

"Aku menyayangimu. Aku juga menyayangi San. Kalian berdua adalah hartaku yang berharga" Ratu melanjutkan.

"Tapi tak lebih berharga dari Sungjae bukan? " Sora menyela. Ia membuang mukanya. Tak mau menampilkan sorot marahnya pada wanita dihadapannya ini.

Ratu diam. Diam bukan karena ini benar. Tidak. Hal yang dikatakan Sora barusan itu sungguh tak masuk akal.

Dia mencintai semua anak dan cucunya. Tak ada pengecualian. Semua sama. Tak ada yang dibedakan.

Sora mendecih. Memberikan Ratu tatapan 'aku-sudah-tahu'. Ia meninggalkan Ratu seorang diri. Pamit, mengatakan jika dia sedikit pusing, dan akan kembali ke ruang rawatnya.

Ratu terduduk sendirian. Dia merenung, dimana sebenarnya letak kesalahannya. Bagaimana mungkin Sora bisa begitu membenci keluarga kerajaan. Jika memang dia membencinya maka bencilah dia seorang diri. Tak perlu dia mencelakai Sungjae. Membuatnya menjadi bulan-bulanan publik.

Dia kini teringat lagi saat pertemuannya dengan San terjadi beberapa jam lalu saat cucu laki-lakinya itu datang menemuinya di istana.

Wajahnya tirus. Dia tampak kelelahan. Bahkan tak ada sorot ceria seperti biasa yang ia tunjukan padanya. Ketika iris mata San menangkap sosok renta Ratu, segera ia bersimpuh. San menangis di hadapan Ratu. Sesuatu yang tidak pernah ia tunjukan pada siapapun, termasuk ibunya sendiri.

San terlihat sangat rapuh.

Hati Ratu tergerak. Ia segera merengkuh bahu bergetar San. Membawanya ke pelukannya. Menepuk punggungnya pelan.

"Apa hidup begitu sulit?" Ratu mengelus kepala cucunya itu. Menenangkan dia yang masih terisak.

"Yang mulia... "

"Ssttt...." Ratu segera menyela ucapan San.

"Nenek" San memanggil Ratu lagi. Ia mengubah panggilannya. Benar saat ini ia hanyalah seorang ang cucu yang ingin dipeluk dan berbicara dengan neneknya sendiri. Bukan seorang Pangeran yang akan berbincang dengan Ratu.

"Hatiku sakit. Apa begini rasanya melepaskan apa yang tak bisa menjadi milik kita?" San menegakan kepalanya. Melepas perlahan pelukan Ratu. Memberanikan diri menatap mata tua milik Ratu.

"Aku tahu, betapa kau sangat menderita melepaskan sesuatu yang sudah kau jaga selama ini dalam hatimu. " kini belaian Ratu berpindah turun ke pipi San. Menyentuhnya lembut.

"Nenek. Aku sudah kehilangan hatiku" San kembali menunduk. Matanya kembali mencari pelampiasan lain untuk dipandangi.

"Aku takut, aku tak bisa melepaskannya." lagi San melanjutkan ucapannya. Jari-jarinya saling bertaut satu sama lain.

"San-ah, meskipun kau kesakitan, tapi itu adalah prosesnya. Kau harus melewatinya. Aku yakin waktu yang akan membantumu. Waktu yang akan menyembuhkanmu" Ratu mengambil jemari San, menggenggamnya erat.

"Benarkah? Apakah itu akan terjadi padaku?" Sebenarnya San bukan ragu. Ia hanya belum mantap. Hatinya masih lemah, gampang terbawa arus emosi. Hanya karena Park Sooyoung. Dia tak begitu mengerti dengan hatinya sendiri.

Dia tahu itu salah. Ketika dia diam-diam menyukai istri sepupunya sendiri. Mereka hanya menghabiskan waktu sekedar ngobrol bersama. Tak lebih. Dan selalu ada batas tak kasat mata diantara mereka. Tapi jalannya hati tak ada yang bisa menebak. Bahkan hanya karena itu dia jadi bergantung pada eksistensi gadis itu. Hanya karena senyuman yang kadang ia lihat diam-diam sudah membuat harinya berpelangi. Bahkan ia mengabaikan sakit hatinya ketika gadis itu sama sekali tak menoleh padanya, tak memberikan sedikitpun tempat di hatinya. Ia tak peduli.

