Day 269 & 1 ¾
Notre Kaléidoscope= 269 =
Mungkin aku sudah gila. Selama tiga jam terakhir aku berguling-guling tak jelas di atas kasur, turun sedikit untuk menempelkan keningku di lantai yang dingin sambil menatap pantulan wajahku—kusut dengan rambut mencuat berantakan—atau melompat-lompat pelan di atas bantal. Aku baru sadar bahwa kamar ini sempit sekali ketika aku menghempaskan tubuh di atas sofa yang hanya bisa menopang tiga perempat tubuhku. Kubiarkan kaki-kakiku menjuntai beradu dengan lantai. Lengan menjadi bantal, pandangan terarah pada langit-langit kamar, dan pikiranku mulai menjelajah.
Sofa ini terasa begitu luas di ulang tahunku yang kelima. Saat usiaku 12 tahun, sofa ini masih bisa memanja tubuhku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Pubertas membuatku menjauh dari sahabat-sahabat masa kecilku. Aku sangat menyukai sofa ini hingga berbagai kegiatan bisa kulakukan di sini. Mulai dari makan hingga muntah, menumpahkan iler karena ngantuk hingga menumpahkan iler saat menonton video triple x, belajar, olahraga, dan lain sebagainya. Apalagi dulu aku sering menjadikannya pispot tambahan. Kukencingi, kutiduri, kugigitiㅡapapun yang kulakukan pada benda ini, dia tidak akan marah.
Jarum pendek jam dinding menunjuk angka 5 sedangkan jarum panjangnya berada di antara angka 1 dan 2. Aku menegakkan tubuhku, kedua kaki tersilang dan udara kuhela lamat-lamat. Kucoba menemukan ponsel yang terjebak di sela-sela sofa lalu mengedarkan pandangan untuk mencari earphone putih yang baru kubeli dua minggu lalu. Ah, di lantai. Tak mau susah-susah berjalan untuk memungut earphone itu, aku menjulurkan kaki kananku lalu menjepit kabelnya dengan jempol kaki yang sudah terbiasa berkolaborasi dengan telunjuk di sebelahnya untuk mengambil benda-benda tertentu.
Aku merebahkan tubuhku lagi setelah memasang earphone di telinga. Kutatap layar ponselku yang tidak menunjukkan kehidupan apapun dari seberang sana. Tidak ada SMS, tidak ada telepon, tidak ada notifikasi SNS. Sebenarnya kemana dia pergi sih? Sejak liburan musim panas dimulai, dia menghilang seperti ditelan kegelapan. Selama dua minggu ini tidak ada yang mengancam akan membunuhku, mengganggu tidurku dengan racauan tak jelasnya, atau memaksaku untuk makan sayuran. Apa dia ingin membuatku gila karena merindukannya hah?!
Merindukannya.
Sepertinya aku memang sudah gila karena... aku benar-benar merindukannya. Sulit sekali untuk mengalah pada diriku sendiri hanya demi mengambil konklusi bahwa aku merindukannya. Seperti menelan pil pahit setelah dihantam kekalahan telak. Bahkan aku telah mengirim puluhan SMS dan mencoba menelepon sama banyaknya tapi tidak ada satupun respon balik darinya. Aku membuka playlist yang dia buatkan khusus untukku sejak pertama kali kami jadian. Kebanyakan lagu yang dia berikan padaku dinyanyikan dalam bahasa Inggris. Dia selalu mengancam akan memukulku dengan stick golf ayahnya jika aku tidak mencari tahu arti dari lagu-lagu itu.
Everyday and every night, this feeling I’d fight
Try as I might but I wont win, I surrender, I’d die Y
ou are winning here alright
Yeah kau menang sekarang. Dimana kau berada, hm?
Every morning when the sun would shine on me
I'd flash a smile but deep inside
I feel so sad and lonely I need you here and now
Apa sesuatu terjadi padamu? Tolong beritahu aku sedikit saja.
I miss you
It’s crazy to pretend that I dont think of you
The more this feeling just seems to grow and grow
I miss you
Oh how much longer can I hold on to
Maybe you can come and tell me that you miss me too
Hey cewek gila, aku merindukanmu.
