Moccacino Latte & Cheese-Choco Toast

Mr.Coffee

Normal POV

                “Ahjumma kumohon berikan aku waktu” gadis dengan rambut dikucir dua itu memohon, ia hampir putus asa karena kali ini ia benar-benar tidak mampu untuk membayar uang sewa tempat tinggalnya.

                “Aku sudah memberimu banyak keringanan tapi bagaimanapun juga kau selalu menunggak, kesabaranku sudah habis apalagi masih banyak orang yang mau menyewa tempat ini. Pergilah!” wanita setengah baya dengan kipas lebarnya berusaha mendorong tubuh gadis itu untuk keluar dari apartemen miliknya.

                “Tapi ahjumma, aku selalu bisa membayarnya kan walaupun tidak tepat waktu. Tolong mengertilah, gajiku memang selalu keluar di akhir bulan” gadis itu masih berusaha memohon dengan dua tangan yang ia tangkupkan, meskipun seluruh barang-barangnya sudah tersusun rapi di dalam koper yang tidak berada jauh di pintu masuk. ia masih berusaha untuk meyakinkan wanita paruh baya itu untuk mengizinkannya tetap tinggal di apartemen kecilnya.

                “Sudahlah, berapa kalipun kau memohon aku tidak akan mendengarkannya. Sekarang pergilah, pergi dan cari tempat tinggal yang baru” wanita paruh baya itu kini benar-benar mendorong tubuhnya sampai ke pintu masuk. tanpa aba-aba ia lalu melempar koper gadis itu keluar, membuat sang gadis terkejut.

                BLAAMMM

                Bantingan pintu itu menandakan bahwa inilah akhir dari perjuangannya untuk tetap tinggal ditempat itu. Dengan murung ia mengambil koper yang dilemparkan tadi, lalu berjalan pelan sambil menundukkan kepala. Ia merasa bahwa tidak ada lagi tempat untuknya pergi, ia hanya putri semata wayang dari keluarga yang sederhana, namun kedua orang tuanya meninggal sejak ia duduk dikelas dua SMP. Seharusnya saat ini ia hidup bersama Paman dan Bibinya di Gwangju, namun ia lebih memilih untuk tinggal sendirian di Seoul karena Paman dan Bibinya sering memperlakukannya seperti pembantu. Ia kerap diintimidasi oleh keluarga dari adik ayahnya itu apalagi ia ingat dengan perkelahian yang sering ia lakukan dengan sepupunya. Oleh karena itu ia pamit untuk meninggalkan rumahnya di Gwangju, tentu saja Paman dan Bibinya merasa sangat senang dan terlepas dari beban untuk menampung biaya hidupnya.

                Pada akhirnya ia hidup sendirian di Seoul, bekerja paruh waktu untuk membiayai hidupnya. Meskipun begitu ia masih sempat mengenyam pendidikan di sebuah universitas ternama di kota itu. Cita-citanya untuk menjadi seorang pengusaha tidak pernah pudar meskipun ia harus menanggung beban hidup sendirian. 

                Sesaat kemudian ia berhenti disebuah persimpangan jalan. Ia mulai sadar sejak tadi yang ia lakukan hanyalah melamun sambil berjalan tak tentu arah, ia bahkan tidak tahu dimana keberadaannya sekarang. Jalanan sepi disekitarnya membuatnya semakin bingung, ia lalu segera membuka ponselnya, menghubungi sebuah nomor yang saat ini hanya menjadi satu-satunya harapan untuknya.

                “Yeoboseyo” suara anggun itu terdengar, membuat hati sang gadis merasa sedikit bahagia.

                “Yeoboseyo, unnie aku dalam masalah” sahutnya sedikit terisak. Ia memang hampir menangis saat ini karena ia merasa telah kehilangan satu kesempatan dalam hidupnya.

                “Yah! Waeyo? Ada apa denganmu, Jieunnie?” sahut wanita dari seberang telepon itu mulai cemas.

                “Aku diusir dari tempat tinggalku, ottokae?” kali ini gadis itu benar-benar meneteskan air matanya, meskipun ia masih tetap mencoba untuk tidak menangis.

                “Jangan menangis Jieunnie, Datanglah ketempatku lalu kau bisa menceritakan semuanya. Aku akan menunggumu” jawab wanita itu lagi, mencoba untuk membuat gadis bernama Jieun itu tenang.

                Jieun hanya mengangguk sambil berkata ya, selanjutnya ia mematikan ponselnya sambil menghapus air mata yang sempat jatuh dipipinya lalu segera berjalan untuk keluar dari persimpangan itu. anehnya berapa kalipun ia mencoba untuk menemukan jalan utama ia malah menemukan jalan baru yang tidak pernah ia lewati. Setengah jam ia berputar-putar tak tentu arah, pada akhirnya ia menyerah lalu menghampiri seorang pria paruh baya yang tidak jauh dari tempatnya berdiri sekarang ini.

