23 – ROUTINE STARRING

I WILL PROTECT YOU

Shaendy’s POV

Aku melirikk jam dinding flatku, sudah hampir jam 8 pagi. Menunggu didepan pintu dengan cemas. Sudah lima hari aku seperti ini, menunggunya. Sejak 7 Hari yang lalu dia tiba-tiba muncul di flatku dan hanya berdiri menatapku lima menit, aku hanya menyangka dia hanya melakukannya untuk hari itu saja. Kemudian dia melakukannya di hari kedua, di jam yang sama dan waktu memandangku juga sama, 5 menit.

Lalu sejak hari ketiga aku menunggunya. Jika hari pertama dia menggunakan kemeja warna hitam dengan dasi warna putih polos, hari kedua dia menggunakan kemeja putih tanpa dasi. Hari ketiga dia menggunakan kemeja biru tua dengan dasi hitam. Hari keempat, kemeja hitam dengan dasi merah. Hari kelima, kemeja putih dengan dasi abu-abu. Hari keenam, kemeja abu-abu dengan dasi pink muda. Dan kemarin, hari ketujuh, dia menggunakan kemeja coklat dengan dasi putih bergaris coklat.

Damn, kenapa aku hafal apa yang dia kenakan? Aku merutuki diriku sendiri. Aku berjalan menjauhi pintu dan berhenti manakala pintu diketuk. Aku berbalik, dan dengan gemetar aku membukanya. Dia berdiri menjulang didepanku, menatapku dengan pandangan yang sama seperti 7 hari terakhir, tatapan muram. Tanpa senyum, tanpa berkata apapun. Dan aku menunggunya untuk itu, setiap hari.

Lima menit sudah terlewati, lalu dia berjalan pergi. Aku mengejarnya, menahan langkahnya dengan mencengkeram lengan kirinya yang kokoh. Aku merasakan otot-ototnya dan yah…benar saja, aliran darahnya terasa berdesir. Dia menoleh kearahku, aku melepas tangannya saat dia menatap tanganku. “Kau mau apa? Sudah tujuh hari kau begini. Kalau tidak ada apa-apa berhentilah.” Ujarku.

Dia bergeming, tidak menjawabku. Perlahan dia berbalik dan meninggalkanku sendirian. Kenapa rasanya diparu-paruku ada banyak kupu-kupu, rasanya sesak sekali. Aku berujar pada diriku sendiri, perlahan air mataku menetes. “Ishhhh… kenapa aku menangis sih?”

***

Kris’s POV

Aku menoleh saat pintu ruang kerjaku terbuka. Seorang perempuan masuk, berbaju formal pink dan dengan mantel putih. Aku membereskan berkas yang kupegang, “Kapan kau tiba di Vancouver?” tanyaku. Dia meletakkan hanbag Coach warna pinknya, “Semalam.” Jawabnya sambil melepaskan shades coklatnya. Dia menari kursi dan duduk didepanku. “Ada urusan pekerjaan apa kali ini? Seingatku kantor belum mengirimkan draft apapun terkait pekerjaanmu. Bukannya kau sedang masa bulan madu sampai minggu depan?” ujarku sambil melirik kearah kalender mejaku.

Dia tersenyum, “Urusan persahabatan. Terima kasih pada seseorang yang telah membuat sahabatku kebingungan sepuluh hari ini, karena seseorang itu hanya menatap sahabatku persis didepannya untuk lima menit setiap jam 8 pagi. Kau bisa menebak apa motif seseorang itu? Karena sahabatku menangis tak berhenti kemarin malam, karena itulah aku terbang kesini kemarin sore.” Jawabnya sambil menatapku intens.

Aku meraih gelas yang berisi air putih, meneguknya, “Mau minum, Tiff?” tanyaku. Dia menggeleng, “Aku tidak butuh minum saat ini Wu Yifan. Aku membutuhkan kejujuranmu, menjawab semua pertanyaan yang ingin aku lontarkan.” Katanya sambil tersenyum. “Well, jadi jelaskan.” Katanya.

***

Shaendy’s POV

“Kau tak perlu khawatir lagi Shaendy. Dia mengatakan dia tidak akan mendatangimu lagi mulai besok pagi. Dia berkata hanya ingin memastikan kau baik-baik saja setiap pagi. Kau tidak perlu cemas, kau hanya perlu focus pada pekerjaanmu dan bahkan mungkin jika kau sudah memutuskan, kau bisa memikirkan pernikahanmu dengan Woohyun.”

Kalimat panjang Tiffany tadi sore masih terngiang ditelingaku. Aku memandang Avenue Rd dari jendela flatku, aku masih memegang wine merah. Belum meneguknya sedikitpun. Benarkah dia tidak akan datang lagi? Benarkah semua akan berakhir? Kenapa aku jadi sedih saat tidak ada alasan menatapnya? Sepasang lengan melingkar dipinggangku, menyadarkanku dari lamunan akan ucapan Tiffany. Aku menagkap tatapan matanya dari pantulan kaca jendela flatku, dia tersenyum.

“Kau kenapa sih sayang?” tanyanya sambil mengecup pipiku pelan. Aku memejamkan matanya, mungkin aku perlu sedikit bermain-main, aku membatin. Aku membalikkan badanku, pelukannya dipinggangku sedikit melonggar. Aku meletakkan gelas wineku, dia membawakanku wine malam ini, sebagai hadiah permintaan maafnya karena baru hari ini dia bisa menjengukku di Vancouver, sedangkan dia menhurus perusahaannya di Jeju, Korea.

Aku melingkarkan kedua tanganku dilehernya, mengajaknya berdansa pelan. Dia menatapku, lalu tersenyum, tangannya meraih pinggangku, lalu dia mengikuti gerakan tubuhku. Kami berdansa tanpa music. Aku kemudian menyurukkan wajahku kebahunya, mencari ketenangan disana. Lalu perlahan aku menangis tanpa suara. Dia mempererat pelukannya, lalu mengecup kepalaku.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
riezaimar #1
Chapter 28: bayangin kris pake kemeja putih tangan panjang yg digulung sampe siku trus sambil gendong anak. aackk.. suami idaman. nice story sil. can’t wait to read your another ff " i am your fans" ;D
ilabya2 #2
interesting