Benar-benar merindukanmu.
***
= 1 ¾ =
Langit-langit kamar yang putih tak bercorak menjadi pemandangan rutin yang kujumpai saat aku merebahkan tubuh di single bed yang telah menemani malamku selama belasan tahun. Aku baru saja selesai menyalin PR Kimia yang aku kerjakan tadi sore bersama Chanyeol. Sebenarnya otakku lebih banyak mendominasi dalam menjawab soal-soal tersebut. Aku selalu memberi gagasan lebih dulu, tapi Chanyeol bertindak menyebalkan. Dia pikir jawabanku salah semua dan menganggapku asal-asalan mengerjakannya
“Kenapa kita harus mengukur pH dalam air?” katanya, membaca soal pertama. Aku berpikir sejenak. Beberapa detik kemudian langsungmenuliskan jawabannya di buku catatan. “Karena air adalah sumber kehidupan,” Chanyeol menggumamkan jawabanku, keningnya berkerut tak setuju. “Baekhyun, bukankah itu jawaban yang asal? Kurasa kita perlu mengukur pH untuk mengetahui apakah air itu layak dipakai atau tidak, apakah air itu tercemar atau tidak. Benar kan? Selain itu untuk mengontrol proses pengolahan. Beberapa bakteri pengurai kandungan organik dalam air membutuhkan pH tertentu untuk bertahan hidup. Kurasa itu jawabannya.”
Aku menggaruk batok kepalaku yang tak gatal. “Baiklah, kita pakai jawabanmu saja. Aku akan mematikan kejeniusan otakku sejenak dan berpura-pura bodoh. Ayo kerjakan lagi.”
Dan demi mempertahankan persahabatan kami yang telah terjalin lebih dari separuh usia, aku memilih bersikap bijaksana dengan membiarkannya mengerjakan soal-soal itu sendirian. Aku bahkan tidak berkomentar apapun mengenai jawabannya setelah semua soal terjawab.
“Heh, bagaimana hubunganmu dengan cewek itu?”
Aku tidak begitu memperhatikan pertanyaan Chanyeol. Jempolku sibuk menggeser angka kelipatan 2 yang ada di layar ponsel. Rekor tertinggiku telah mencapai 8192 di permainan 2048, aku harus membuat rekor yang lebih besar.
“Ya! Aku bertanya.”
“Tentang?”
“Hubunganmu dengan si garang?”
Aku mengangkat alis kiriku. Tidak menangkap pertanyaan Chanyeol. “Nugu?”
“Kapten basket cewek yang tadi datang ke kelas kita dan menjadi pacarmu. Tidakkah kau tahu siapa dia yang sebenarnya?”
“Ah!” pikiranku langsung terkoneksi. Entah kenapa reaksi tubuhku agak sedikit berlebihan saat memasuki percakapan mengenai cewek itu. Jantungku langsung berdebar-debar lebih kencang dan tiba-tiba saja mulutku memproduksi saliva lebih banyak. Tolong jangan bayangkan ini dengan otak mesum karena ini merupakan reaksi ketakutan.
“Sebaiknya kau jangan main-main dengannya. Kudengar ayahnya adalah mantan gangster. Selain terkenal sebagai ketua tim basket cewek SMA kita, cewek itu punya kekuasaan di sekolah ini—” Chanyeol menggantung kalimatnya lalu menatapku dengan prihatin. “—mungkin dia seorang iljin.Kurasa kau harus menuruti segala keinginannya jika tidak mau mati perjaka.”
Aku teringat kata-kata Chanyeol tadi sore. Kejadian sehari yang lalu ternyata bukan ilusi apalagi mimpi. Cewek itu benar-benar datang ke kelasku dan langsung mengklaim dirinya sebagai pacarku serta diriku sebagai pacarnya. Kemarin aku memang pulang bersamanya dan ada aura aneh yang terpancar dari cewek itu semacam aura mengintimidasi dan menindas.