                “Permisi ahjussi, bolehkah aku bertanya dimana aku bisa menemukan halte bus?” tanya Jieun dengan sopan, membuat pria paruh baya itu menoleh padanya.

                “Tentu, kau bisa berjalan lurus ke utara lalu belok kanan di persimpangan kedua kemudian kau akan menemukan jalan utama dan tidak jauh dari tempat itu ada halte bus terdekat” sahut pria paruh baya itu sambil memberikan isyarat dengan kedua tangannya.

                “Baiklah, kamsahamnida ahjussi” sahut Jieun sambil tersenyum, dibalas dengan senyuman lagi oleh pria itu.

                Jieun menggeret kopernya sambil berjalan menuju arah yang ditunjukkan pria paruh baya tadi.Ia masih terbilang baru tinggal di Seoul, sangat sulit mengingat jalanan ataupun tempat baginya selain itu tidak banyak teman dan orang-orang yang ia kenal dengan dekat. Hanya Hyosung yang ia anggap sebagai kakak selama ini. Ya, wanita diseberang telepon itu adalah Jun Hyosung, rekan kerjanya di cafe tempat ia bekerja. Hanya Hyosung yang bisa mendengarkan dan mengerti bagaimana kesulitan Jieun, meskipun begitu Jieun masih mencoba untuk tidak bergantung sepenuhnya pada Hyosung. Meskipun penderitaan dan beban hidupnya cukup berat namun ia tidak pernah mengeluh dan menunjukkan wajah sedih didepan banyak orang. Baginya hidup sendirian merupakan pelajaran berharga tersendiri bagi dirinya.

                Tidak berapa lama kemudian akhirnya ia sampai di jalan utama. Senyumnya mengembang saat ia melihat halte bus yang tidak jauh dari tempatnya berdiri. Dengan semangat ia berjalan cepat menuju halte bus itu, hingga tanpa sadar ia menabrak seorang pria yang sedang membawa kopi panas. Kopi itu tumpah di bajunya, membuat Jieun terkejut sambil menutup mulutnya yang menganga dengan tangannya.

                “Ma,maafkan aku tuan! Aku tidak sengaja!” sahut Jieun gelagapan, ia segera mengeluarkan sapu tangannya untuk mengelap baju orang itu, berusaha membersihkan tanpa mengetahui kalau sang pria mulai risih dengan kelakuan Jieun.

                “, sudah hentikan!” sahut pria itu dengan suara bassnya, membuat Jieun terkejut dan sontak berhenti dari usahanya membersihkan baju sang pria.

                “Aku minta ganti rugi” sahut pria itu kesal. Jieun yang sedari tadi tidak berani menatap orang itu kini memberanikan dirinya.

                “Ma,maafkan aku. Aku akan ganti rugi” Jieun kemudian merogoh dompetnya. Dengan cemas ia menatap isi dompetnya yang hanya berisi beberapa lembar uang. Sebenarnya itu semua uang terakhir untuk biaya hidupnya sebulan ini, ia tidak tahu apakah nantinya uang itu akan cukup untuk naik bus jika ia membayar ganti rugi.  

                Tiba-tiba pria itu merampas dompet Jieun dengan kasar, ia mengambil semua uangnya lalu melemparkan dompet itu lagi pada Jieun membuat Jieun tercengang mendapat perlakuan seperti itu.

                “Hei!” teriak Jieun kesal saat pria itu mulai berjalan meninggalkan Jieun.

                “Hei! Tunggu!” teriak Jieun sambil berlari mencoba menghampiri pria yang masih terus berjalan itu, ia mengacuhkan panggilan Jieun.

                “Kubilang tunggu! Apa kau tuli?!” teriak Jieun berusaha menghentikan pria itu. ia tidak peduli walaupun kini banyak orang yang mulai memperhatikannya.

                Pada akhirnya pria itu berhenti lalu berbalik menatap Jieun dengan ekspresi marah, kini Jieun mulai merasa takut. Keberaniannya yang sempat timbul langsung memudar saat orang itu kini balik menghampiri Jieun dengan tatapan dingin.

                “Kau bilang aku tuli?” sahut pria itu dingin. Jieun masih terdiam berusaha untuk menghindari tatapan tajam pria itu namun yang ada pipinya malah dicengkeram dan dipaksa untuk kembali melihat wajah marah sang pria.

                “Dengar ya, pertama kau sudah menumpahkan kopiku. Kedua bajuku kotor dan aku bisa terlambat bekerja karena hal ini. Ketiga uangmu bahkan tidak cukup untuk membayar laundry dan harga kopi yang kubeli. Sekarang kau bilang aku tuli? Aku bisa saja menyakitimu ditengah keramaian ini” ancam pria itu, membuat Jieun ketakutan setengah mati. Ia hanya terdiam sambil melotot mendengar perkataan pria itu,ia tak mampu berkata apa-apa meskipun cengkeraman orang itu  mulai terasa sakit di pipinya. Lalu kemudian pria itu melepaskan cengkeramannya dengan kasar, membuat Jieun sempat terhuyung dan hampir jatuh.  

