BAB 18
Spring in LondonBAB 18
“Kenapa kau tidak mau mengajukan tuntutan?” tanya Chris dengan nada heran. “Setelah apa yang dilakukan penjahat itu padamu semalam, kenapa kau tidak mau menuntutnya? Kenapa?”
Changmin menghela napas dan mengangkat wajah menatap kedua teman satu flatnya yang balas menatapnya dengan bingung. Julie dan Chris duduk di meja dapur, sedangkan Changmin berdiri di dekat pintu kamarnya sambil mencengkeram cangkir tehnya.
Perlahan-lahan Changmin mengembuskan napas dan bergumam, “Karena tidak ada yang terjadi semalam.”
“Tidak ada yang terjadi?” ulang Chris lagi dengan suara meninggi. “Apa...?” Ia menghentikan kata-katanya dan melotot menatap Julie, meminta dukungan, namun Julie juga tidak tahu apa yang harus dikatakannya.
Saat itu bel pintu flat mereka berbunyi dan Chris pergi membuka pintu.
“Oh, Yunho. Rupanya kau. Masuklah.”
Changmin menoleh ketika Chris berjalan kembali ke dapur bersama Yunho.
Alis Changmin berkerut samar melihat wajah Yunho yang pucat. “Hyung sakit?” tanya Changmin langsung.
Yunho tersenyum tipis dan menggeleng. Sebelah tangannya terulur ke depan, hendak menyentuh Changmin, namun tiba-tiba ia mengurungkan niat dan malah menjejalkan kedua tangan ke saku celana panjangnya. Ia berdeham pelan dan menatap wajah Changmin lurus-lurus. “Bagaimana keadaanmu?” tanyanya.
Ada sesuatu dalam suara Yunho yang tidak Changmin mengerti. Changmin menatap mata Yunho, berusaha mencari tahu apa yang membuat perasaannya tiba-tiba gelisah. Namun ia mendapat kesan bahwa mata gelap yang balas menatapnya itu juga sedang melakukan hal yang sama, berusaha mencari tahu apa yang tersembunyi di dasar jiwa Changmin.
“Aku baik-baik saja,” sahut Changmin. Lalu ketika Yunho tetap diam, ia menambahkan, “Sungguh.”
“Hanya itu yang dikatakannya sepanjang pagi,” kata Chris kepada Yunho dengan nada muram. “Katanya dia tidak mau menuntut pria kemarin itu. Mungkin kau bisa membujuknya. Menyadarkannya. Aku harus pergi sekarang. Tekanan darahku bisa naik kalau aku lama-lama di sini.”
Julie mengembuskan napas dan meraih tasnya. “Aku juga akan membiarkan kalian berdua mengobrol di sini,” katanya sambil berdiri.
“Sampai jumpa nanti malam, Changmin. Dah, Yunho.”
Setelah Changmin menutup pintu dan kembali ke dapur, ia melihat Yunho masih berdiri di tempatnya semula dan memandang kosong ke luar jendela dapur. Jelas sekali ada sesuatu yang mengganggu pikiran laki-laki itu. Sikapnya terlihat aneh. Ia agak pendiam pagi ini, juga murung. Kenapa?
“Hyung sudah sarapan?” tanya Changmin, menjaga suaranya terdengar ringan dan riang. “Kalau belum, Hyung boleh mencoba roti buatan Chris.”
Yunho mengerjap satu kali, lalu menoleh. “Tidak. Tidak usah,” gumamnya.
“Kalau begitu duduklah. Biar kubuatkan teh saja.”
Yunho menurut dan duduk di kursi yang tadi diduduki Chris.
“Jadi kenapa Hyung datang ke sini pagi-pagi begini? Untuk memeriksa keadaanku?” Changmin mulai berceloteh sementara ia berbalik memunggungi Yunho dan menyibukkan diri dengan cangkir dan daun teh. “Jangan khawatir. Hyung bisa lihat sendiri. Aku baik-baik saja. Aku juga tidak akan mengajukan tuntutan pada... orang itu karena tidak ada yang terjadi kemarin. Hyung datang tepat pada waktunya. Oh ya, aku baru ingat aku belum berterima kasih pada Hyung karena sudah menolongku. Pokoknya karena tidak ada yang terjadi dan aku juga baik-baik saja, aku tidak ingin masalah ini dibesar-besarkan. Aku tidak ingin ada skandal.” Ia tertawa pendek dan hambar. “Aku yakin agenku juga setuju.”
“Karena itukah kau tidak pernah berkata apa-apa tentang kejadian waktu itu, Changminnie?” sela Yunho tiba-tiba.
Changmin membalikkan tubuh sambil membawa secangkir teh yang mengepul.
“Kejadian yang mana?”
“Yang berhubungan dengan almarhum kakakku.”
Dan dunia Changmin pun menggelap seketika.
* * *
Segalanya terjadi begitu cepat di depan mata Yunho. Ia melihat Changmin terhuyung dan cangkir yang dipegangnya oleng, membuat teh yang mengepul itu tumpah mengenai tangannya, sebelum akhirnya jatuh ke lantai dan pecah berkeping-keping. Yunho melompat berdiri, meraih tangan Changmin dan menariknya ke bak cuci piring.
“Kau punya salep untuk luka bakar?” tanya Yunho sementara ia membasuh tangan Changmin dengan air keran.
Changmin tidak menjawab, tetapi Yunho merasakan ketegangan pemuda itu dan tangannya yang kaku. Lalu perlahan-lahan Changmin menarik tangannya dari genggaman Yunho dan berkata pelan, “Tidak apa-apa. Aku tidak apa-apa.”
Yunho mengamati Changmin berbalik dan berjalan ke kamarnya. Jelas sekali Changmin tidak ingin membicarakan masa lalunya itu, tetapi Yunho tidak bisa menahan diri lebih lama lagi. Ia tidak bisa tidur semalaman, ia merasa tersiksa, merasa bersalah, merasa sangat tak berdaya. Ia hampir gila setiap kali mengingat apa yang dikatakan Park Donghyun kepadanya. Ia harus berbicara dengan Changmin. Ia harus tahu apa yang dipikirkan Changmin tentang hal ini, karena ia sendiri tidak tahu apa yang harus dipikirkannya.
Yunho berdiri di ambang pintu kamar Changmin, mengamati pemuda itu mengeluarkan kotak obat dari laci dengan tangan gemetar, lalu berjalan ke tempat tidurnya dan duduk di sana. Hanya duduk dengan kotak obat di pangkuan tanpa melakukan apa-apa.
Melihat itu Yunho masuk dan menghampiri Changmin. Yunho berlutut di hadapan Changmin dan mengambil kotak obat dari tangan pemuda itu. Setelah menem
Comments