“Ya! Byun Baekhyun apa kau selingkuh? Kau harusnya datang 20 menit 13 detik yang lalu! ”
Aku menganga, lagi-lagi. Bagaimana bisa cewek itu bilang aku selingkuh? Bahkan untuk setuju pacaran dengannya pun belum kuutarakan. “Mwoya? Memangnya kau siapa mengatur-ngatur?”
“Jugulae?” balasnya dengan sengit. Kedua matanya melotot, bibirnya mengerucut dan tangan kirinya yang mengepal terangkat, mengarah pada wajahku. Ckck, lihatlah cewek ini benar-benar pandai menggert—
Bug!
Tubuhku langsung terhuyung sedikit. Pipi kananku terasa berdenyut-denyut nyeri. Demi kauskaki baunya Hoya! Aku baru bertemu dengannya beberapa jam yang lalu, menjadi pacarnya dan dia menonjokku?!
“Apa-apaan kau—”
“Jangan membantah! Kau selingkuh kan?! Katakan yang sebenarnya atau kau mau kutonjok lagi, eoh? Siapa cewek sinting selingkuhanmu!”
Aku bergidik ngeri saat cewek itu mengangkat tangan kanannya. Pukulan tangan kirinya saja sudah membuat pipiku nyeri, apalagi pukulan tangan kanannya! Kecuali dia kidal.
“A-a.. arasso, arasso. Aku akan menjelaskannya tapi jangan memukulku!” aku mengelus pipiku yang menjadi korbannya untuk sedikit menarik rasa simpati. Dan sepertinya berhasil karena dia telah menurunkan tangannya. “Tadi ada guru yang telat masuk dan minta waktu tambahan.” Kulirik cewek itu. Kini dia menyilangkan kedua lengannya, pandangannya menerawang ke bawah, terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu.
“Siapa nama gurunya?"
“Eh?”
“Siapa nama guru tidak bertanggung jawab yang membuatku menunggu itu?!”
Aku mengerjap. Cewek ini benar-benar gila. “Kwangsoo seongsaenim.”
“Lee Kwangsoo?” dia menghela napas pelan. “Orang itu tidak pernah berubah, ck! Aku harus membuat perhitungan dengannya.” tukasnya. Kini pandangannya beralih pada pipiku. “Apa itu sakit?”
Dan aku makin bergidik saat menatap kedua matanya yang terlihat iba dan... menyesal. Apalagi ketika dia mengusap lembut pipiku yang tadi ditonjoknya. Ya Tuhan, makhluk apa yang ada di hadapanku ini?
Kuhela napasku lamat-lamat sambil memejamkan mata. Malam sudah semakin larut dan aku harus tidur jika tidak ingin kesiangan. Besok ada pelajaran olahraga dan guru kami, Kim Jungkook, selalu menyiksa siswanya dengan mewajibkan kami untuk datang jam 6.30. Mungkin ketika aku bangun besok, semua yang kualami hari ini akan terkubur bersama onggokan mimpi burukku. Aku akan baik-baik saja.
Tuk
Hm, ya. Pasti semua ini hanya mimpi. Aku tidak sudi berpacaran dengan cewek iljin.
Tuk
Keningku berkerut, mataku masih terpejam. Mau ditaruh dimana harga diriku sebagai seorang lelaki?
Tuk
Aku langsung terbangun. Sebuah suara aneh terdengar dari jendela kamarku. Aku menyibak selimut biru bergambar mobil balap, menyalakan lampu lalu berjalan untuk memastikan bahwa suara tersebut hanya ilusiku saja.
Srett. Tirai terbuka.
Mataku membelalak saat aku mendapati cewek gila itu melambaikan tangan dengan bersemangat kepadaku. Dia menyeringai lebar lalu menggerakkan tangannya, menyuruhku untuk turun. Aku melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 11.15. Apakah ini nyata? Aku terdiam, memperhatikan cewek itu lebih saksama untuk memastikan bahwa kakinya menapak ke tanah.
Tuk
Suara batu kerikil yang menghantam kaca langsung menyadarkanku bahwa apa yang aku lihat adalah nyata. Kini ekspresinya berubah menjadi muram. Radar ancaman langsung berkedap-kedip di atas kepalaku.
Ya Tuhan, apa dosaku?
Comments