                Orang itu kemudian pergi meninggalkan Jieun yang masih tercengang tidak percaya, saat ia sadar kalau sejak tadi orang-orang memperhatikannya ia kemudian kembali berjalan dengan cepat menggeret kopernya lagi, berusaha mencapai rumah Hyosung dengan berjalan kaki.

 

09.00 PM, Rumah Hyosung

                “Jieun?! Ada apa denganmu?” Hyosung terkejut saat ia menemukan Jieun dengan wajah kusut dan nafas tersengal berada didepan pintu masuk rumahnya. Jieun tidak menjawab pertanyaan Hyosung, ia masih sedih atas apa yang dialaminya hari ini, jadi ia hanya bisa terdiam sambil memandang Hyosung dengan wajah ingin menangis.

                “Ayo letakkan kopermu disini, pergilah mandi dan bersihkan tubuhmu dulu” Hyosung memberikan handuk pada Jieun lalu menuntunnya ke kamar mandi. Jieun hanya mengangguk pelan sambil masuk kekamar mandi tanpa berkata apapun. Sementara Jieun mandi, Hyosung menyiapkan teh dan beberapa kue yang bisa dimakan. Ia lalu membawa semua camilan itu kedalam kamarnya. sebenarnya kedua orang tua Hyosung tinggal di Incheon, di Seoul ia tinggal dengan adik perempuannya Hana yang juga masih mengenyam pendidikan di universitas. Hana dan Jieun juga cukup akrab sehingga tidak ada dinding pemisah diantara Jieun dan dua kakak beradik ini.

                “Kau harus mengisi perutmu dulu Jieun, aku yakin kau belum makan apa-apa sejak pagi tadi” sahut Hyosung sambil memberikan camilan dan teh yang tadi ia bawa. Jieun kemudian tersenyum sambil meminum teh hangat itu, tubuhnya kini sudah terasa lebih segar sehabis mandi dan perasaannya juga sedikit lebih baik.

                “Oh ya dimana Hana, unnie?” tanya Jieun tiba-tiba.

                “Ia menginap dirumah temannya malam ini” jawab Hyosung.

                “Jieun, ada apa dengan pipimu itu?” tanya Hyosung tiba-tiba sambil mengamati pipi Jieun yang kemerahan akibat cengkeraman pria yang ia temui didekat halte bus. Jieun kembali teringat dengan kejadian siang itu.

                “ini karena seorang pria kasar. Aku tidak sengaja menabraknya dan menumpahkan kopi ke pakaiannya yang bermerek itu, ia merebut dompetku dan melemparkannya lagi padaku secara tidak manusiawi. Karena kesal aku mencoba meneriakinya tapi ia malah mencengkeram pipiku seperti ini” Jieun bercerita sambil mengelus pipinya dengan kedua tangannya. Ia tidak menyangka kalau cengkeraman pria itu akan berbekas lama dipipi mulusnya.

                “Aigoo benar-benar pria yang kasar! Tidak seharusnya ia melakukan hal seperti itu pada seorang gadis ‘kan” sahut Hyosung kesal mendengar cerita Jieun.

                “Sudahlah unnie, aku juga salah sudah menabraknya. Yang terpenting sekarang ini, aku harus mencari tempat tinggal baru secepatnya” kata Jieun sambil memakan kue dengan lahap.

                “Tidak perlu cepat-cepat begitu Jieunnie. Kau bisa tinggal selama yang kau inginkan disini, lagipula Hana juga pasti senang kalau kau tinggal disini” sahut Hyosung sambil tersenyum.

                “Ah gomawo unnie, tapi aku tidak mau merepotkanmu dan Hana. Bagaimanapun juga aku harus tetap berusaha sendiri” jawab Jieun membalas senyuman unnienya.

                “Baiklah-baiklah, kau memang orang yang keras kepala. Paling tidak malam ini kau harus tinggal disini dan terserah padamu jika nanti kau ingin menemukan tempat tinggal baru atau tidak” sahut Hyosung lagi.

                “Jeongmal gomawo unnie” sahut Jieun sambil tersenyum, didalam hatinya ia merasa sangat beruntung memiliki kakak seperti Hyosung.

                Malam itu Jieun mencoba tidur lebih awal, tubuhnya benar-benar terasa sangat lelah karena hari itu ia harus berjalan kaki untuk sampai ke rumah Hyosung. Ia juga sempat memikirkan tentang uangnya yang sudah habis dan cara mendapatkan tempat tinggal yang sewanya murah, ia lalu menghela nafas karena tidak menemukan cara apapun. Namun ia masih bertanya-tanya bagaimana agar ia bisa mendapatkan uang lebih awal dan segera keluar dari rumah Hyosung. Bagaimanapun juga ia tetap tidak mau merepotkan Hyosung dan Hana.

