BAB 2
Spring in LondonBAB 2
Yunho melangkah keluar dari flatnya di Mayfair dan menarik napas dalam-dalam. Ia mengeluarkan iPod dan memasang earphone ke telinga, lalu berjalan ke stasiun kereta bawah tanah. Suasana hatinya saat itu sangat bertolak belakang dengan langit yang cerah. Wajar saja. Ia baru saja berbicara dengan ayahnya di telepon. Setiap kali ia selesai berbicara dengan ayahnya, dadanya selalu terasa berat.
Tadi ia menelepon orangtuanya hanya untuk mengabarkan bahwa ia sudah tiba di London dengan selamat. Orangtuanya selalu mencemaskannya, selalu khawatir apabila pekerjaan Yunho menuntutnya pergi ke luar negeri.
Sering kali Yunho merasa tertekan dengan kekhawatiran yang berlebihan terhadap dirinya itu. Karena itulah ia juga harus terus-menerus mengingatkan diri sendiri untuk memaklumi perasaan orangtuanya.
“Kau tahu benar kenapa mereka mengkhawatirkanmu, Yunho,” kata BoA dulu ketika Yunho pertama kali mengungkapkan perasaan tertekannya kepada kakak perempuannya.
“Aku tahu, Nuna,” gerutu Yunho, lalu mendesah. “Aku tahu.” Yunho tahu benar bahwa semua kekhawatiran itu bermula dari kecelakaan lalu lintas yang menewaskan kakak laki-laki mereka, putra sulung keluarga Jung, ketika sedang berada di luar negeri.
“Appa dan Umma sudah tua,” kata BoA sambil menatap Yunho yang saat itu memandang kosong ke luar jendela. Ia mengerti apa yang dirasakan Yunho dan ia juga bisa merasakan perasaan tertekan adiknya itu, tetapi bagaimanapun juga Yunho sendiri harus mengerti perasaan orangtua mereka. “Karena Oppa sudah tidak ada, yang tersisa hanya kau. Hanya kau anak laki-laki yang bisa mereka andalkan untuk menjaga keluarga.” Saat itu Yunho hanya diam, tidak tahu harus berkata apa, dan kembali memandang ke luar jendela.
Kereta berhenti di stasiun Hyde Park Corner, menyentakkan Yunho kembali ke alam sadar. Ia menarik napas panjang. Waktunya meninggalkan masalah pribadi dan mulai bersikap profesional.
Ketika Yunho tiba di lokasi syuting, ia melihat para staf produksi sibuk bersiapsiap memulai proses syuting. Ia menyapa beberapa staf yang dikenalnya dan pergi mencari Kang Jaewon.
“Hyung,” panggilnya ketika ia melihat si sutradara sedang mengobrol dengan salah seorang kamerawan.
Kang Jaewon yang berusia empat puluhan terlihat seperti penampilan sutradara pada umumnya. Ia bertubuh kurus, agak bungkuk karena terbiasa duduk membungkuk menatap monitor, berkacamata, bertopi, dan tidak ada ciri khusus di wajahnya yang ramah. Mendengar panggilan Yunho, ia menoleh dan tersenyum lebar. “Yunho, senang bertemu denganmu lagi,” sahutnya ramah dan mengulurkan tangan. “Kau baru tiba kemarin, bukan? Kuharap kau tidak jet-lag. Kita hanya punya waktu tiga hari untuk syuting. Seharusnya itu bukan masalah besar, tapi jadwal kita akan sangat padat.”
Yunho menjabat tangan Kang Jaewon yang terulur. “Aku baik-baik saja,” kata Yunho. “Hyung tidak perlu khawatir.”
“Bagus.” Kang Jaewon mengangguk-angguk. “Ngomong-ngomong, lawan mainmu sudah datang. Kurasa dia sed
Comments