BAB 6
Spring in LondonBAB 6
Keesokan paginya Christopher Scott berdiri di depan jendela dapur dan cemberut menatap langit mendung di luar. Ia memang sudah terbiasa dengan cuaca kota London yang tidak menentu, tetapi itu tidak berarti ia menyukainya. Ia menyesap tehnya, lalu kembali memusatkan perhatian pada adonan panekuk di atas meja dan menghela napas. Ia suka memasak, dan ia meyakini kata-kata ibunya sejak ia masih kecil, bahwa sarapan adalah makanan paling penting dalam sehari. Sayang sekali kedua teman satu flatnya tidak meyakini hal yang sama. Julie hanya perlu secangkir kopi di pagi hari dan Changmin terlalu sibuk untuk makan. Kalau tidak ada Chris di sini, kedua temannya itu pasti sudah kering kerontang seperti tengkorak.
Ia mendongak ketika pintu kamar Changmin terbuka dan Changmin yang terbungkus jubah tidur muncul dengan wajah pucat dan lingkaran hitam di sekeliling matanya. “Astaga, apa yang terjadi padamu? Kau terlihat seperti tidak tidur semalaman,” kata Chris.
“Tidak bisa tidur,” gumam Changmin dengan suara serak sementara ia duduk di salah satu dari tiga kursi kayu di meja makan dan mengangkan kedua kaki ke atas kursi.
“Tunggu sebentar,” kata Chris cepat. “Akan kutuangkan teh untukmu, lalu kau bisa menceritakannya padaku.”
“Cerita tentang apa?”
“Jangan pura-pura bodoh, Sayang,” kata Chris sambil meletakkan secangkir teh yang mengepul di depan Changmin, lalu duduk di hadapannya. “Aku sudah mengenalmu cukup lama untuk tahu bahwa kau sedang ada masalah. Sekarang kau boleh menceritakannya padaku sambil makan. Ini panekuknya dan ini madunya. Aku tahu kau suka makan panekuk dengan madu.”
Changmin tersenyum kecil ketika Chris mendorong sepiring panekuk hangat ke arahnya. “Kau terdengar seperti ibuku,” gumamnya pelan.
“Seseorang memang harus berperan sebagai ibu kalau ada kau dan Julie di sini,” omel Chris. Tetapi kemudian ia tersenyum ketika melihat Changmin mulai melahap panekuknya. “Sekarang ceritakan padaku apa yang membuatmu tidak bisa tidur semalaman?”
“Di mana Julie? Belum bangun?”
“Dia sudah pergi pagi-pagi tadi,” sahut Chris. “Katanya ada audisi.”
Changmin mengangguk-angguk.
“Sekarang ceritakan padaku sebelum kesabaranku habis,” desak Chris.
Changmin meringis dan melahap panekuknya lagi. Kemudian ia ragu sejenak, sepertinya sedang memikirkan kata-kata yang tepat, lalu berkata dengan hati-hati, “Ada seorang laki-laki.”
Alis Chris terangkat heran. Selama ia mengenal Changmin, ia belum pernah mendengar Changmin membicarakan laki-laki mana pun. “Laki-laki? Siapa?”
“Rekan kerjaku,” lanjut Changmin tanpa menatap Chris. “Lawan mainku untuk video musik ini. Dia...”
“Dia mengganggumu?” tebak Chris dengan alis berkerut.
Changmin mengangkat wajah dan cepat-cepat menggeleng. “Tidak. Tidak, dia tidak... Maksudku tidak seperti itu.” Lalu ia mengalihkan tatapan ke luar jendela. “Dia tidak menggangguku.”
Ketika Changmin masih diam, Chris menebak lagi. “Kalau begitu, dia merayumu?”
Changmin kembali menunduk. “Tidak, dia tidak seperti itu,” gumamnya sambil menghela napas.
“Lalu apa?” Chris mengerang, terlalu penasaran untuk bersikap sabar.
Changmin menggigit bibir sejenak, lalu mengangkat wajah menatap Chris dan berkata, “Tidak apa-apa. Sama sekali tidak apa-apa.” Ia mengangkat bahu. “Kau mungkin tidak tahu, tapi aku tidak pernah merasa nyaman bersama... laki-laki dan...”
“Aku tahu,” sela Chris. Ketika Changmin menatapnya dengan bingung, ia menambahkan, “Julie juga tahu.”
“Kalian tahu?” Changmin menatapnya dengan heran.
Chris memutar bola matanya. “Tentu saja kami tahu, Changmin, walaupun kami tidak tahu apa alasannya. Sudah berapa tahun kita tinggal bersama? Selama itu kami belum pernah melihatmu bersama laki-laki mana pun. Kecuali aku dan Jaejong , tentu saja, tapi itu kasus yang berbeda.”
Changmin meletakkan garpu dan memeluk kedua kakinya.
“Kau mau membicarakan alasannya?” tanya Chris.
“Tidak,” jawab Changmin cepat.
Chris mengembuskan napas pelan. “Baiklah. Kita bicarakan laki-laki ini saja. Apa masalahmu dengannya? Kau tadi bilang dia tidak mengganggumu.”
“Memang tidak.”
“Dia baik?”
Changmin mengangkat bahu. “Yah... bisa dibilang begitu.”
“Dia tampan?”
“Apakah itu ada hubungannya?”
“Banyak! Nah, dia tampan atau tidak?”
Changmin terdiam sejenak, lalu bergumam, “Lumayan.”
Chris bersandar kembali. “Baiklah. Jadi dia baik dan juga tampan. Sejauh ini aku tidak melihat ada masalah.”
Changmin menarik napas panjang, menoleh ke luar jendela, lalu bergumam, “Dia... dia mengingatkanku pada hal-hal yang tidak pernah ingin kuingat lagi.”
Chris menatap Changmin sejenak. “Maksudmu, dia mengingatkanmu pada seseorang di masa lalumu? Seseorang yang tidak menyenangkan?” tanyanya pelan.
Changmin menoleh ke arah temannya dan tersenyum masam. “Aku lupa kau pintar membaca pikiran” gerutunya.
Chris tidak menghiraukan kata-katanya dan terus bertanya, “Tapi seseorang di masa lalu
Comments