 

06.30 AM, Routte Cafe

                “Kau terlihat sangat berbeda. Apa hari ini kau merasa lebih baik?” tanya Hyosung pada Jieun yang sedang membersihkan meja pengunjung sambil bersenandung kecil.

                “Aku hanya harus bekerja lebih giat unnie, jadi mungkin saja aku bisa mendapat banyak keberuntungan” sahut Jieun sambil tersenyum.

                “Syukurlah, aku tidak mau melihatmu sedih. Kau hanya harus lebih sering tersenyum agar pengunjung senang melihatmu” sahut Hyosung lagi yang hanya dibalas senyuman oleh Jieun.

                “Unnie, apa kalian berdua tahu kalau hari ini pemilik saham utama kafe ini akan datang kemari?” sahut seorang gadis cantik yang baru keluar dari dapur sambil mengikat celemek ketubuhnya. Membuat Hyosung dan Jieun menatapnya bersamaan.

                “Datang kesini? Dari mana kau mendengarnya Sunhwa? Bukankah kafe ini hanya cabang kecil dari banyak kafe di seluruh Korea? Untuk apa dia kesini?” tanya Hyosung sambil mengerutkan kening.

                “Aku menguping dari pembicaraan manajer dengan direktur utama melalui telepon. Kupikir mungkin saja ia mau melihat-lihat, lagipula meskipun kecil bagaimanapun juga tempat ini masih cabang dari Routte Caffe” sahut Sunhwa lagi.

                “Hah, hanya ada kita bertiga dan satu manajer ditempat ini. Aku bahkan sempat berpikir kalau kafe kecil ini akan dilupakan dari ratusan cabang di Korea. Oh! Apa mungkin ia akan menutup tempat ini?” sahut Hyosung membuat Jieun dan Sunhwa melotot mendengar pernyataannya.

                “Ya! Unnie jangan bicara seperti itu, sangat sulit menemukan pekerjaan yang cocok dengan jadwal kuliahku” kata Jieun sambil menatap Hyosung tidak percaya.

                “Ya, Jieun unnie benar. Aku juga tidak tahu lagi harus bekerja dimana kalau sampai tempat ini ditutup” sahut Sunhwa membela Jieun.

                “Ah maafkan aku,tapi bagaimanapun juga ini tetap saja aneh. Pemegang saham utama Routte Caffe datang kemari tiba-tiba, kupikir akan ada sesuatu yang terjadi” sahut Hyosung sambil menggosok dagunya, memasang pose berpikir super keras.

                “Kalau kalian semua sudah puas mengobrol cepat lanjutkan pekerjaan kalian masing-masing” suara khas itu mengagetkan Hyosung, Jieun dan Sunhwa. Seorang pria berumur empat puluhan muncul dari balik ruang manajer.

                “Ma,manajer?” sahut mereka bersamaan.

                “Ini sudah hampir waktu buka dan kalian bahkan belum memanaskan kopi, apa kalian mau aku memotong gaji kalian?”sahut pria itu lagi sambil melipat tangan didepan dadanya membuat Hyosung, Jieun dan Sunhwa cepat-cepat kembali ke pekerjaan mereka masing-masing. Manajer itu hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat kelakuan tiga karyawannya yang telah bekerja cukup lama di kafe itu, ia lalu kembali masuk kedalam ruangannya.

 

KLINING

                Suara lonceng selamat datang di kafe itu membuat Hyosung, Jieun dan Sunhwa menolehkan pandangan ke pintu masuk. seorang pria elegan berumur dua puluhan masuk ke kafe itu lalu mengambil kursi disudut ruangan.

                “Hei Jieun, apa yang kau lakukan? Cepat layani tuan itu” sahut Hyosung pada Jieun yang masih terpaku dengan pria itu, berbisik dari balik meja pemanas kopi.

                “I,iya” jawab Jieun, lalu berjalan cepat kearah pelanggan pertamanya pagi itu.

                “Boleh kucatat pesanannya, tuan?” tanya Jieun ramah sambil menyodorkan buku menu yang ia bawa, membuat pria itu menoleh pada Jieun.

                “Oh ya, aku pesan satu moccacino latte dan cheese-choco toast” sahut pria itu sambil mengembalikan buku menu pada Jieun yang belum dilihatnya. 

                “Baiklah... tuan” sahut Jieun kebingungan, ia lalu bergegas menuju meja pemanas kopi dan segera memberikan catatan pesanannya pada Hyosung.

                “Unnie, apa pria itu tidak aneh?” tanya Jieun berbisik pada Hyosung yang sedang membuat Moccacino latte, sementara di dapur Sunhwa menyiapkan cheese-choco toast.

