011.
Heartless“Jongin-ah.. Kim Jongin...” Soojung terbangun dari tidurnya yang cukup lama. Sooyeon yang kebetulan berada di sebelah Soojung terkejut dengan teriakannya. Ia memegang pundak Soojung untuk menenangkannya. Tampak sekali raut ketakutan di wajah Soojung. Peluhnya berlomba-lomba untuk membasahi wajah cantik Soojung. Juga, tarikan nafas tak teratur penuh tersengal meyakinkan Sooyeon bahwa adiknya tak baik-baik saja.
“Kau kenapa Soojung? Apa kau mimpi buruk?” Sooyeon menepuk-nepuk punggung Soojung agar lebih tenang dari sebelumnya.
Gadis bersurai cokelat panjang itu masih terengah dengan kerutan dalam di keningnya. Mencoba merangkai ingatan yang sempat menghilang saat ia tak sadarkan diri. Soojung memainkan kelopak matanya sebelum melontarkan sahutan pada kepanikan sang kakak.
Soojung menggeleng lalu ia meraih gelas yang tak jauh dari sampingnya. Meneguk pelan dan meletakkannya kembali.
“Aku... hanya sedang bermimpi..” tukasnya setelah merasa baikan. “Unni..”
Sooyeon mengangkat dagunya.
“Siapa yang membawa aku ke rumah sakit? Apa Jongin??” tanya Soojung dengan wajah polos namun penuh penasaran. Sooyeon mengernyit bingung. Ia tak mengenal Jongin, siapa Jongin? Kenapa sedari tadi adiknya memanggil nama itu?
“Jongin? Bukan.. Yang membawamu kemari Sehun..” Jawab Sooyeon.
Soojung berjengit. Tunggu!! Sehun? Sehun yang membawanya ke rumah sakit? seingatnya waktu itu Sehun akan membunuhnya. Lalu, kalau Sehun yang membawanya kemana Jongin? Dimana dirinya?
Otaknya menolak untuk berpikir negatif. Tak akan ada apa-apa dengan Jongin. Pemuda itu pasti sudah menyelesaikan masalah mereka seperti apa yang dijanjikan hingga saat ini dirinya mampu berbaring di rumah sakit dengan keadaan yang selamat. Hanya saja beberapa pertanyaan seakan meminta jawaban secepatnya. Memorinya cukup lemah untuk menata ulang apa yang telah terjadi setelah suara Sehun terdengar olehnya. Ah, ia bahkan lupa bahwa dirinya tak sadarkan diri setelah itu.
Benaknya perlu menguraikan berbagai sumber kebingungan yang cukup mengganggunya. Mulai dari dimana sekarang sosok Jongin yang seharusnya ada di sampingnya seperti janjinya kemarin waktu, sampai dengan kenyataan bahwa dirinya dibawa oleh Sehun yang katanya akan menghabisi nyawanya. Baiklah, memikirkan hal yang satu ini bisa membuat Soojung kembali tergolek lemah.
“Kau butuh minum lagi? Atau makan?” Kekhawatiran Sooyeon tampak begitu jelas ketika melihat raut muka serius namun terkesan sedikit linglung di wajah Soojung. Seperti ada hal serius yang tengah ia pikirkan.
“Uh?” Soojung menengadah lalu menggeleng pelan. Soojung menghela nafas berat sebelum menyingkap selimut yang membungkusnya. “Unni...”
Sooyeon menoleh. “Ada apa? Kau butuh sesuatu?” tanyanya.
“Tidak, aku hanya ingin pulang.” Tukasnya memelas. Bau obat-obatan disini terlalu menyengat dan membuatnya mual. Padahal rumah sakit bukanlah tempat asing untuknya.
Wanita yang lebih tua itu menggeleng cepat. Tangannya menggenggam tangan Soojung dengan sesekali mengusap pelan. “Tidak, sampai kau merasa kuat untuk pulang. Keadaanmu jauh lebih lemah dari sebelumnya. Kau bahkan belum bercerita bagaimana kau bisa ada di Busan. Istirahatlah dulu, eomma akan datang sebentar lagi.” Sooyeon membaringkan tubuh Soojung yang semua terduduk menghadapnya. Soojung menurut saja meskipun ia bosan berada di tempat itu. Tak ada yang bisa ia lakukan selain memulihkan kondisinya yang memburuk sejak kepergiannya ke Busan. Apalagi dengan pingsan tiba-tiba semakin menambah pesakitan di dirinya. Sepertinya, kalau ia tak salah merasakan, penyakitnya sedikit lebih menyakitkan dari sebelumnya. Ah, ini pasti efek ia tak meminum obat selama dua hari.
∞∞∞
Kenyataannya, Sehun masih berada di sekitar Soojung ketika gadis itu tergolek tak berdaya di rumah sakit. Kedua lensanya masih menyiratkan pandangan yang entah apa maksudnya. Kilatan dingin itu perlahan memudar, menampilkan sorot yang lebih teduh dengan sedikit pandangan kosong menemani. Tak hanya itu, desahan memburu akibat rasa bersalah dan rasa khawatir juga mengikuti kemanapun Sehun beranjak.
