Chapter 7
Love, Love, Love (Bahasa Version)"Pagi," Luhan menyapa Seunghyun dan tunangannya yang sudah ada di meja makan degan suara serak. Pasangan itu menyambut sapaannya, dan Jiyong berdiri untuk menyiapkan kopi Luhan sementara pemuda itu mengambil tempat duduk di seberang Seunghyun.
"Tidurmu nyenyak?"
Luhan mengangguk menjawab pertanyaan Jiyong. Dia mengusap matanya dengan malas dan menguap. Jiyong sangat ingin mencubit pipi Luhan melihat keimutannya. Bagainmana mungkin seseorang yang sombong dan berlagak seperti Luhan bisa sangat imut dan seperti anak kecil terkadang?
Luhan berterimakasih pada Jiyong atas kopinya dan meminum cairan hitam itu perlahan. "Hyungdeul.." panggilnya, membuat kedua Hyungnya menoleh padanya. "Aku tahu kalian berdua adalah sahabat dekat sebelum kalian akhirnya pacaran, dan aku tau Youngwoon Hyung tinggal di ujung jalan ini, dan aku tahu kalian berdua sangat dekat dengannya walaupun aku tidak pernah terlalu dekat dengannya. Tetapi.." Luhan tidak melanjutkan perkataannya, dan ini membuat Seunghyun yang sedang makan menurunkan garpunya ke piring untuk mendengarkan Luhan lebih baik.
"Tetapi?"
"Tetapi aku tidak pernah bertemu Wu Yifan."
"Ha!" Jiyong berseru senang dan memukul ujung meja makan di hadapannya. Dia berbalik menghadap Seunghyun dan berkata, "Aku sudah bilang Luhan pasti naksir Yifan."
"Apa?"
"Tidak, Ji. Luhan tidak naksir Yifan. Mereka baru bertemu sekali."
"Hey, apa yang sedang kalian bicarak—"
"Tetapi dia bertanya tentang Yifan begitu dia bangun, Hyunnie. Dia pasti menyukainya."
"Hey guys—"
"Tidak, dia bertanya kenapa dia tidak pernah kita kenalkan pada Yifan padahal kita sangat dekat dengannya."
"Tetapi, sayang, tidakkah bagus jika—"
"Hyungdeul!" akhirnya Luhan sedikit mengeraskan suaranya dan berhasil menarik perhatian mereka. "Kalian sadar aku masih di sini kan ya?"
Sesaat Jiyong dan Seunghyun hanya bengong menatap Luhan, sampai Seunghyun mendengus dan tertawa kecil. "Aku punya nomor teleponnya, kalau kau ma—"
"Hyuuuuuuuuuuuuuuuuu~ng!"
Ketika Seunghyun dan Jiyong sibuk mentertawakan Luhan, sebuah lagu techno terdengar dari kamar tamu. Luhan tahu itu adalah ringtone ponselnya, jadi dia lari ke kamarnya, tidak menghiraukan kedua orang yang masih mentertawainya itu. Luhan benci jadi yang paling muda. Dia adalah yang termuda di keluarga batihnya, dia adalah yang termuda di keluarga besar dari ibunya, dan dia adalah yang termuda dari keluarga besar ayahnya. Dia selalu menjadi bulan-bulanan sepupunya. Dia tahu sepupu-sepupunya sayang padanya, tetapi Luhan sebal karena mereka selalu memperlakukannya seperti anak kecil, sampai sekarang.
Luhan mengecek caller IDnya dan jantungnya berdegup keras mengetahui yang meneleponnya tidak terdaftar di buku telepon hpnya. Luhan punya dua ponsel, dan ponsel ini adalah ponsel khusus untuk keluarga dan sahabat-sahabatnya. Semua klien dan pelanggannya selalu diberi nomor lain untuk menghubunginya. Dan karena Luhan selalu berusaha bersikap professional dengan memisahkan urusan keluarga dan pekerjaan, ponsel yang satunya itu tidak dia bawa. Jadi satu-satunya orang yang tidak dia kenal yang tahu nomor ini adalah..
"Wei?" Luhan memutuskan untuk menjawab panggilan itu.
"Wei? Ini dengan.. Deer?" suara di seberang terdengar samar dan Luhan yakin orang itu menutup mulutnya dengan sesuatu agar suaranya tidak jelas. Luhan mengumpat dirinya sendiri karena memiliki pikiran buruk seperti itu, tetapi bagaimanapun dia sangat senang dengan panggilan ini. Tanpa sadar dia mengeluarkan sebuah jeritan kecil dan langsung menyesal ketika menyadari betapa dia terdengar seperti seorang anak sekolah yang sedang menerima telepon dari first crush-nya.
Luhan berusaha menahan dirinya dari melakukan hal memalukan lain dan menjawab lawan bicaranya dengan suara yang lebih stabil. "Yeah. .. Lax?"
"Laxy Galaxy. Jangan panggil aku dengan Lax, kau tidak menghormati nickname-ku."
Jawaban itu membuat Luhan tertawa. Pemuda ini sama konyolnya di telepon dengan di suratnya, memang mereka sering bertukar puisi dan lirik-lirik yang puitis, tetapi di setiap akhir surat, sahabat penanya ini pasti menambahkan lelucon atau apapun yang bisa membuat dia tertawa.
"Oke, oke, aku minta maaf, Laxy Galaxy," menekankan 2 kata terakhir itu tampak membuat temannya itu senang. "Boleh aku panggil kau Laxy saja? Lebih hemat waktu dan terdengar lebih akrab."
"Ah, tentu saja."
"Baiklah kalau begitu. Kau.. terdengar berbeda. Maksudku dari sebelumnya, kau tahu.. ketika di radio," Luhan tidak tahu mengapa dia mengatakannya, dan dia menepuk dahinya sendiri setelah mengatakan ini. Dia sangat sangat gugup sampai bingung harus bicara apa.
"Oh! Ya, aku.. ketika itu aku sedang sakit batuk," lawan bicaranya menjawab. Dan ta
Comments