                “Apa maksudmu?” tanya Hyosung.

                “Ia datang pagi sekali dan bahkan tidak melihat daftar menunya” sahut Jieun.

                “Hah kau ini, kupikir itu hal yang wajar. Mungkin saja dia sudah jadi pelanggan tetap di Routte Caffe, lagipula ia tampan. Tidak seharusnya kau mengatakan aneh pada pria setampan dia” jawab Hyosung sambil menatap pria itu dengan tatapan mengagumi, membuat Jieun memutar bola matanya mendengar pernyataan unnienya.

                “Tapi tetap saja aku merasa dia itu sedikit aneh” sahut Jieun lagi tidak mau kalah.

                “Ah sudahlah, kau harus antarkan pesanannya. Ini” kata Hyosung sambil menyodorkan moccacino latte dan cheese-choco toast pada Jieun.

                Jieun kemudian berjalan dengan hati-hati membawa pesanan itu menuju sang pria yang sedang memainkan smartphonenya. Sambil memandangi pria itu, Jieun sempat berpikir kalau yang dikatakan Hyosung mungkin saja benar. Pria itu punya wajah tampan dengan gaya yang elegan, sepertinya ia orang kaya dengan banyak kesempurnaan.

                “Silahkan, tuan” sahut Jieun sambil meletakkan pesanan dimeja sang pria yang hanya dibalas dengan senyuman.

                “Oh agassi, maukah kau kesini sebentar?” sahut pria itu saat Jieun sudah hampir masuk ke dapur. Dengan wajah bingung Jieun kemudian kembali ketempat sang pria itu lagi, disudut ruangan.

                “Oh Song Jieun, itukah namamu?” tanya pria itu mengamati tanda pengenal yang melekat di seragam Jieun.

                “Ya tuan, apa ada yang bisa saya bantu?” tanya Jieun sopan.

                “Maukah kau menemaniku sarapan dimeja ini?” tanya pria itu lagi sambil tersenyum membuat Jieun terkejut dengan permintaannya.

                “A,ah maaf tuan hal seperti itu sangat tidak sopan. Apalagi saya harus kembali bekerja” jawab Jieun meminta maaf.

                “Ini masih pagi, kupikir kau tidak akan sesibuk itu lagipula tidak ada pelanggan selain aku disini” sahut pria itu lagi sambil mengedarkan pandangannya keseluruh ruangan di kafe itu.

                “Ya tapi... tetap saja tuan” sahut Jieun ragu, ia takut kalau-kalau pelanggannya itu akan marah.

                “Haha baiklah, kau pasti merasa kalau aku ini sangat aneh seperti yang kau katakan pada temanmu. lagipula tidak seharusnya kan kita berbicara terlalu banyak dengan orang asing” sahut pria itu sambil menyeruput moccacino lattenya membuat Jieun melotot kaget. .

                “Bu,bukan seperti itu tuan. Saya hanya...” Jieun gelagapan, pipinya memerah. Ia tidak percaya kalau pembicaraannya dengan Hyosung akan terdengar oleh pelanggannya itu.  

                “Oh! Tuan Kim!” tiba-tiba saja sang manajer muncul, membuat Jieun dan pria itu mengalihkan pandangannya pada orang yang sama.

                ‘Tuan Kim? Jangan-jangan...’ sahut Jieun dalam hati.

                “Saya tidak menyangka kalau tuan akan datang sepagi ini, walaupun direktur sudah mengatakannya tapi ia tidak memberi tahu kapan tuan akan datang jadi saya tidak bisa menyiapkan segalanya dengan baik” sahut sang manajer sambil  membungkuk sopan didepan sang pria, membuat Jieun melotot kaget, ia mulai tahu siapa sebenarnya pria itu.

                “Jieun, tuan Kim Himchan adalah pemegang saham utama Routte Caffe. Tunjukkan rasa hormatmu padanya” sahut sang manajer pada Jieun yang masih membeku tidak percaya, sementara pria itu hanya tersenyum kembali pada Jieun.

                “Ma,maafkan saya tuan, saya sudah bersikap tidak sopan” sahut Jieun sambil membungkuk dalam. Ia memang merasa ada sesuatu yang aneh dengan pria itu namun ia tidak menyangka kalau pria yang kelihatannya sebaya dengannya itu adalah pemegang saham utama tempat ia bekerja.

                “Haha jangan terlalu dipikirkan” sahut pria bernama Himchan itu sambil tersenyum menatap Jieun, sempat membuat pipi Jieun merah karena malu. Ia lalu segera kembali kedapur setelah sang manajer memberinya isyarat, sementara pria itu dan sang manajer mulai berbincang.

                “Jieun, ada apa denganmu?”  tanya Hyosung diikuti oleh Sunhwa yang melihat Jieun terduduk dilantai dapur sambil menghela nafas dalam.

