Day 180
Notre Kaléidoscope=180=
Awal musim semi kali ini cukup bersahabat denganku. Setidaknya aku belum menyumbat hidung dengan tisu untuk memperlambat pergerakan ingus-ingus musim semi yang sangat mengganggu. Aku punya semacam alergi pada musim ini. Dokter bilang namanya adalah Hay Fever dimana kekebalan tubuhku menjadi rentan karena menganggap serbuk sari—yang sebenarnya tidak berbahaya—sebagai ancaman.
Dari keempat musim yang tersedia di negeri ini, aku lebih suka musim panas. Bagaimana tidak? Musim panas berarti liburan! Tahun lalu aku menemukan hal paling menarik yang seharusnya telah kutemukan sejak dulu.
Jadi saat liburan musim panas pertamaku sebagai anak SMA, Sehun mengajakku dan anak-anak sekelas untuk menginap di pondok milik bibinya yang ada di pantai. Kami sangat menikmati liburan singkat itu meski ada beberapa kejadian yang membuatku menggelengkan kepala. Park Chanyeol membangunkan kami di pagi buta sambil berteriak-teriak (“Ayo kita lihat matahari terbit!” ). Aku yang saat itu masih bergelung di balik selimut mencoba untuk mengabaikannya. Tapi Chanyeol tidak berhenti begitu saja, dia menyeret kakiku hingga pantatku melakukan high-five intim dengan lantai yang dingin. Kurasa dia kebanyakan nonton Teletubbies.
Tak hanya itu! Dia bahkan merusak bagian paling penting dari liburan kami. Ketika Sehun mengajak kami untuk duduk-duduk di sekitar pantai sambil menunggu nuna-nuna seksi lewat dengan bikini warna-warni, Chanyeol menjilat es krimnya dengan cara agak menjijikan lalu berceletuk dengan santai, “Apakah calon suami nuna-nuna itu rela kalau aset calon istrinya dilihat orang banyak? Apalagi oleh mata jelalatan anak SMA mesum kayak kalian. Aku tidak akan menyuruh pacar atau istriku pakai bikini di tempat umum, aku tidak rela berbagi.” Kata Chanyeol sambil terus memandangi salah satu nuna yang sedang mengoleskan sunblock di sekitar leher dan dada.
Lalu beberapa nuna seksi yang mendengar ucapan bocah sableng itu langsung memakai handuk untuk menutupi tubuh mereka. Dan yang lebih buruk lagi, nuna itu berjalan mendekati Chanyeol lalu bilang, “Aa neomu kiyeowo!” “Aw! Kau perhatian sekali.” “Beruntung sekali calon istrimu!” Aku bersumpah demi bisnis jualan file JAV yang telah kurintis awal tahun ini, Park Chanyeol memandangi tubuh nuna-nuna seksi juga seperti kami! Bahkan—mungkin— tetesan es krim rasa strawberi yang jatuh ke atas pasir tak berdosa di dekat kaki Chanyeol adalah campuran air liur bocah Park yang gendeng itu. Dia hanya berlagak sok suci!
Huft.
Kueratkan mantel berwarna biru tua yang melekat di tubuhku dengan jeleknya ketika angin musim dingin mulai mencolek-colek perutku dengan genit. Mantel ini sudah terlalu berumur tapi umma belum kepikiran untuk membelikan yang baru. Menurutnya ukuran tubuhku tidak terlalu berubah. Dan itu adalah salah satu kebohongan besar abad 21. Tubuhku jelas menunjukkan banyak kemajuan setelah melewati pubertas. Aku bisa merasakan abs akan tumbuh di perutku dalam waktu dekat. Bahkan aku yakin kalau aku berolahraga sedikit saja, abs itu akan langsung terukir sempurna. Aku tidak bermaksud menyombong, tapi lihat saja nanti.
Sambil terus berjalan menyusuri area pertokoan di tengah kehidupan malam kota, aku terus memikirkan ide tentang abs ini. Semangatku untuk berolahraga mendadak begitu meluap. Aku harus segera minta tolong Kim Taehyung untuk membantuku memilih klub olahraga yang bisa menampung bakatku. Tanpa sadar aku telah memberikan cengengesan tampan gratis pada orang yang berlalu-lalang di sepanjang jalan.
Kota ini tampak lebih hidup di malam hari dengan berbagai macam cahaya saling melengkapi satu sama lain. Mulai dari cahaya lampu mobil yang bergerak dengan cepat, ruangan-ruangan menyala dalam gedung apartemen yang menjulang tinggi, tiang lampu di pinggir jalan yang akan kutemui tiap beberapa meter sekali, lampu bohlam telanjang yang menghiasi kedai-kedai kecil, hingga cahaya yang terpancar dari diriku. Moodku malam ini benar-benar bagus meski pada kenyataanya aku harus bertemu dengan si cewek gila dan menghabiskan waktu dengannya sampai ia puas. Hey, jangan salah paham. Aku bukan lelaki panggilan. Aku adalah pacarnya.
Aku menengadah sedikit, memastikan telah sampai di tempat yang tepat. Sebuah tulisan ‘Landscafe’ yang terbentuk dari kabel dengan bohlam mini berwarna-warni, terpampang pada sebuah plang yang menjulang di pinggir trotoar, membuatku tidak ragu untuk mendorong pintu kaca yang ada di samping kiriku. Suara lonceng dan seorang pegawai lelaki langsung menyergapku secara bersamaan. Sesuatu seperti “Selamat malam, selamat datang!” yang pasaran. Aku lebih suka mendengar ucapan selamat datang seperti di Salty Spitoon-nya serial Spongebob. “Selamat datang di Salty Spitoon. Seberapa tangguhkah Anda?” lalu dengan bangga aku akan menjawab, “Seberapa tangguh diriku?! Aku pacaran dengan cewek gila yang setiap hari mengancam akan membunuhku. Hidup remajaku nyaris hancur tapi aku masih bisa tertawa hahaha.”
