001.
HeartlessDelapan tahun yang lalu....
Angin malam meracau sejak beberapa saat yang lalu. Jendela kaca terdengar berderit seiring racauan angin itu. Dingin yang dibawa oleh angin serasa menusuk kulit mulus nan tipis milik kedua anak itu. Suasana malam terlihat sangat mencekam daripada malam-malam sebelumnya. Ditambah dengan remang cahaya yang dihasilkan dari lampu kuning satu-satunya yang menggantung di ruangan besar itu.
Kedua anak itu bersembunyi di pojok ruangan. Meringkuk dalam dengan wajah ketakutan. Tubuhnya menggigil, bibirnya bergetar, wajahnya memucat dengan sesekali senggukan dan isakan menghiasi sepinya ruangan. Bahkan mata kecil keduanya memerah akibat lelehan air yang tak berhenti turun dari sudut matanya.
Hati mereka terlanjur dibalut oleh ketakutan yang mendalam. Seolah dunia akan segera menelan mereka dan membawa mereka ke tempat yang sama sekali tak ada cahaya. Keduanya saling bertautan dengan tubuh mendekat lekat. Tak ingin salah satu dari mereka lepas dari genggaman.
Kejadian yang menimpa keduanya beberapa hari silam membekaskan trauma yang sangat mendalam. Kehilangan kedua orang tua dan hidup di bawah tekanan akan kejaran orang-orang yang tak mereka kenal membuat mereka bagaikan hidup di dalam neraka. Sekedar melihat cahaya yang datang dari hangatnya mentari tak mampu. Mereka hanya menghabiskan waktu di balik meja dengan tubuh meringkuk ketakutan.
“Op-oppa.. A-aku takut..” rintih gadis kecil itu tergagap. Tangannya menggenggam erat tangan bocah laki-laki itu tanpa ada keinginan untuk terlepas.
Meski dengan raut ketakutan dan dada yang tak tenang, sang kakak berusaha untuk menenangkan adiknya. Bagaimanapun ia harus melindungi sang adik. “Te-tenanglah Hayoung-ah.. Mereka tidak akan datang..” ucapnya pelan. Terus tanpa henti tangannya kanannya mengusap hangat rambut panjang sang adik.
Mereka masih berusia sepuluh tahun dan delapan tahun. Namun hidup mereka harus berada dalam keadaan yang jauh dari seharusnya. Keinginan untuk hidup tenang rasanya hanya ada dalam angan-angan saja.
“Kita akan keluar dari sini eum, kau tenang saja..”
Brakk.....
Suara pintu didobrak terdengar jelas. Keinginan mereka untuk lolos dari cekaman rupanya tak mampu diraih. Itu hanya sebuah mimpi dalam tidur nyenyak yang telah lama mereka impikan.
Hayoung, gadis kecil itu merangsek dengan tubuh semakin bergetar. Wajahnya jauh memucat dan bibir bergetar hebat. Ketakutan telah mengambil semua rasa tenang didalam jiwanya.
Mereka tak mampu menatap siapa sosok yang berdiri di depan keduanya. Sudah terlalu hafal tanpa harus melihat siapa mereka. Kedua sosok menyeramkan yang beberapa hari ini datang ke rumah mereka untuk mengambil perabot berharga milik keluarga Oh.
“Oh.. Oh... Oh... Disini rupanya mereka. Oh Sehun juga Oh Hayuong. Bocah-bocah cilik yang menyebalkan.” Seru salah satu dari mereka dengan suara sinis menakutkan.
Sehun dan Hayoung bergetar semakin ketakutan. Dari sini bisa mereka rasakan ada hal buruk yang akan terjadi kepada mereka.
Sosok tinggi itu mendekati mereka. Detik berikutnya ia berjongkok. “Kenapa bersembunyi? Kita tidak akan berbuat jahat kok.” Ucapnya dengan nada lembut namun mematikan. Senyum menyeringai itu juga terukhir di sana.
Tangan kekarnya mengusap puncak kepala mereka. Menjalarkan getaran-getaran yang membuat ketakutan bertambah tinggi. Lantas ia berdiri kembali.
“Kalian tahu kedatangan kita kesini buat apa?” tanyanya.
Tak ada jawaban, Sehun maupun Hayoung terlalu takut untuk menjawab.
“Ah, kalian tidak tahu? Kita ingin memberikan kabar kepada kalian bahwa kedua orang tua kalian sudah mati di tangan kami.” Tukasnya santai.
Sehun dan Hayoung tersentak kaget. Walaupun keduanya masih dibilang anak-anak, namun mendengar itu merupakan hal yang menyakitkan seumur hidup. Mereka sudah tahu, mereka paham dan mereka mengerti.
“A-beoji... E-eomma....” seru Sehun tercekat. Bukan hanya dari omongan yang ia dengar. Mata kecilnya harus melihat foto dimana kedua orang tuanya terikat dengan tubuh tak bernyawa lagi.