                “Aku tidak tahu kalau orang itu adalah pemegang saham utama kafe ini” sahut Jieun pelan membuat Hyosung dan Sunhwa melotot kaget.

                “Apa?! Namja tampan itu pemegang saham utama kafe ini?!” sahut Hyosung dan Sunhwa bersamaan yang hanya dibalas anggukan pelan oleh Jieun.

                “Ya ampun aku tidak percaya, ia terlalu sempurna untuk itu. kau lihat penampilannya ‘kan? ia benar-benar sangat keren” sahut Hyosung sambil tersenyum tidak jelas, seolah ia sedang membicarakan aktor favoritnya.

                “Tidak hanya itu unnie, aku juga sempat melihatnya memarkirkan mobil mewahnya di seberang jalan sana, kurasa itu merek poursche” sahut Sunhwa tidak kalah heboh, membuat Hyosung berteriak tidak jelas sementara Jieun hanya menghela nafas panjang. Ia masih malu dengan kejadian barusan, namun yang paling ia takutkan kalau-kalau namja itu merasa tersinggung dan memecatnya.

                Waktu berjalan begitu cepat dan tak terasa sudah waktunya kafe itu tutup. Sudah tidak ada pelanggan lagi dan manajer juga sudah pulang. Jam menunjukkan pukul sembilan malam. Sunhwa pulang lebih awal karena ia harus menjenguk neneknya dirumah sakit sementara Jieun dan Hyosung masih membersihkan peralatan dapur dan menatanya kembali kedalam lemari.

                TRING! TRING!

                Tiba-tiba saja dering ponsel Hyosung berbunyi, ia segera mengecek sms yang masuk itu. Dari adiknya, Hana.

                “Jieunnie, aku harus mampir sebentar ke swalayan didepan sana sebelum tutup. Hana memintaku untuk membeli barang-barang harian. Tidak apa-apa ‘kan kalau kau yang menutup  kafe hari ini?” sahut Hyosung.

                “Ah tidak apa-apa unnie” jawab Jieun.

                “Kalau sudah selesai kita bertemu di seberang jalan lalu kita pulang bersama” sahut Hyosung lagi yang hanya dibalas anggukan oleh Jieun.

                “Baiklah aku pergi dulu Jieunnie” sahut Hyosung sambil bergegas keluar dari dapur.

                “Ya, hati-hati unnie” jawab Jieun sambil tersenyum.

                Jieun segera menyelesaikan semua tugasnya dengan cepat lalu bergegas menutup semua pintu. Setelah membuang sampah ia lalu menuju ke seberang jalan, disana ia menunggu Hyosung selama beberapa menit. Namun sudah setengah jam berlalu sejak ia menunggu dan jalanan sudah mulai sepi Hyosung belum muncul juga, ia mencoba menghubungi unnienya itu namun sia-sia karena ponselnya tidak aktif. Ia pun memutuskan untuk menyusul unnienya ke swalayan yang dimaksud namun ditengah jalan ia dicegat oleh beberapa pria yang sedang mabuk.

                “Hei agassi ini cantik sekali, kenapa larut malam begini ia sendirian?” salah satu dari tiga pria itu mendekati Jieun. Jieun yang mulai ketakutan mundur beberapa langkah, ia ingin berjalan terus menghindari para pemabuk itu namun lengannya ditahan oleh dua pria yang lain.

                “Lepaskan aku! Lepaskan!” teriak Jieun sementara para pemabuk itu hanya tertawa melihat Jieun yang berusaha melepaskan diri.

                “Percuma saja agassi, tidak ada orang disini lebih baik kau ikut kami ke bar dan bersenang-senang disana” ketiga pria itu kemudian menggeret Jieun keseberang jalan. Jieun masih meronta berusaha melepaskan dirinya tapi hasilnya sia-sia, kekuatannya tidak cukup untuk melawan ketiga pemabuk itu. tanpa berpikir panjang lagi ia lalu menggigit salah satu tangan pria yang mengekangnya, ia menggigitnya hingga tangan sang pemabuk mengeluarkan darah membuat sang pemabuk berteriak kesakitan dan tanpa sadar melepaskan cengkeramannya dari Jieun sambil mengumpat tidak jelas. Jieun tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, ia lalu berusaha lari namun salah satu dari pria itu kembali menangkapnya. Jieun tetap berusaha melepaskan dirinya sambil menendang-nendang sang pria namun yang ada ia malah mendapatkan tamparan yang sangat kuat dipipinya.  

PLAAKK

                Ia tersungkur jatuh ke tanah, memegangi pipinya yang lebam karena tamparan pria itu. darah pun mulai mengalir dari sudut bibir mungilnya, rasa sakit dan panas dipipinya membuatnya tanpa sadar mengeluarkan air mata.