Yang ia butuhkan hanya tetap berdiri di belakang gadis itu, berjaga selalu. Akan bersiap menopang gadis itu jika sewaktu - waktu dia terjatuh maka ia akan segera mendekapnya. Tapi apa yang terjadi, gadis itu tak melihat keberadaanya. Dia terjatuh. Tapi bangkit berdiri sendiri. Menatap lurus kedepan. Tak menoleh sedikitpun.

Yang ada di mata Sooyoung hanya Sungjae. Yang ada di pikiran Sooyoung hanya Sungjae. Tak ada dirinya. Tak ada namanya.

Mungkin takdir begitu kejam padanya. Dia kini hanya seperti bayang-bayang hitam di belakang Sungjae. Yang perlahan akan memudar ketika cahaya matahari menghilang.

Dan sekaranglah saatnya. Dia memang benar harus menghilang. Melepaskan cinta sepihaknya.

San mendesah pelan. Ia mencari jawaban jujur dari mata Ratu tentang pertanyaanya.

Ratu mengangguk pelan. Ia tersenyum. Meyakinkan cucu kecilnya ini untuk percaya dengan takdir tuhan.

"Kau pasti merasa ini sangat berat , karena kau masih muda. Tapi ingat masih ada masa depan menantimu. Sepuluh tahun kedepan, bahkan dua puluh tahun kedepan. Kau akan kembali baik-baik saja. Kau akan menemukan kebahagiaanmu kelak" Ratu kembali meyakinkan San.

"Benarkah? Apa nenek pikir aku akan bahagia? Apa kebahagiaan itu nyata adanya?" San melemah ketika mengucapkan kata bahagia. Bahagia baginya sangat sederhana. Melihat senyum Park Sooyoung. Cukup. Hanya itu.

"Semua orang berhak untuk bahagia" Ratu membawa jemari keriputnya ke arah dada San. Menekannya tepat di jantungnya.

"Ketika hatimu bilang kau bahagia. Maka kau akan selalu bahagia. Hanya disini kau bisa mendapatkan kebahagiaan."

San mengambil lengan neneknya. Membalas menggenggamnya kemudian kembali memeluknya lagi. Ia menangis lagi. Kenapa ia jadi begitu lemah ketika berbicara dengan neneknya.

"San-ah, kau tahu. Ada sebuah puisi lama yang mengatakan jika kita melihat air mata menetes dari pelupuk mata, itu tak apa. Biarkanlah. Kadang kita berfikir jika hidup ini terlalu kejam. Maka menangislah jika itu perlu. Karena menangis bukanlah sebuah hal buruk" Ratu membisikan kata-kata itu pelan di telinga San, membuatnya kini semakin mempererat pelukannya dan menangis dalam.

 

 

 

 

 

#####

"Yang Mulia, ini belum terlambat. Masih ada kesempatan jika anda mau mengakui tindak kejahatan anda" Seorang detektif dari pihak kepolisian berbicara dengan Sungjae di ruang tamu mansion istana timur.

Mereka kini sudah melengkapi berkas-berkas pemeriksaan kasus kebakaran yang melibatkan Sungjae. Memberikan bukti-bukti yang cukup kuat. Membuat ia tak bisa menyangkal.

Mereka memberikan laporan rekaman cctv yang memperlihatkan bagaimana Sungjae tengah bermain dengan pemantik api di pintu masuk ruang baca Putri Sora. Tepat sebelum Sungjae masuk ke dalam

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
triyya #1
Chapter 22: Next min ..... aing penasaran....
triyya #2
Chapter 10: Ijin baca dr awal yaaaaaa ?
sindygracious #3
Chapter 22: Kak lanjugkan lagi dong
sindygracious #4
Chapter 22: Kok berhenti begitu aja kak
minra628 #5
Chapter 1: Izin baca ya kak :) part 1 nya bagus, bahasanya mudah dimengerti juga
Hyunia31 #6
Chapter 19: Update trs minn, suka bgt sma cerita nya
Hyunia31 #7
Chapter 17: update soon ^^ suka banget sma cerita nya
sellynaselly #8
Chapter 12: huaaaa saranghaeeee next next
semoga next chapter banyak sungjoy moment yg manis2 yaa
nurulliza #9
Chapter 11: Lhooo kok giniiii chapter 11 nya. Andweee
nurulliza #10
Chapter 10: D A E B A K