Alunan musik RnB adalah suara berikutnya yang menyergap saraf auditoriku. Aku tidak perlu susah-susah mengedarkan pandangan untuk mencari keberadaan cewek itu karena sebuah tangan yang melambai-lambai di udara dari pojok ruangan sudah memberitahu dengan jelas dimana cewek itu berada. Meski wajahnya terhalang oleh pengunjung cafe lainnya, cewek itu selalu bisa memancarkan aura aneh yang ditangkap oleh radarku. Aku berjalan ke arahnya dan disambut dengan senyumannya yang lebar, memperlihatkan deretan giginya yang rapih lalu ia menarik lenganku untuk duduk di sebelahnya dengan tak sabar.
“Cha! Baekhyun-ah aku punya sebuah ide.” katanya sambil menangkupkan kedua tangan lalu menutup mulutnya untuk menyembunyikan tawanya yang terlihat begitu senang.
Aku selalu curiga jika kata ‘ide’ melesat keluar dari bibirnya dan mencubit gendang telingaku. Namun karena moodku sangat bagus malam ini, aku akan mendengarkan idenya itu baik-baik. “Oh ya? Ide apa lagi?”
Dia menopang kepalanya dengan telapak tangan lalu memiringkan tubuhnya untuk menghadapku, kemudian aku bisa melihat pantulan wajahku di matanya. “Bernyanyilah untukku di sana,” telunjuknya mengarah pada panggung kecil yang ada di depan.
Sebuah pukulan imajiner langsung menghantam jantungku, memacunya untuk memompa darah lebih cepat dan membuat pandanganku beralih ke lain tempat. Sebuah band lokal baru saja mengakhiri lagu mereka ketika aku menengok ke arah sana.
“Tidak, aku tidak bisa bernyanyi,” ujarku dengan nada dingin, masih dengan jantung yang berdebar-debar dengan abnormal.
“Kenapa tidak? Aku tidak akan me—”
“Tidak, aku akan melakukan apapun yang kau mau asalkan bukan bernyanyi.”
“Tapi, kenapa?” Dia ngotot.
“Aku tidak bisa. Hanya tidak bisa,”
Cewek itu mengerutkan keningnya kemudian memotong pembicaraanku, “Paling hanya lima menit. Tidak perlu lagu yang susah-susah, aku akan sangat senang bahkan kalau kau hanya menyanyikan lagu Tiga Beruang. Ayolah—”
“Tidak mau.” Aku menjauhkan tangannya yang menarik-narik ujung bajuku lalu memalingkan wajah ke jalan raya yang terhalang oleh kaca besar. Dari situ aku bisa melihat pantulan wajah pacarku. Aku baru sadar hari ini ia tidak menguncir rambutnya dan sebuah aksesoris berwarna biru langit menjepit poni pacarku hingga ke atas telinga.
Keningnya berkerut seakan dihimpit berbagai tanda tanya dan menuntut jawaban yang lebih jelas, “Kau ini kenapa sih? Aku tidak akan mengejekmu jika suaramu buruk. Aku hanya ingin mendengarmu menyanyi di depan sana. Semua orang boleh bernyanyi di kafe ini. Bahkan aku pernah mendengar suara cempreng yang—”
Aku menoleh padanya, menyelami kedua matanya dengan tatapan tajam. Dia cantik. Sangat cantik malam ini. Tapi rasa kecewa dan marahku padanya membuatku enggan untuk mengangguminya lebih jauh. Sifatnya kali ini sungguh keterlaluan.
“Kau tidak bisa selalu menyuruh orang untuk melakukan apa yang kau inginkan. Setiap orang punya batas kesabaran. Dan kau terlalu egois,” ujarku dengan ketus. Aku sudah siap jika dia akan memaki-makiku di depan umum. Bahkan jika dia menyeretku kemudian menganiayaku di atas panggung, aku tidak keberatan. Asalkan bukan menyanyi. “Aku tidak suka menyanyi. Aku membencinya. Aku bukan budak yang selalu bisa kau suruh ini-itu. Jika kau tetap ngotot, aku akan membencimu.”
“........”
Sekon-sekon berikutnya kami lalui dalam keheningan yang canggung. Aku mengeluarkan ponselku yang bergetar di saku celana lalu membaca sms masuk dari umma yang minta dibelikan kecap, kuhela napasku dengan sedikit kasar. Tidak ada satu pun yang berbicara di antara kami. Apakah kata-kataku keterlaluan? Tidak, dia yang lebih keterlaluan. Kurasa dia pantas mendapatkannya. Aku harus membuatnya tersadar akan tabiatnya yang buruk.
Aku melirik cewek itu lagi. Bahunya menegak kemudian ia kembali bersandar pada kursi. Ekspresi wajahnya sama sekali tak terbaca. Tapi aku bisa merasakan ia berusaha keras untuk tidak membiarkan bola matanya bergerak menemui kedua mataku, menghindar dari tatapanku. Dia merogoh sesuatu dari dalam ransel birunya.
“Jemput aku, ahjussi.” Ucap pacarku pada seseorang di seberang sana melalui ponselnya.
Beberapa detik kemudian dia berdiri dan meninggalkanku tanpa sepatah kata apapun kecuali sebuah buku catatan kecil berwarna kuning muda di atas meja. Tergeletak di sebelah gelas berisi air putih yang tinggal separo. Aku mengambil buku catatan tersebut kemudian keningku berkerut saat membaca beberapa kata yang tertera di sana.
Comments