                “Hah! Dasar jalang!” pria yang menampar Jieun itu kembali menyeret tubuh Jieun kesebuah gang kecil terdekat, ia lalu berusaha melepaskan pakaian yang membalut tubuh Jieun.

                “Jangan! Lepaskan aku!” Jieun berteriak ditengah isakannnya, ia berusaha untuk melawan pria itu sekuat tenaga namun yang ada pria itu malah merobek pakaian Jieun, menampakkan kulit putihnya yang mulus. pria itu semakin liar untuk menggerayangi tubuh Jieun membuat Jieun berteriak frustasi minta tolong sambil terus meronta minta dilepaskan hingga membuat kepala Jieun terbentur keras karena besi dibelakang tubuhnya. Pandangannya pun berangsur-angsur menjadi kabur.

                “Hei kalian, sedang apa disana?! Cepat bantu aku!” Jieun mendengar suara-suara  yang semakin samar ditelinganya.

DUAKK!!!

                Kejadian itu terjadi sangat cepat, membuat Jieun tidak sempat melihat semuanya dengan jelas. Yang ia tahu kalau ia selamat dari ketiga pemabuk itu, seseorang telah menyelamatkannya dan setelah itu kesadarannya hilang sepenuhnya.

                Entah sudah berapa lama ia pingsan. Jieun berusaha membuka matanya yang terasa sangat berat, ia perlahan mencoba duduk sambil memegangi kepalanya yang masih pusing. Lalu menyandarkan tubuhnya di sofa itu, sofa tempat ia tertidur. jam tangannya menunjukkan pukul dua belas lewat tengah malam. Kemudian setelah memastikan kalau pandangannya membaik ia memperhatikan sekelilingnya. bajunya yang sobek sudah diganti dengan kemeja yang cukup besar dan luka disudut bibirnya akibat tamparan pemabuk itu juga sudah diobati. Meskipun pipinya masih terasa sakit saat ia menyentuhnya tapi kemudian ia tidak menghiraukannya, yang kini ia perhatikan adalah ruangan yang cukup luas dengan dekorasi minimalis. Ada kaca besar yang menjadi pembatas ruangan tempat ia duduk dan ruang makan yang ada di depannya. Ia melihat TV LCD layar lebar yang hidup di seberangnya, ada beberapa hiasan dan patung keramik yang menurutnya sangat mahal berjejer di lemari besar di belakang sofa tempat ia duduk. Lalu ada lorong yang apabila ia melihatnya akan tampak beberapa pintu kamar. Ia terus memandangi sekelilingnya, Berapa kalipun ia berusaha memandangi rumah itu dan isinya ia kembali kagum dan berpikir semuanya barang-barang mahal dan hanya orang kaya yang bisa memiliki semua itu.

                “Kau sudah sadar” suara yang tidak asing baginya itu membuat Jieun menoleh pada sumber suara. Ia sempat terkejut melihat orang yang berdiri menghampirinya. Seorang namja yang membuatnya sempat kesal beberapa hari lalu. Namja dengan suara bass yang tempo hari ia tabrak dan membuatnya harus mengganti rugi karena kopi yang ia tumpahkan dibajunya.

                “K,kau...” Jieun tergagap menatap namja itu tidak percaya. sementara sang namja hanya menyunggingkan senyum sambil duduk di sofa dengan santai.

                “Dari ekspresimu sepertinya kau mengingatku, aku benar-benar tersanjung” sahut namja itu sambil melonggarkan dasi dikerah kemejanya.

                “Hah, mana mungkin aku melupakan pria kasar sepertimu” sahut Jieun sambil mendengus membuat namja itu mengernyitkan dahinya menatap Jieun.

                “Hei apa seperti ini rasa terimakasihmu pada orang yang telah menyelamatkanmu? Kalau begitu seharusnya tadi aku membiarkan para bajingan itu memperkosamu saja sekalian” jawab sang namja membuat Jieun tercengang, ia tidak menyangka kalau namja itu sangat sensitif. Ia lalu pergi meninggalkan Jieun membuat gadis itu berusaha berdiri untuk mengikutinya meskipun tubuhnya hampir limbung.

                “Tuan, hei tuan tolong maafkan aku. Tadi aku tidak serius mengatakannya, tolong maafkan aku” Jieun mengikuti namja itu sampai didapur. Namun berapa kalipun Jieun mencoba untuk memanggil sang namja ia hanya tidak diacuhkan. Jieun sempat kesal dengan perlakuan sang namja itu sampai kemudian ia memperhatikan gerak-gerik sang namja yang mengeluarkan pemanas kopi dari salah satu lemari didapur itu.

                “Hei apa kau mau membuat kopi? Bagaimana kalau aku yang membuatkannya sebagai rasa terimakasihku padamu karena telah menyelamatkanku?” tanya Jieun membuat sang namja akhirnya menoleh sebentar pada Jieun.