Sehun menjerit. “Abeojiiiiii..... Eommaaa....” ia beranjak dari sana lalu mendekati kedua orang itu. “Kalian jahat! Kalian jahat! Kenapa membunuh abeoji dan Eomma? Kenapa?” tangan kecilnya memukul-mukul tubuh lelaki bengis itu.
“Hey hey hey! Ini bukan salah kami. Kami hanya disuruh untuk membunuhnya. Salahkan saja Tuan Jung yang meminta kami membunuhnya. Ini pekerjaan kami. Kau tahu?”
Sehun berjongkok dengan air mata yang mengalir deras. Rasa shock mendengar berita itu belum hilang, kini harus bertambah dengan tangan kekar yang meraih tubuh sang adik.
“Oppa~ Sehun oppa....” panggil Hayoung dengan tubuh meronta dari tangan kekar itu.
Sehun mendekat. “Lepaskan adikku, lepaskan Hayoung!” pintanya seraya menarik tangan itu agar lepas dari tubuh adiknya.
Senyum seringai masih melekat pada wajah seram keduanya. Alih-alih melepaskan tubuh Hayoung, tangan kekar itu malah mendorong Sehun agar mejauh.
Sehun terpental dan membentur meja di belakangnya.
“Kau tahu apa yang selanjutnya harus kita lakukan?” tubuh kekar itu mendekat ke arah Sehun. Salah satu dari mereka mencengkeram kuat tubuh Hayoung.
“Kita harus menghabisi salah satu dari kalian. Wahh~ siapa yang harus kita bunuh ini?” tukas lelaki berwajah sangar itu dengan tangan mengeluarkan sebuah pisau. Ah bukan pisau biasa, tetapi pisau daging.
Mata Sehun serasa berapi-api. Dengan memberanikan dirinya, ia menarik tangan lelaki bengis itu agar menjauh dari tubuh sang adik. Namun aksinya gagal, ia harus kembali terjungkal saat tangan kekar itu menghempasnya.
“Kau ingin kita bunuh? Oh Sehun?” tatapan matanya tampak sangat tajam. “Bos bilang kita harus menyisakan yang laki-laki. Jadi...”
Tubuh lemah Hayoung dipegang kuat tanpa bisa lagi memberontak. Bahkan Sehun telah ditahan tangannya agar tak melakukan hal yang membahayakan. Dengan linangan air mata dari mata cantiknya, gadis kecil itu merasakan ketakutan yang dalam. Ia tak mampu lagi berbuat apa-apa untuk menyelamatkan dirinya.
Begitu juga Sehun, apa yang harus dilakukan untuk melawan dua orang lebih kekar darinya? Tidak ada hanya bisa merintih, memohon, memelas untuk dilepaskan. Namun itu rasanya sangat mustahil bisa didapatkan.
“Le-lepaskan Hayoung... Aku mohon...” Rintihan Sehun layaknya dengungan nyamuk yang sangat mengganggu telinga. Tak tanggung-tanggung, bibir mungil Sehun dibekap oleh kain lusuh.
Mata polos Sehun harus menyaksikan sendiri bagaimana sang adik merengek ketakutan dengan wajah memerah, mata bengkak dan bibir pucat. Nafasnya serasa telah tenggelam dalam kecemasan yang luar biasa. Bagaimana tidak, dilehernya telah tersedia sebuah pisau yang siap untuk mengirisnya kapan saja.
Bibir Sehun ingin menjerit, berseru, memohon dan mengucap. Namun apa daya, itu hanya dapat ia lakukan dalam hati sebelum...
Craassshhhhhhhh.......
“Haayouuungg-aaahhhhhhh......” seru Sehun dalam bekapan yang tertahan.
Tubuhnya melemah seketika darah sang adik mengalir deras dari ceruk lehernya. Nafasnya seolah berhenti saat itu juga. Shock. Ia shock. Ia tak percaya dengan apa yang ia lihat.
Suara tawa keras dari sang pembunuh seakan tak terdengar sama sekali oleh telinganya. Ia terlalu kaget dengan apa yang telah ditangkap oleh lensa kelamnya. Keterkejutannya mengalahkan semua kesadaran yang ia miliki.
Bagaimanapun ini sangat menyakitkan bagi dirinya..
Apapun ini ia tak mampu mengungkapkannya...
Terlalu kecil untuk melihat semua ini, namun apa. Tangan-tangan kekar itu telah memaksanya untuk menyaksikan sesuatu yang tak semestinya.
Setelah kematian sang adik di depan mata, Sehun dibawa oleh pembunuh itu selama setahun sebelum akhirnya dilepas sendirian di tengah-tengah Kota Seoul. Saat itu usianya sebelas tahun, ia dirawat dan dibesarkan oleh seseorang yan
Comments