Masih dalam pandangan gamang, Sehun memperhatikan wajah Soojung yang memucat tengah tertidur. Sama sekali ia tak memiliki keberanian untuk mendekat. Ia tak sengaja mendengar percakapan Soojung dan Sooyeon, dimana saat itu ekspresi Soojung berubah sedikit ketakutan ketika Sooyeon mengucapkan namanya. Ia bisa membaca, pasti Jongin telah mengatakan hal-hal yang seharusnya disembunyikan pada Soojung sebelumnya. Lalu bagaimana ini? Apa yang akan ia lakukan untuk menyelesaikan semua cerita ini. Apalagi nanti pertanyaan ‘kemana perginya Jongin’ yang pasti akan disodorkan oleh Soojung itu harus ia jawab. Tak mungkin ‘kan ia mengatakan sejujurnya bahwa Jongin telah menjadi abu karena ulahnya?
Sehun menghela nafas berat. Tangannya membeku ketika akan memutar kenop pintu. Setidaknya, ia ingin menyentuh sekali saja wajah itu sebelum memutuskan untuk pergi ke Seoul. Rupanya rasa ragu itu terlalu banyak bersarang dalam diri Sehun. Tak mau ambil resiko, ia hanya mengulas senyum miris sejenak. Kemudian ia berbalik dan meninggalkan Soojung. Nanti, jika ia memiliki kesempatan, ia akan menemuinya di Seoul. Ia tak ingin dianggap pengecut oleh Soojung. Demi saudara yang telah berkorban untuk Soojung, Sehun harus mengatakan yang sebenarnya. Tapi tidak sekarang.
Berbagai macam gejolak mempengaruhi diri Sehun. Sedari tadi dirinya tak melakukan apapun selain menatap kosong setiap jalanan yang ia lalui. Dirinya memang berada di dalam bis yang membawanya ke Seoul, tapi entah kemana perginya pikiran Sehun dirinya sendiri pun tak tahu. Sedikit ia tahu, saat ini perasaan bersalah tengah menghantuinya. Ditambah dengan penyesalan yang tampak tak akan bisa menghilang sampai ia meninggal sekalipun.
“Maafkan aku Kim Jongin..”
Laju bis yang ditumpangi Sehun berhenti di Kota Seoul setelah beberapa jam bergerak. Dengan tubuh penuh rasa bersalah dan penyesalan, Sehun bangkit. Tungkai panjangnya diseret agar keluar dari bis. Setelahnya, ia berhenti dan terdiam. Menyapu setiap inchi kota Seoul yang entah mengapa rasanya sedikit berbeda. Satu senyum miring ia tampilkan ketika kedua lensa tajamnya menatap nanar suatu tempat yang tak jauh dari sana. Sekejap bayangan tentang Jongin berputar pelan di benaknya. Ingatannya masih segar terbayang jelas saat dimana keduanya mengarahkan senjata yang ia genggam tepat pada sasaran lalu tertawa puas bersama. Sehun mencelos dan hanya bisa menghela nafas penyesalan.
Disetiap sudut kota yang ia lalui begitu banyak kenangan bersama Jongin. Mengingat keduanya selalu bersama dan nyaris tak pernah berpisah setiap kali pulang maupun pergi bersama. Ada banyak cerita yang terukir di setiap jejak kaki menapak. Kembali lagi Sehun hanya bisa menyesalinya dan menunduk dalam. Menyisakan sakit serta perih yang menyasak dadanya. Perasaan yang sama ia rasakan ketika adik kandungnya juga menjadi korban senjata tajam. Hanya saja kali ini rasanya sedikit...
“Kenapa kau harus seperti ini? Kalau saja kau tak berlagak layaknya seorang pahlawan, kau masih bisa mengomeliku sekarang. Atau malah membenciku?” Sehun memulai monolognya setelah satu ikat bunga ia sandingkan pada guci abu milik Jongin. Sebentar ia mengusap foto yang terpajang di sebelahnya sebelum kembali menyuarakan apa yang ada di hatinya.
“Ahh, ini salahku. Kenapa aku malah mengolokmu. Harusnya aku minta maaf..” Suaranya melirih di akhir kata. Sehun mendongak lalu mengerjab pelan. Sepertinya ada sesuatu yang memaksa untuk dibebaskan.
Satu tarikan nafas dalam berhembus. “Maafkan aku Jongin. Bukan maksudku membunuhmu, andai tembakanku tepat sasaran. Dan kau tak mengorbankan tubuhmu...” Sehun terdiam sejenak. “...aku tidak akan semenyesal ini. Kau tidak akan menyalahkanku ‘kan? hahaha, Kenapa aku jadi egois seperti ini?” tiba-tiba tawa miris terdengar menyayat dari bibir Sehun. Detik-detik berlalu, suara isakan mengisi keheningan ruangan yang hanya dihuni oleh Sehun. Beberapa tetes air berhasil lolos dari kepungan kelopak mata Sehun. Untuk pertama kalinya setelah ia datang ke keluarga Jongin,
Comments