                “Kau akan membuat kopi yang tidak enak” sahut namja itu membuat Jieun kesal.

                “Aku ini bekerja di kafe dan biasa memanaskan kopi dipagi hari, bahkan banyak pelanggan yang suka dengan kopi buatanku. Kau akan menyesal kalau tidak mencicipi kopi yang kubuat” jawab Jieun sebal membuat pria itu terdiam untuk beberapa saat sambil memandang Jieun dengan aneh.

                “A,apa yang kau lihat hah?” sahut Jieun mulai tidak nyaman dengan pandangan sang namja.

                “Baiklah, kau bisa membuatkan kopi untukku” kata namja itu, kemudian ia duduk di meja makan sambil kembali memandangi Jieun yang mulai membuat kopi. Suasana saat itu berlangsung sangat hening untuk beberapa saat karena tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut keduanya.

                “Jeongmal gomawo” sahut Jieun tiba-tiba sambil menyodorkan segelas kopi hangat pada sang namja, membuat namja itu tersenyum menatap kopi yang diberikan Jieun.

                “Tidak seharusnya seorang yeoja berjalan sendirian malam-malam begini” jawab sang namja sambil menyeruput kopinya.

                “Aku menunggu unnieku...ah! iya Hyosung unnie, aku harus memberitahunya” Jieun kembali teringat dengan Hyosung, ia kemudian bergegas keruang tengah untuk mengambil ponselnya namun ditahan oleh namja itu.

                “Kalau wanita bernama Hyosung itu ia sudah berkali-kali menghubungimu, tapi aku sudah memberitahunya kalau kau bersamaku dan sedang baik-baik saja. Ia sangat berterimakasih padaku dan menyuruhku untuk memberitahumu kalau saat ini ia sedang ada di kantor polisi karena ada insiden perampokan di swalayan yang ia datangi dan ia harus menjadi saksi untuk sementara” sahut namja itu menjelaskan, membuat Jieun menghela nafas lega, ia takut unnienya akan menunggunya ditempat yang sama dan mencemaskan keadaannya. Ia pun kembali duduk di kursi ruang makan itu sambil mencoba memperbaiki rambutnya yang kusut. Suasana diruangan itu kembali hening untuk beberapa saat.

                “Siapa namamu?” tanya namja itu pada Jieun, membuat Jieun menoleh menatap sang namja.

                “Aku Song Jieun” jawab Jieun, yang hanya di balas anggukan dari sang namja sambil kembali menyeruput kopinya.

                “Lalu...bagaimana denganmu?” tanya Jieun ragu, membuat sang namja kembali menatap Jieun.

                “Bang Yongguk” jawabnya singkat.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
rinakkuma #1
Chapter 18: Cutee~ selesai dlm seharii
byull98 #2
Chapter 18: Author-nim!!!! Mian sebesar-besarnya, baru komen sekaranggg;;;;; Suka banget sama fanfic iniiii, bingung mau komen apalagi kkkk~~~ author-nim jjang!! Bangsong jjang!! Kkkkkk ^^
FolderName
#3
Chapter 18: i need more of our Bbangssong together~ LoL but this is good
opparsfangirl #4
Chapter 18: Baguuus bangeeeet ! #Teambbangssong ... ayo authornim bikiiin ff sebagus ini lagiii yg lebih dramatis :))
kyurikim #5
Chapter 18: Wah udah ending aja nih aku kira bakalan ada kelanjutannya
rengganis
#6
Chapter 18: Wah udah ending ya? Hmmm..klimaksnya ok, tapi butuh chapter lagi buat romancenya bangsong pas merit atau setelahnya hehehe....
Gak nyangka ternyata himchan yg ngatur semuanya. Bakat jadi sutradara deeehhh
mimonu
#7
Chapter 18: aiiiiih endingnya _(:3」∠)_ bagus deh ffnya! ditunggu lagi ff yg lain~
Ichikawa-Ami #8
Chapter 18: Waaaaa, udah ending nih?? Kirain bakal ada chapter cerita cintanya mereka lagi pas Jieun udah bilang. Tapi gapapa author-nim, overall ceritanya seru bgt. Congrats yaa udah bisa selesein ^^
kyurikim #9
Chapter 16: Junhong kenapa balik ke amerika lagi:' Dan Yongguk, sini aku jitak dulu (becanda ding) tapi Yongguk kenapa pake acara nyari si Mirae lagi sih iya aku tau kamu sakit ati tapi ga gini juga kali *kenapa saya yang emosi-_-* semoga masalah author cepet selesai ya:') dan baekyeon sebenernya saya agak kretek karena baekhyun itu ultimate bias :') waiting bangsong jadi real yeah '-')9
rengganis
#10
Chapter 16: Huhuhu...yongguk serem banget sih,,posesif gitu. Tapi in the name of love kali yaaaa....
Tapi kenapa balik ke mirae lagiiii? Uuhh...